Kamis, 14 Juni 2012

Krisis Eropa (Belum) Segera Berakhir


Krisis Eropa (Belum) Segera Berakhir
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence,
Pengajar di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Kementerian Keuangan RI
SUMBER :  SINDO, 13 Juni 2012


Akhir pekan lalu para menteri keuangan zona euro sepakat untuk menggelontorkan bailout sebesar 100 miliar euro (USD125 miliar) atau setara Rp1.175 triliun untuk membantu perbankan Spanyol.

Dana talangan bagi perbankan Spanyol ini berasal dari dua sumber: European Financial Stability Facility (EFSF) dan European Stability Mechanism (ESM). Kebijakan ini disambut antusias oleh pelaku bursa dan setidaknya cukup membantu menghapus ketidakpastian atas krisis utang kawasan Eropa. Antusiasme ini terlihat dari bergairahnya bursa saham di berbagai dunia, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Kebijakan ini dinilai akan memberikan manfaat bagi para pembuat kebijakan Uni Eropa untuk memfokuskan pekerjaan dalam mengatasi pelemahan ekonomi yang dapat mengancam masa depan Euro. Kebijakan ini juga memperlihatkan bahwa Uni Eropa mulai “tegas” demi menghentikan krisis yang berkelanjutan. Perlu diketahui, sebelum Uni Eropa menyetujui program bailout ke perbankan Spanyol, sempat terjadi friksi di antara anggota Uni Eropa soal program bailout ini.

Kendati demikian, ini tidak berarti bahwa krisis Eropa akan segera berakhir. Faktanya, banyak negara Eropa yang juga menghadapi masalah serupa dengan Spanyol. Di Eropa negara yang memiliki problem fiskal lebih tinggi dibanding Spanyol cukup banyak. Sebagai contoh rasio utang (net) Spanyol terhadap PDB-nya sekitar 56%. Sementara itu, Prancis 77%, Jerman 80%, Inggris 83%, Irlandia 99%, Portugal 102%, Italia 120%, dan Yunani 153%.

Itu berarti, sejatinya potensi terjadinya bailout lanjutan kemungkinan masih berlanjut. Hal ini tentu akan memunculkan spekulasi: sejauh mana Eropa (sekalipun bersatu) dapat mengatasi problem fiskal yang dihadapi masingmasing anggotanya. Sebelum Spanyol, Yunani juga telah menerima dana bailout sebesar 130 miliar Euro atau sekitar USD170 miliar sebagai jaminan pembayaran utang Yunani.

Bedanya, bila dana bailout Spanyol langsung dikucurkan oleh Uni Eropa melalui lembaga keuangannya (EFSF dan ESM), bailout Eropa ke Yunani dilakukan melalui IMF. Setelah masalah fiskal Yunani “terselesaikan”, masalah utang Italia sepertinya akan menjadi isu yang bisa menjadi gangguan bagi stabilitas Eropa.

Pertanyaannya, akankah Eropa “tegas” kepada Italia dengan segera mengucurkan dana bailout, sebagaimana dilakukan terhadap Spanyol? Belum jelas. Namun, dapat diperkirakan bahwa Italia kemungkinan juga “iri” dengan apa yang diperoleh Spanyol dan Yunani. Artinya, terdapat kemungkinan Italia pun akan menempuh langkah serupa: mengajukan dana bailout.

Tidak hanya Spanyol, negara-negara Eropa lainnya yang saat ini sedang mengalami problem dengan fiskalnya kemungkinan juga akan mengupayakan hal yang sama: meminta dukungan bailout. Persoalannya, kalau bailout dilakukan secara “mandiri” oleh Eropa, sanggupkah mereka menanggung ongkosnya? Tingginya kebutuhan dana bailout dan keterbatasan dana yang dimiliki Eropa tentunya berpotensi menimbulkan konflik internal.

Bila tidak termanage dengan baik, kondisi inilah yang saya katakan bisa berpotensi mengganggu stabilitas pasar keuangan (dan juga masa depan penyelesaian krisis ekonomi) Eropa. Karena itu, kita jangan berasumsi bahwa krisis Eropa akan segera berakhir.

Pengaruh

Pengaruh krisis Eropa terhadap Indonesia secara langsung memang relatif rendah mengingat portofolio kita terhadap Eropa yang relatif kecil, baik di jalur perdagangan maupun keuangan. Namun, krisis Eropa telah berpengaruh signifikan terhadap mitra-mitra ekonomi utama kita seperti AS dan sejumlah negara di Asia seperti Jepang, China, dan India.

Padahal, negara-negara ini memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap Indonesia, khususnya melalui jalur perdagangan. Pada akhirnya, krisis Eropa ini memberikan pengaruh negatif pula bagi Indonesia. China misalnya telah memangkas target pertumbuhan ekonomi 2012 dari 8,2% menjadi 7,5% seiring perlambatan ekspor akibat melemahnya permintaan negara-negara maju.

Kebijakan moneter negara-negara Asia mulai akomodatif seiring dengan perlambatan ekonomi. Untuk mendorong perekonomian, China kini melonggarkan fiskal dan moneternya. Sejak 24 Februari lalu China melakukan pemangkasan giro wajib minimumnya dan mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah (6,56%).

Sedangkan di sisi fiskal, China melakukan pemotongan pajak, meningkatkan belanja untuk sistem kesejahteraan sosial, membangun infrastruktur di kawasan pedesaan dan transportasi kota, dan mengembangkan strategi industri yang baru. Dari pasar keuangan, kita melihat nilai tukar rupiah saat ini cenderung melemah. Imbal hasil (yield) SUN cenderung mengalami peningkatan. Tekanan pada yield SUN ini terutama dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi yang meningkat.

Kinerja perdagangan internasional Indonesia juga mulai terganggu. Ekspor Indonesia memang meningkat, namun pertumbuhannya cenderung melambat. Sebaliknya, impor menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi, terutama karena kebutuhan impor barang modal, termasuk juga impor BBM. April 2012 lalu misalnya ekspor kita mengalami penurunan sebesar 7,36% dibandingkan dengan pencapaian Maret.

Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Indonesia pada April mencapai USD15,98 miliar atau turun 3,46% dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama tahun lalu. Neraca perdagangan kita memang surplus, namun surplusnya cenderung mengecil. Kondisi ini ditengarai telah ikut menjadi penyebab melemahnya nilai tukar rupiah akibat semakin berkurangnya pasokan dolar AS.

Pihak otoritas di Indonesia (fiskal dan moneter) bukan tidak melakukan berbagai langkah antisipasi terkait dengan kemungkinan panjangnya krisis Eropa ini. Kendati demikian, tidak realistis bila berharap bahwa kita bisa mengulang “sukses” pertumbuhan 6,5% pada 2011 pada tahun ini.

Karena itu, sikap realistis juga perlu tercermin dalam penyusunan APBN 2013, yang kini sedang dibahas. Dengan kata lain, kita harus siap bahwa fiskal kita tidak terlalu sehat bila masih harus didesain dengan asumsi yang sama misalnya dengan tidak memberikan opsi kenaikan harga BBM pada 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar