Senin, 18 Juni 2012

Krisis Eropa dan RAPBN 2013


Krisis Eropa dan RAPBN 2013
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence,
Pengajar Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti
Sumber :  REPUBLIKA, 18 Juni 2012
Bandingkan dengan artikel Sunarsip di SINDO,13 Juni 2012 :

Setelah menyadari bahwa berbagai kebijakan yang telah diambil tidak efektif untuk mengatasi krisis, kini Eropa mengambil kebijakan “pamungkas“ melalui pemberian bailout kepada negara-negara yang mengalami problem fiskal dan keuangan yang parah. Setelah Yunani di-bailout 130 miliar euro sebagai jaminan pembayaran utang negara tersebut, Spanyol juga baru saja menerima bailout 100 miliar euro.

Bedanya, bailout untuk Spanyol dikucurkan Uni Eropa melalui lembaga keuangannya sendiri (EFSF dan ESM), sementara bailout Eropa ke Yunani dilakukan melalui IMF. Selain itu, bailout yang diberikan kepada Yunani adalah untuk menyehatkan fiskalnya. Sedangkan, bailout untuk Spanyol diarahkan untuk membereskan perbankannya. Di sisi lain, Spanyol juga mengalami problem fiskal yang cukup besar di mana rasio utang pemerintah terhadap PDB kotor (government gross debt to GDP ratio) mencapai 67 persen. Pertanyaannya, akankah kebijakan “pamungkas“ Eropa ini efektif mengatasi krisis?

Kita perlu menyikapi secara cermat dan jangan lantas berkesimpulan bahwa krisis Eropa akan segera berakhir pascakebijakan bailout ini. Mengapa?
Pertama, negara yang memiliki problem fiskal yang serupa dengan Yunani masih cukup banyak. Data memperlihatkan, Portugal memiliki rasio utang pemerintah terhadap PDB 102 persen dan Italia 120 persen.

Data ini menunjukkan, potensi terjadinya bailout lanjutan masih bisa terjadi. Setelah Yunani, diprediksikan masalah utang Italia juga akan menjadi isu yang bisa mengganggu Eropa. Pertanyaannya, akankah Eropa menggunakan kebijakan “pamungkas“ untuk Italia dengan mengucurkan dana bailout?

Kedua, negara yang saat ini diandalkan sebagai “dewa penyelamat“ Eropa adalah Jerman. Dapat dikatakan bahwa Jerman merupakan negara besar Eropa yang relatif mampu bertahan dari pengaruh krisis Eropa. Jerman juga yang menjadi pemasok utama dana bail out bagi negaranegara Eropa. Pertanyaannya, sejauh mana Jerman memiliki kekuatan untuk menopang kebutuhan dana bailout?

Di sisi lain, Kanselir Jerman Angela Merkel pada akhir pekan lalu menyatakan bahwa Jerman tak sekuat seperti yang terlihat dan tentu saja tak cukup memiliki tenaga untuk menopang seluruh Eropa. Merkel juga diperkirakan akan hati-hati dalam menerima setiap usulan terkait kebijakan penyelamatan negara Eropa lainnya.

Berdasarkan realitas ini, krisis Eropa tampaknya belum akan cepat berakhir. Bank Sentral Eropa (ECB) sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi di Eropa pada 2012 masih lemah dengan semakin tingginya ketidakpastian. Dengan kata lain, kita juga jangan berasumsi bahwa pada 2012 ini akan menjadi tahun konsolidasi penyelesaian krisis di Eropa sehingga prospek ekonomi pada 2013 akan kembali membaik. Karena itu, dalam penyusunan APBN 2013, misalnya, kita juga perlu mencermati perkembangan ini agar APBN menjadi realistis.

Perlu diketahui, saat ini telah dimulai penyusunan Rancangan APBN (RAPBN) 2013. Dari pemberitaan, saat ini telah disepakati asumsi makroekonomi yang akan dijadikan basis APBN 2013. Pemerintah dan DPR telah menyepakati asumsi pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 6,8­7,2 persen. Pemerintah juga mengajukan asumsi inflasi 4,5­5,5 persen, kurs rupiah Rp 8.700­-Rp 9.300, suku bunga SPN 4,5­5,5 persen, harga minyak ICP 100­ 120 dolar AS per barel, dan menjaga defisit APBN berada di level 1,3­1,9 persen.

Berdasarkan asumsi makroekonomi dalam RAPBN 2013, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi menggambarkan kondisi perekonomian pada 2013 yang optimistis. Tentunya, kita gembira bahwa ekspektasi (atau target) terhadap perekonomian 2013 akan tumbuh lebih tinggi dibanding pada 2012. Namun yang menjadi pertanyaan, apa landasan pemerintah begitu optimistis melihat dinamika perekonomian pada 2013? Adakah kebijakan yang akan digulirkan dapat berdampak signifikan terhadap perekonomian 2013?

Prospek ekonomi global yang masih rentan diperkirakan masih akan berlangsung pada sisa tahun 2012. Diperkirakan, kondisi ini akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya melalui jalur ekspor. Kekhawatiran ini terlihat pada tren pertumbuhan ekspor yang menurun sejak kuartal III 2011.

Pada kuartal I 2012, ekspor hanya tumbuh 7,8 persen (year on year/yoy), jauh menurun dibandingkan kuartal III 2011 yang tumbuh 17,8 persen dan kuartal IV 2011 yang tumbuh 7,9 persen. Beruntung kinerja sektor konsumsi domestik dan investasi masih terjaga sehingga pada kuartal I 2012 kita masih tumbuh 6,3 persen.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2012 akan ber ada di batas bawah kisaran 6,3– 6,7 persen. Dengan kata lain, sepertinya sulit pada sisa akhir 2012 ini pertumbuhan eko nomi akan lebih tinggi dari 6,5 persen (sesuai target APBNP 2012).

Pertanyaannya, apakah penetapan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8–7,2 per sen dalam RAPBN 2013 tersebut didasarkan atas perkiraan bahwa pada 2012 akan menjadi tahun penyelesaian krisis di Eropa sehingga ekonomi pada 2013 akan membaik? Ataukah, asumsi (target) pertumbuhan ekonomi 2013 tersebut memang akan dicapai dengan berbagai usaha (efforts) yang maksimal meskipun pemerintah juga telah melihat prospek ekonomi Eropa masih memburuk?

Bila pertimbangan terakhir yang dipakai, tentu kita menyambut gembira sehingga kita akan melihat bagaimana cara pemerintah merealisasikan pertumbuhan ekonomi setidaknya 6,8 persen atau bahkan 7,2 persen itu.

Saya berpendapat bahwa pemerintah dan DPR lebih baik membuat target pertumbuhan ekonomi yang lebih realistis dengan tetap berupaya agar realisasinya dapat mencapai di atas asumsi (target) APBN 2013. Itu dibandingkan membuat target pertumbuhan yang terlalu optimistis, tetapi realitas saat ini terlihat tidak mendukung tercapainya asumsi (target) pertumbuhan ekonomi.

BI sendiri terlihat lebih realistis dalam melihat perkembangan ekonomi pada 2013. BI memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi 2013 berada pada kisaran 6,4­6,8 persen, lebih rendah dibandingkan asumsi yang dipakai pemerintah pada RAPBN 2013.

Perlu diketahui, penetapan asumsi pertumbuhan ekonomi (termasuk asumsi makroekonomi lainnya) ini sangat penting karena akan memengaruhi postur APBN 2013. Sebagai contoh, asumsi pertumbuhan ekonomi jelas akan berpengaruh pada besaran penerimaan perpajakan. Masyarakat akan sulit menerima bila, misalnya, pertumbuhan ekonomi ditetapkan tinggi, tetapi penerimaan perpajakannya justru menurun. Padahal, bisa jadi bila kita menggunakan angka pertumbuhan yang lebih realistis, potensi penerimaan perpajakannya tidaklah sebesar yang ditetapkan.

APBN memang merupakan alat politik sebagai bentuk komitmen pemerintah dan kesepakatan DPR atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. Namun, dalam penyusunannya, tentunya tetap harus didasarkan pada kerasionalan yang tepat serta dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, saya berpendapat pemerintah dan DPR perlu melihat kembali asumsi makro yang digunakan dalam menyusun RAPBN 2013. Melalui APBN 2013, juga perlu memperlihatkan kemungkinan terburuk dengan tidak menutup kemungkinan opsi terburuk, misalnya dengan memberikan opsi kenaikan harga BBM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar