Senin, 11 Juni 2012

Krusial Masa Depan Desa

Krusial Masa Depan Desa
Didik G Suharto ; Dosen FISIP UNS Surakarta
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 11 Juni 2012


SUDAH tak terhitung berapa kali aparat pemerintah desa turun ke jalan memperjuangkan tuntutannya. Selama bertahun-tahun kepala desa dan perangkat desa seolah tak lelah berdemonstrasi, baik di daerah maupun harus ngelurug ke Jakarta.

Bila dicermati, awalnya ada beragam tuntutan yang sering mereka suarakan. Baru pada demo belakangan ini, agenda mengerucut pada tuntutan pengesahan RUU Desa, termasuk alokasi anggaran 10 persen untuk desa. Sekilas yang mereka perjuangkan sangat beralasan, bahkan sudah semestinya . Mengapa? Seperti argumen yang disampaikan pengunjuk rasa, mayoritas (sekitar 70 persen) masyarakat tinggal di desa. Sementara, sebagian besar angka kemiskinan, di-sumbang oleh masyarakat desa.

Kesenjangan antara desa dan kota juga diungkap banyak pihak dari berbagai aspek.  Selain tingkat kesejahteraan penduduk, ketersediaan infrastruktur, fasilitas pendidikan, dan derajat kesehatan, juga memperlihatkan daerah pedesaan lebih rendah ketimbang daerah perkotaan.

Pertanyaannya, dari mana perhatian terhadap desa sebaiknya dimulai? Apa aspek krusial dalam regulasi yang perlu diperhatikan? Memang, salah satu persoalan yang dihadapi desa adalah keterbatasan sumber daya keuangan. Namun pemenuhan atas kebutuhan keuangan diyakini tidak serta merta membawa kemajuan substansif. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, aliran dana besar ke desa tanpa ada perencanaan matang bisa menimbulkan inefisiensi dan inefektivitas.

Bahkan jika tidak ada mekanisme dan kontrol yang ketat, penggunaan dana yang tak terkendali bisa-bisa menjerumuskan aparat pada persoalan hukum.
Dalam konteks pembangunan desa, hal mendasar dan pertama yang perlu diperhatikan oleh elemen-elemen di desa dan penyusun RUU tentang desa sesungguhnya terkait kedudukan desa. Realitas bahwa kemajuan desa dan kesejahteraan masyarakat desa belum bisa terwujud selama ini terutama disebabkan oleh ketidakjelasan (lemahnya) posisi desa dalam sistem pemerintahan nasional.
Kedudukan desa sejak UU Nomor 1 Tahun 1945 hingga UU Nomor 32 Tahun 2004, tidak memiliki posisi kuat. Fondasi yang mendasari kedudukan desa tidak kuat dan tidak jelas. Ketidakjelasan kedudukan desa berpengaruh terhadap aspek-aspek yang lain. Kedudukan desa sangat menentukan kewenangan desa, hubungan desa dengan supradesa, susunan pemerintahan desa, maupun akses terhadap sumber keuangan desa dan sumber-sumber daya lainnya.

Pertarungan Kepentingan

Tanpa menafikan faktor kelemahan yang bersumber dari internal desa —seperti kualitas/kuantitas SDM dan sarana/prasarana pemerintah desa— stagnasi atau kelambanan pembangunan desa amat dipengaruhi oleh desain yang dibangun oleh pemerintah supradesa (pemerintah daerah/pusat). Implikasi otonomi yang berhenti di kabupaten/kota seperti memarginalisasi kepentingan desa.
Kewenangan besar yang dimiliki pemerintah kabupaten pada era otonomi daerah justru sering merugikan desa. Permasalahan utamanya, pemerintahan supradesa tampaknya belum rela berbagi sumber daya (keuangan, peralatan, dan personel) dengan pemerintah desa. Sehingga wajar bila kemudian persoalan kewenangan sering menjadi objek tarik ulur antardesa dengan pemerintah supradesa.

Pemerintah supradesa secara struktural ada kecenderungan untuk mengkooptasi, mengontrol, dan menjadikan desa sebagai bawahan yang tidak memiliki hak untuk mengatur rumah tangganya (otonomi).
Otonomi atau kemandirian desa yang sering diwacanakan pada realitasnya tidak bisa terwujud sepanjang kedudukan, kewenangan, dan akses terhadap sumber daya di desa tidak terjamin.
Dengan demikian, penguatan posisi desa harus diperjuangkan terlebih dahulu, selain menuntut soal pendanaan (anggaran). Dorongan dan tekanan publik wajib dilakukan mengingat tarik-menarik kepentingan berbagai pihak hampir dapat dipastikan mewarnai proses pembahasan RUU tentang Desa yang sekarang ini sedang berlangsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar