Kuota
BBM dan Kalimantan
Kurtubi ; Direktur
Center for Petroleum and Energy Economics Studies; Alumnus Colorado
School of Mines, Denver, dan Ecole Nationale Superieure du Petrole et des
Moteurs, Paris
SUMBER : KOMPAS, 7
Juni 2012
Setelah pemerintah menjanjikan penambahan
kuota BBM bersubsidi untuk Kalimantan, protes rakyat Kalimantan dengan
memblokade jalur pengiriman batubara lewat Sungai Barito, akhirnya reda.
Jika blokade berlanjut, operasi pembangkit
listrik di Jawa pasti akan menurun dan gangguan listrik di sistem Jawa Bali
bisa berujung pada mandeknya kegiatan ekonomi Indonesia. Untunglah hal ini
tidak sampai terjadi.
Protes rakyat Kalimantan muncul karena mereka
sudah sangat menderita. Setiap saat mereka harus antre BBM berjam-jam sekadar
mendapatkan jatah BBM. Padahal, Kalimantan termasuk daerah penghasil energi
yang besar. Jika Kalimantan sampai kekurangan BBM, pasti ada kebijakan yang
tidak beres.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kalimantan
sudah menghasilkan minyak dari Lapangan Bunyu, Tarakan, Sanga-sanga, Sepinggan,
Sangata, Tanjung, dan sebagainya. Saat ini Kalimantan menjadi produsen gas dan
batubara terbesar di Indonesia. Hasil devisa dan penerimaan APBN dari ekspor
gas saat ini sebagian besar berasal dari Kalimantan Timur.
Kilang minyak Balikpapan termasuk salah satu
kilang tertua di Indonesia yang kini masih menghasilkan BBM dalam jumlah besar.
Nyaris semua kebutuhan BBM untuk kawasan timur Indonesia (Sulawesi, Bali, Nusa
Tanggara, Maluku, dan Papua) dipasok dari Kilang Balikpapan. Maka, sungguh
tidak masuk akal kalau rakyat Kalimantan antre BBM.
Selama ini mereka juga merasa diperlakukan
kurang adil dalam pembagian hasil sumber daya alam migas berdasarkan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. Sebagai contoh, dana bagi hasil minyak yang menjadi bagian Kaltim (dan
daerah penghasil lain) hanya 15,5 persen (sementara pemerintah pusat memperoleh
84,5 persen) dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) minyak. Sementara
penerimaan pajak minyak 100 persen ke pusat, tidak dibagi dengan daerah.
Kuota
BBM
Tidaklah berlebihan jika keempat gubernur
Kalimantan sepakat mendesak pemerintah agar kuota BBM mereka dinaikkan. Saat
ini masyarakat Kalimantan Timur juga sedang mengajukan judicial review atas UU No 33/2004 tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah agar ketentuan dalam Pasal 14 huruf e dan f yang dirasa tidak
adil mengatur pembagian hasil itu dicabut dan diperbaiki.
Di lain pihak, pemerintah pusat, seperti
Kementerian ESDM, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, dan Pertamina,
tentu tidak bisa disalahkan begitu saja dalam kasus antrean BBM di Kalimantan
ataupun daerah lain. Pasalnya, pemotongan kuota BBM untuk Kalimantan dan daerah
lain bersumber dari besaran kuota BBM dalam UU APBNP 2012, besarnya ditetapkan
40 juta kiloliter (kl). Kuota inilah biang keladi ”kelangkaan BBM yang
disengaja”.
Menekan besaran ”subsidi BBM” dengan
menerapkan instrumen pembatasan jumlah BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang
tidak tepat dan kontraproduktif. Selain menyengsarakan rakyat, kebijakan ini
dapat menyuburkan ketidakpuasan.
Dari segi upaya mendorong pertumbuhan ekonomi
(GDP) guna menyerap lebih banyak tenaga kerja, kebijakan kuota BBM ini sangat
bertolak belakang. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, diperlukan energi/BBM
yang cukup. Tanpa dukungan energi/BBM, akan menurun kegiatan ekonomi
masyarakat, produktivitas, pendapatan, dan pada akhirnya menurunkan jumlah
lapangan kerja.
Realisasi BBM bersubsidi tahun 2011 adalah
41,8 juta kl. Tahun 2012 dibatasi 40 juta kl dengan sasaran pertumbuhan ekonomi
6,5 persen. Nyaris mustahil untuk mempertahankan kuota 40 juta kl. Seperti
tahun-tahun sebelumnya, akhirnya kuota BBM harus ditambah. DPR dan pemerintah
tentu tidak ingin menyusahkan rakyat dan tidak ingin pertumbuhan ekonomi
menurun sehingga baik DPR maupun pemerintah pada akhirnya sepakat untuk
menaikkan kuota BBM.
Oleh karena itu, upaya menurunkan jumlah
”subsidi BBM” sebaiknya tidak dengan menggunakan instrumen
pembatasan/pengendalian. Perlu instrumen kebijakan yang tidak menyengsarakan
rakyat dan tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Caranya dengan
menerapkan kebijakan energi baku berupa diversifikasi energi.
Alternatif
Gas
Energi non-BBM yang dapat mengurangi
pemakaian BBM adalah bahan bakar nabati ataupun energi baru dan terbarukan
lain. Namun, jumlahnya belum memadai kecuali gas.
Gas menjadi pilihan yang rasional karena
harganya lebih murah meski tidak disubsidi, ramah lingkungan, dan
ketersediaannya terjamin hingga 50 tahun kedepan. Ini mengingat jumlah cadangan
dan sumber daya gas di bumi Indonesia sangat besar, lebih dari lima kali jumlah
cadangan dan sumber daya minyak.
Program konversi dari BBM ke BBG semestinya
tidak hanya menjadi bagian dari lima program penghematan energi Presiden SBY,
tetapi juga sebagai kebijakan pokok pemerintah yang menjadi program nasional
sehingga pembangunan infrastruktur, termasuk sistem tata niaga, kelembagaan,
dan sosialisasinya, harus dipercepat dengan sasaran dan target waktu yang
jelas. Kita sudah punya contoh keberhasilan dengan program konversi dari minyak
tanah ke gas.
Dengan fokus pada program konversi BBM ke
BBG, kebijakan kuota BBM bisa dihapus. Namun, program hemat listrik di
kantor-kantor pemerintah dan larangan PLN untuk menggunakan BBM lebih banyak
lagi sebaiknya diteruskan.
Saat ini kenaikan besaran ”subsidi BBM”
sebagai akibat penghapusan sistem kuota perlu diimbangi dengan efisiensi
mekanisme impor minyak oleh Pertamina dengan membeli langsung dari produsen.
Ini perlu mengingat devisa untuk impor minyak mentah dan BBM sangat besar,
sekitar 37 miliar dollar AS per tahun.
Kalau dapat mengefisienkan 2 persen dari
nilai impor saja, ada sekitar Rp 70 triliun dana yang bisa dihemat. Kalau upaya
membeli minyak langsung dari produsen ini berhasil, transaksi sebaiknya
dilakukan di Jakarta, tidak perlu lagi di Singapura agar lebih transparan dan
BPK bisa melakukan audit. Sistem perbankan dan lembaga keuangan di Jakarta
pasti bisa mengakomodasi keperluan Pertamina mengimpor langsung.
Langkah lain, pengelolaan cost recovery oleh BP Migas juga masih
bisa diefisienkan dengan mengacu pada prinsip good corporate governance dan akuntabilitas. Selama ini struktur
organisasi BP Migas yang tanpa Dewan Komisaris sangat rawan praktik
penggelembungan biaya dan inefisiensi. Padahal, nilai cost recovery terus membengkak hingga mencapai 15 miliar dollar AS
tahun 2012, sementara lifting terus
anjlok. Efisiensi cost recovery 5
persen saja, bisa menghemat sekitar Rp 7 triliun.
Potensi penerimaan sektor migas masih bisa
ditingkatkan jika pemerintah dapat meyakinkan pembeli gas di luar negeri yang
selama ini membayar LNG Tangguh dengan harga sangat murah, untuk membayar
dengan harga normal. Di sini ada potensi kenaikan penerimaan sekitar Rp 30
triliun per tahun. Penghematan juga bisa dilakukan di sisi pengeluaran APBN.
Maka, meskipun kuota BBM tahun 2012, misalnya, naik dari 40 juta kl menjadi 46
juta kl, APBN tetap aman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar