Kamis, 07 Juni 2012

Kuota BBM dan Kalimantan


Kuota BBM dan Kalimantan
Kurtubi ; Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies; Alumnus Colorado School of Mines, Denver, dan Ecole Nationale Superieure du Petrole et des Moteurs, Paris
SUMBER :  KOMPAS, 7 Juni 2012


Setelah pemerintah menjanjikan penambahan kuota BBM bersubsidi untuk Kalimantan, protes rakyat Kalimantan dengan memblokade jalur pengiriman batubara lewat Sungai Barito, akhirnya reda.

Jika blokade berlanjut, operasi pembangkit listrik di Jawa pasti akan menurun dan gangguan listrik di sistem Jawa Bali bisa berujung pada mandeknya kegiatan ekonomi Indonesia. Untunglah hal ini tidak sampai terjadi.

Protes rakyat Kalimantan muncul karena mereka sudah sangat menderita. Setiap saat mereka harus antre BBM berjam-jam sekadar mendapatkan jatah BBM. Padahal, Kalimantan termasuk daerah penghasil energi yang besar. Jika Kalimantan sampai kekurangan BBM, pasti ada kebijakan yang tidak beres.

Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kalimantan sudah menghasilkan minyak dari Lapangan Bunyu, Tarakan, Sanga-sanga, Sepinggan, Sangata, Tanjung, dan sebagainya. Saat ini Kalimantan menjadi produsen gas dan batubara terbesar di Indonesia. Hasil devisa dan penerimaan APBN dari ekspor gas saat ini sebagian besar berasal dari Kalimantan Timur.

Kilang minyak Balikpapan termasuk salah satu kilang tertua di Indonesia yang kini masih menghasilkan BBM dalam jumlah besar. Nyaris semua kebutuhan BBM untuk kawasan timur Indonesia (Sulawesi, Bali, Nusa Tanggara, Maluku, dan Papua) dipasok dari Kilang Balikpapan. Maka, sungguh tidak masuk akal kalau rakyat Kalimantan antre BBM.

Selama ini mereka juga merasa diperlakukan kurang adil dalam pembagian hasil sumber daya alam migas berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sebagai contoh, dana bagi hasil minyak yang menjadi bagian Kaltim (dan daerah penghasil lain) hanya 15,5 persen (sementara pemerintah pusat memperoleh 84,5 persen) dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) minyak. Sementara penerimaan pajak minyak 100 persen ke pusat, tidak dibagi dengan daerah.

Kuota BBM

Tidaklah berlebihan jika keempat gubernur Kalimantan sepakat mendesak pemerintah agar kuota BBM mereka dinaikkan. Saat ini masyarakat Kalimantan Timur juga sedang mengajukan judicial review atas UU No 33/2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah agar ketentuan dalam Pasal 14 huruf e dan f yang dirasa tidak adil mengatur pembagian hasil itu dicabut dan diperbaiki.

Di lain pihak, pemerintah pusat, seperti Kementerian ESDM, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi, dan Pertamina, tentu tidak bisa disalahkan begitu saja dalam kasus antrean BBM di Kalimantan ataupun daerah lain. Pasalnya, pemotongan kuota BBM untuk Kalimantan dan daerah lain bersumber dari besaran kuota BBM dalam UU APBNP 2012, besarnya ditetapkan 40 juta kiloliter (kl). Kuota inilah biang keladi ”kelangkaan BBM yang disengaja”.

Menekan besaran ”subsidi BBM” dengan menerapkan instrumen pembatasan jumlah BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang tidak tepat dan kontraproduktif. Selain menyengsarakan rakyat, kebijakan ini dapat menyuburkan ketidakpuasan.

Dari segi upaya mendorong pertumbuhan ekonomi (GDP) guna menyerap lebih banyak tenaga kerja, kebijakan kuota BBM ini sangat bertolak belakang. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, diperlukan energi/BBM yang cukup. Tanpa dukungan energi/BBM, akan menurun kegiatan ekonomi masyarakat, produktivitas, pendapatan, dan pada akhirnya menurunkan jumlah lapangan kerja.

Realisasi BBM bersubsidi tahun 2011 adalah 41,8 juta kl. Tahun 2012 dibatasi 40 juta kl dengan sasaran pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Nyaris mustahil untuk mempertahankan kuota 40 juta kl. Seperti tahun-tahun sebelumnya, akhirnya kuota BBM harus ditambah. DPR dan pemerintah tentu tidak ingin menyusahkan rakyat dan tidak ingin pertumbuhan ekonomi menurun sehingga baik DPR maupun pemerintah pada akhirnya sepakat untuk menaikkan kuota BBM.

Oleh karena itu, upaya menurunkan jumlah ”subsidi BBM” sebaiknya tidak dengan menggunakan instrumen pembatasan/pengendalian. Perlu instrumen kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat dan tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Caranya dengan menerapkan kebijakan energi baku berupa diversifikasi energi.

Alternatif Gas

Energi non-BBM yang dapat mengurangi pemakaian BBM adalah bahan bakar nabati ataupun energi baru dan terbarukan lain. Namun, jumlahnya belum memadai kecuali gas.

Gas menjadi pilihan yang rasional karena harganya lebih murah meski tidak disubsidi, ramah lingkungan, dan ketersediaannya terjamin hingga 50 tahun kedepan. Ini mengingat jumlah cadangan dan sumber daya gas di bumi Indonesia sangat besar, lebih dari lima kali jumlah cadangan dan sumber daya minyak.

Program konversi dari BBM ke BBG semestinya tidak hanya menjadi bagian dari lima program penghematan energi Presiden SBY, tetapi juga sebagai kebijakan pokok pemerintah yang menjadi program nasional sehingga pembangunan infrastruktur, termasuk sistem tata niaga, kelembagaan, dan sosialisasinya, harus dipercepat dengan sasaran dan target waktu yang jelas. Kita sudah punya contoh keberhasilan dengan program konversi dari minyak tanah ke gas.

Dengan fokus pada program konversi BBM ke BBG, kebijakan kuota BBM bisa dihapus. Namun, program hemat listrik di kantor-kantor pemerintah dan larangan PLN untuk menggunakan BBM lebih banyak lagi sebaiknya diteruskan.

Saat ini kenaikan besaran ”subsidi BBM” sebagai akibat penghapusan sistem kuota perlu diimbangi dengan efisiensi mekanisme impor minyak oleh Pertamina dengan membeli langsung dari produsen. Ini perlu mengingat devisa untuk impor minyak mentah dan BBM sangat besar, sekitar 37 miliar dollar AS per tahun.

Kalau dapat mengefisienkan 2 persen dari nilai impor saja, ada sekitar Rp 70 triliun dana yang bisa dihemat. Kalau upaya membeli minyak langsung dari produsen ini berhasil, transaksi sebaiknya dilakukan di Jakarta, tidak perlu lagi di Singapura agar lebih transparan dan BPK bisa melakukan audit. Sistem perbankan dan lembaga keuangan di Jakarta pasti bisa mengakomodasi keperluan Pertamina mengimpor langsung.

Langkah lain, pengelolaan cost recovery oleh BP Migas juga masih bisa diefisienkan dengan mengacu pada prinsip good corporate governance dan akuntabilitas. Selama ini struktur organisasi BP Migas yang tanpa Dewan Komisaris sangat rawan praktik penggelembungan biaya dan inefisiensi. Padahal, nilai cost recovery terus membengkak hingga mencapai 15 miliar dollar AS tahun 2012, sementara lifting terus anjlok. Efisiensi cost recovery 5 persen saja, bisa menghemat sekitar Rp 7 triliun.

Potensi penerimaan sektor migas masih bisa ditingkatkan jika pemerintah dapat meyakinkan pembeli gas di luar negeri yang selama ini membayar LNG Tangguh dengan harga sangat murah, untuk membayar dengan harga normal. Di sini ada potensi kenaikan penerimaan sekitar Rp 30 triliun per tahun. Penghematan juga bisa dilakukan di sisi pengeluaran APBN. Maka, meskipun kuota BBM tahun 2012, misalnya, naik dari 40 juta kl menjadi 46 juta kl, APBN tetap aman. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar