Rabu, 27 Juni 2012

Lapuknya Demokrasi Lokal


Lapuknya Demokrasi Lokal
Robert Endi Jaweng ;  Direktur Eksekutif KPPOD Jakarta
Sumber :  KOMPAS, 26 Juni 2012


Awal implementasi otonomi, khususnya 2001-2004, publik menjadi sering mendengar istilah raja-raja kecil di daerah. Para bupati dan wali kota menjadi berkuasa dan euforia otonomi membuncah sebagai ekspresi kebebasan baru pascarezim otokrasi-sentralistik Orde Baru.

Dampaknya, antara lain, berbagai peraturan daerah (perda) yang mendistorsi iklim usaha dan diskriminatif secara sosial ataupun praktik otonomi yang cenderung kebablasan.
Berbagai masalah tersebut ternyata masih memenuhi lembaran otonomi hingga hari ini. Namun, istilah raja kecil mengalami pemekaran makna, terutama setelah UU Pemda tahun 2004 mengubah sistem pemilihan kepala daerah: dari dipilih DPRD ke pemilihan langsung oleh rakyat.

Memanfaatkan celah kebijakan dan perilaku pemilih yang rentan, para kepala daerah membangun dinasti kekuasaan lokal melalui pola sirkulasi dalam lingkaran privatnya: keluarga. Tabiat mereka bak para raja: mewariskan takhta kepada anak, istri, dan kerabat.

Transisi Tidak Tuntas

Dinasti politik ini adalah bukti nyata lapuknya politik lokal yang demokratis. Kalau demokrasi adalah soal terbukanya struktur kesempatan bagi setiap warga untuk terlibat dalam berbagai pilihan politik, dinasti jelas menghadang akses ke sana. Proses demokratisasi menjadi tidak sehat dan terancam kandas.

Dalam konteks pilkada, arena permainan menjadi tak adil karena privelese lalu direkayasa kepala daerah untuk memuluskan langkah kerabatnya. Alokasi APBD dan program pemda lalu dipakai guna mengarahkan dukungan publik bagi pewarisnya. Inilah pelanggaran hak asasi warga yang banyak terjadi.

Maka, dalam RUU Pilkada yang saat ini sedang dibahas di DPR, pemerintah menggagas opsi larangan bagi kerabat incumbent mencalonkan diri dalam pilkada pada periode setelahnya. Sebagai ikhtiar keadilan politik, ini adalah gagasan afirmasi bagi publik, sekaligus mencegah favoritisme dan diskriminasi.

Namun, betapapun pentingnya gagasan ini, sumbangannya dirasa masih parsial bagi penataan pilar demokrasi lokal kita. Dinasti politik hanya puncak gunung es dari pelapukan politik lokal yang berlangsung jauh lebih serius, bahkan sesudah kita berotonomi dewasa ini.

Pelapukan politik lokal itu patut dibaca dalam konteks besar, yakni tak tuntasnya transisi rezim desentralisasi. Secara historis, otonomi kita jelas lahir dalam kondisi krisis, tidak normal. Munculnya eksperimen kebijakan yang beralaskan UU No 22/1999 adalah jawaban atas krisis yang melilit tata kelola organisasi negara-bangsa saat itu. Ironisnya, premis mayor yang mengisi kerangka legal dan kebijakan otonomi justru dibangun di atas asumsi seolah kita berotonomi di masa normal sehingga masalah transisi rezim tidak diwadahi pengelolaannya.

Oligarki Kekuasaan

Dinasti berkorelasi erat dengan oligarki kekuasaan yang bersalin rupa di banyak daerah. Akarnya terletak pada power-relation yang timpang antara lapisan kuasa-dominan dan sisanya. Bahkan, di internal partai—pranata yang konon menjadi kawah kaderisasi pemimpin—pengisian posisi kunci memberat ke dominasi elite.

Maka, mereka tidak resisten terhadap perubahan kelembagaan, seperti pilkada langsung, tetapi justru menyambut antusias ”tantangan” yang lahir dari proyek kaum institusionalis. Mereka paham betul kalau komponen struktural kekuasaan utama tak banyak bergeser ke blok demokrasi. Apalagi, pilkada berbiaya mahal sehingga politik konstituen hanya mungkin bagi kaum plutokrasi yang mapan secara ekonomi.

Maka, momentum desentralisasi dibajak menjadi ajang rekonsolidasi kekuatan lama, membuat mereka tetap bercokol sebagai aktor dominan dalam lanskap yang terkesan berubah. Hasilnya, local capture semakin menguat dalam kebijakan di daerah ataupun distribusi sumber daya politik, ekonomi, dan fiskal (APBD). Maka, setelah 12 tahun desentralisasi, faedah otonomi masih saja tak nyata bagi warga.

Langkah Sinergi

Saat RUU Pilkada berupaya memotong arisan kekuasaan elite, langkah strategis lain mesti dilakukan, baik pada aras instrumentasi kebijakan maupun kerja politik konkret. Semua itu didorong guna menjamin keadilan politik lewat sistem demokratik untuk membuka segala sumbatan agar akses kekuasaan terbuka dan menarik garis batas bagi elite dominan lama.

Maka, pertama, RUU pilkada perlu mengatur pula mekanisme demokrasi internal partai dalam memutuskan calon yang akan maju pilkada. Oligarki dalam partai adalah serius dan nyata, tetapi selalu dilihat sebagai urusan internal partai. UU Parpol pun tak bisa menjangkau perkara ini. Instrumen kendalinya adalah lewat RUU Pilkada dengan, antara lain, memberlakukan model konvensi atau pemilihan internal yang diawasi KPUD setempat.

Kedua, politik berbiaya mahal harus dieliminasi dari sisi sumber sekaligus belanja pilkada karena tuntutan transparansi pengelolaan dana kampanye jelas terasa absurd. Jenis-jenis kegiatan yang selama ini selalu dimenangi kandidat bermodal besar (iklan, kampanye) sebaiknya dikelola dan dibiayai KPUD.

Ketiga, publik yang gemar-kagum (idolaisme) kepada pejabat/kerabatnya ataupun yang rentan politik uang merupakan basis sosial rapuh bagi upaya pendalaman demokrasi. Di banyak daerah, pemilih emosional dan pragmatis ini jelas jadi ladang subur kemenangan kandidat bermodal jumbo.

Menjadi tantangan bagi elemen prodemokrasi di media massa, kampus, dan LSM untuk membangun citizen politics dan warga yang semakin sadar harkat politik demokrasi.
Dinasti politik dan pelapukan demokrasi lokal jelas bukan hanya masalah pilkada, melainkan juga berpengaruh pada seluruh agenda desentralisasi karena mereka memotong akses kesejahteraan dan membajak nasib publik. Inilah tantangan berat bagi gerak otonomi hari ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar