Liku-liku
Wakil Menteri
Mohammad Fajrul Falaakh ; Dosen Fakultas Hukum UGM
SUMBER : KOMPAS, 6
Juni 2012
Syarat jabatan wakil menteri sebagai ”pejabat
karier bukan anggota kabinet” (penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara 2008)
akhirnya ditiadakan oleh Mahkamah Konstitusi (5/6/2012). Kontroversinya
terletak pada status wakil menteri: pejabat politik ataukah pejabat karier.
Karena putusan MK ”mengembalikan” penunjukan wakil menteri kepada Presiden,
terbukalah renegosiasi politik penempatan jabatan di kementerian.
Kontroversi wakil menteri (wamen) serupa
dengan staf khusus. Keduanya adalah gejala baru selama reformasi.
Perkembangan ini terkait kekuasaan pejabat
politik terpilih untuk mendudukkan orang-orang kepercayaannya pada suatu
jabatan (political appointee). Para
pejabat politik terpilih juga berebut jabatan dengan birokrat di daerah.
Pejabat Politik
Staf khusus diadakan di kantor Wakil Presiden
pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri (Keppres No 29/2002), yang diperluas
Presiden Yudhoyono (Perpres No 40/2005, Mei 2005) dengan merekrut sembilan staf
khusus yang dikoordinasikan oleh dan bertanggung jawab kepada Sekretaris
Kabinet.
Ada staf khusus lain yang disebut Penasihat
Khusus Presiden atau Utusan Khusus Presiden yang bertanggung jawab kepada
Presiden, tetapi pelaksanaan tugasnya dikoordinasikan oleh Sekretaris Kabinet.
Gaji mereka setara eselon I/a dan dibebankan kepada anggaran Sekretariat
Kabinet. SBY juga memberi tiga staf khusus kepada departemen/kementerian meski
hanya setara eselon I/b (Perpres No 62/2005).
Keberadaan para pejabat politik ini
diharapkan memperlancar pelaksanaan tugas-tugas Presiden. Keberadaan staf
khusus dimaksudkan agar garis politik dan kebijakan pejabat terpilih tak hanya
ditentukan dan dikelola menurut kemapanan birokrasi. Jadi, kategori pekerjaan
mereka adalah staffing. Meski sesama political appointee, staf khusus berbeda
dibandingkan dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal 16 UUD 1945) yang
memberi nasihat secara konfidensial dan UKP4 (Perpres No 54/2009 tentang Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) dewasa ini.
Keberadaan staf khusus dalam kabinet akhirnya
dicapai sebagai formula kompromi antara kekuasaan pejabat politik terpilih dan
kemapanan karier birokrasi berdasarkan hukum administrasi negara. Persyaratan
staf khusus dirumuskan opsional, yaitu dapat berasal dari pegawai negeri atau
bukan pegawai negeri, dengan gaji setinggi-tingginya setingkat jabatan eselon
I/a atau I/b.
Pejabat Karier?
Wamen diusulkan Menteri Luar Negeri (saat
itu) Hassan Wirajuda agar Presiden mengangkat pejabat karier eselon I/a sebagai
Wakil Menlu (Keppres No 87/M/2008, tanggal 28 Agustus 2008). Dari sini terjadi
negosiasi antara Sekretaris Negara (kala itu) Hatta Rajasa dan Panitia Khusus
DPR tentang RUU Kementerian Negara.
Kesan instan untuk merekrut pejabat tak
terhindarkan, tetapi kompromi dihasilkan. Tanpa mengubah kesepakatan jumlah 34
kementerian (Pasal 15), Hatta berhasil menyisipkan jabatan wamen (Pasal 10)
sebagai ”pejabat karier bukan anggota kabinet” (Penjelasan Pasal 10 UU
Kementerian Negara).
Karena jumlah kementerian dibatasi dan
menteri ataupun wakilnya diangkat Presiden, tetapi wamen tidak dikategorikan
sebagai pejabat politik, Perpres No 47/2009 merumuskan, ”Wamen adalah pejabat
karier eselon I/a dan bukan anggota kabinet (bukan pejabat politik)”. Wamen
setara pejabat struktural, seperti sekretaris jenderal, direktur jenderal,
ataupun inspektur jenderal kementerian. Sejumlah kandidat tercegah jadi wamen
oleh persyaratan ini. Namun, persyaratan ini tak diikuti saat kocok ulang
Kabinet Indonesia Bersatu II pada 19 Oktober 2011 (Perpres No 77/2011, tanggal
18 Oktober 2011).
Menarik bahwa persyaratan wamen diubah tanpa
eselon meski fasilitasnya tetap eselon I/a (Perpres No 76/2011). Kemudian
Perpres No 91/2011 menyisipkan tugas wamen melakukan koordinasi dengan pejabat
eselon I di kementerian, sedangkan kelas jabatannya dinaikkan ”satu tingkat di
atas kelas jabatan tertinggi bagi pejabat eselon I/a”. Meski bukan menteri
ataupun pejabat struktural, wamen adalah pejabat karier berkelas lebih tinggi
daripada birokrat eselon I/a.
Membengkak
Keberadaan wamen di lingkungan kementerian
dicapai sebagai hasil kompromi politik. Presiden dan pejabat politik terpilih
menginginkan tambahan kekuasaan untuk menunjuk pejabat. Namun, karena jumlah
kementerian dibatasi 34, persyaratan wamen dirumuskan sebagai ”pejabat karier
bukan anggota kabinet”. Persyaratan ”pejabat karier” tidak menghilangkan
statusnya sebagai political appointee.
Konsep ini adalah nama lain dari politisasi jabatan karier.
Setelah MK menghapus persyaratan tersebut,
posisi wamen terbuka untuk dipertengkarkan. MK menyatakan ”semua keppres pengangkatan setiap wakil menteri perlu diperbarui agar
menjadi produk yang sesuai dengan kewenangan eksklusif Presiden”. Dalam
praktik presidensialisme berdasarkan koalisi parlementer, perekrutan wamen
tanpa konsep ”pejabat karier bukan anggota kabinet” memerlukan kesepahaman
dengan pihak koalisi. Namun, karena jumlah menteri dibatasi 34, jabatan wamen
”terpaksa” diisi pejabat karier dan putusan MK sekadar mengukuhkan. Para
birokrat karier mungkin bergairah melobi politisi atau bahkan langsung ke
Presiden untuk mengisi lowongan ini.
Kontroversi wamen sekadar contoh liku-liku
pengadaan dan perekrutan jabatan, baik atas nama legitimasi politik,
profesionalisme birokrasi, maupun campuran kedua faktor ini. Keberadaan wamen
untuk mendukung kementerian akhirnya bergantung pada kompetensi pejabatnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar