Senin, 11 Juni 2012

Logika Ganjil Ringankan Koruptor

Logika Ganjil Ringankan Koruptor
Reza Indragiri Amriel ; Dosen Psikologi Forensik,
Universitas Bina Nusantara Jakarta
SUMBER :  JAWA POS, 11 Juni 2012


GAYUS Halomoan Partahanan Tambunan, si makelar pajak, sudah meringkuk di penjara. Belum hilang rasa sakit hati publik, giliran dua pegawai Ditjen Pajak berikutnya, Dhana dan Tommy Hendratno, ditangkap KPK. Tommy yang petugas pajak Sidoarjo tertangkap tangan saat menerima suap dari pengusaha di Jakarta.

Mengapa belum ada efek jera? Mengapa aksi-aksi heroik KPK masih belum cukup kuat menimbulkan rasa ngeri sehingga orang bisa dipaksa berpikir lebih panjang lagi sebelum melakukan korupsi?

Agar efek jera atau efek penangkalan (deterrence effect) dapat terbentuk, perang terhadap korupsi tentu tidak cukup dilancarkan KPK. Seluruh otoritas hukum, utamanya, harus punya watak buas yang setara terhadap para tikus kerah putih. Penanganan kasus Gayus oleh kejaksaan perlu diperkeras lagi.

Di sinilah persoalannya. Di hulu, KPK sudah luar biasa memburu para bandit, namun di titik hilir terjadi antiklimaks. Sikap antikorupsi masyarakat yang sudah digelorakan dengan gagah berani oleh KPK justru tidak diterjemahkan secara memadai saat hukuman dijatuhkan.

Di titik hilir itu, dengan segala hormat, hakimlah yang menciptakan antiklimaks tersebut. Pada sisi inilah, saya ingin menyoroti masalah kegagalan hukum mencegah munculnya ''Gayus-Gayus'' baru.

Logika Memberatkan-Meringankan

Pada 19 Januari 2011, saat putusan kasus Gayus, ketua majelis hakim mengutarakan satu hal yang memberatkan Gayus dan tiga hal yang meringankan mafia pajak itu.

Hal yang memberatkan, menurut majelis hakim, adalah perbuatan Gayus dinilai bertentangan dengan program pemerintah dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN. Sebagai pegawai negeri di Ditjen Pajak, Gayus dianggap telah menghambat pemasukan pajak untuk pembangunan.

Saya tidak melihat itu sebagai sesuatu yang memberatkan. Dicanangkan ataupun tidak, pemerintah pasti menyatakan rezimnya antikorupsi. Jadi terkesan berlebihan ketika program pemerintah yang normatif itu justru dijadikan oleh hakim sebagai konteks untuk mengklasifikasi bahwa ulah Gayus lebih buruk daripada (seandainya) dilakukan saat pemerintah tidak sedang mengusung program antikorupsi.

Seberapa jauh konteks ''memberatkan'' itu benar-benar berimplikasi terhadap hukuman bagi Gayus? Faktanya, dari tuntutan 20 tahun penjara, hakim hanya memvonis dia tujuh tahun penjara. Kurang dari 29 persen tuntutan jaksa. Di mana realisasi kata ''memberatkan'' itu? Bayangkan betapa ringannya hukuman Gayus jika tidak ada faktor ''memberatkan'' tersebut.

Majelis hakim juga mengemukakan hal-hal yang meringankan Gayus. Yaitu, Gayus belum pernah dihukum, punya anak-anak yang masih kecil, dan berusia relatif muda sehingga diharapkan bisa memperbaiki kelakuan di kemudian hari.

Benar, Gayus belum pernah dihukum. Tapi, sebelum ditangkap, Gayus tidak hidup di dalam ruang yang terputus dari dunia luar. Selama bekerja di kantor pajak, Gayus adalah manusia bernalar sehat. Dia pasti mendengar berita orang-orang dihukum karena korupsi. Gayus paham, mencuri itu terlarang. Seiring pertambahan usia dan pengetahuan, Gayus pun mengerti bahwa korupsi adalah sinonim mencuri.

Tetapi, hari demi hari Gayus kian canggih melakukan manipulasi pajak. Karena itu, Gayus sebenarnya adalah koruptor dengan derajat profesionalitas yang semakin lama semakin meyakinkan. Untung, Susno Duaji yang membocorkan kelakuannya di pengadilan pajak.

Atas dasar itu, alih-alih menilai Gayus secara parsial, yakni sebatas sebagai orang yang belum pernah dihukum, Gayus semestinya dipandang secara lebih utuh. Yakni, sebagai orang yang belum pernah dihukum, namun tidak buta hukum. Karena Gayus mencurangi hukum, dia seharusnya dihukum berat.

Demikian pula, status Gayus memiliki anak-anak yang masih kecil bukan hal yang meringankan. Dengan menyalahgunakan jabatan PNS-nya untuk kepentingan pribadi, Gayus sudah nyata-nyata mengedepankan ''kecintaan'' kepada keluarga di atas kecintaan kepada negara.

Apabila julukan sebagai pengkhianat bangsa dianggap terlalu ekstrem, tetap pantas untuk menyebut Gayus sebagai orang tua yang gagal menjalankan peran sebagai panutan ideal bagi darah daging sendiri. Lebih tidak meringankan lagi, Gayus sempat sampai hati dan secara terencana hidup terpisah dari anak-anaknya demi menghindari kejaran hukum.

Satu hal lagi yang dianggap hakim meringankan adalah Gayus masih muda sehingga diharapkan dapat mengubah kelakuan buruknya. Saya bisa memaklumi filosofi rehabilitasi yang dianut majelis hakim, seperti tecermin pada pertimbangan dalam putusan hakim tersebut.

Masalahnya, program rehabilitasi seperti apa yang bisa diselenggarakan oleh otoritas lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana gedongan seperti Gayus? Yang bisa diamati, seperti diwartakan luas, selama di tahanan Mako Brimob saja Gayus ternyata justru ''memanfaatkan usia mudanya'' dengan pelesir ke Bali, Singapura, Kuala Lumpur, dan Makau. Bahkan, main judi di Makau!

Dirangkai menjadi satu kesatuan, yakni belum pernah dihukum, memiliki anak kecil, masih muda usia, saya yakin bahwa Dhana dan Tommy pun mempunyai profil yang sama dengan Gayus. Jadi, seandainya identitas tiga karyawan Ditjen Pajak itu dijadikan basis penyusunan profil (tersangka) koruptor di lingkungan kantor pajak, langsung terlihat bahwa benang merahnya ada pada tiga ciri tersebut.

Betapa usia muda tak membaik secara kelakuan setelah menua bisa ditengok kasus Bahasyim Assifie. Pegawai pajak yang dijerat dengan pencucian uang dan divonis kasasi 12 tahun penjara itu diperkirakan melakukan korupsi sejak muda. Meskipun dia baru ditangkap menjelang pensiun dengan kekayaan haram yang bertumpuk, termasuk diatasnamakan anak istri. Menurut situs Kejari Jaksel, uang hasil kejahatannya adalah Rp 60 miliar dan USD 681.147.37 sudah disita.

Konsekuensinya, hilang justifikasi untuk mengklasifikasi tiga kondisi tersebut sebagai hal-hal yang bisa meringankan terdakwa dari ancaman sanksi berat.

Saya menghormati putusan hakim. Namun, sekali lagi, guna menangkal kian beranak pinaknya maling-maling di lingkungan otoritas pajak dan di lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, hakim memiliki peran sangat strategis. Jangan tekankan filosofi rehabilitasi, tapi filosofi retribusi untuk kasus korupsi.

Konkretnya, kedepankan wajah penghukum, bukan pengampun. Putusan sekeras-kerasnya akan mengamputasi berkecambahnya benih-benih koruptor baru. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar