Jumat, 15 Juni 2012

Mao, Negara, dan Sepak Bola


Mao, Negara, dan Sepak Bola
M Bashori Muchsin ; Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 14 Juni 2012


KOMPETISI sepak bola di antara negara Eropa sedang bergulir. Beberapa tim kesebelasan sudah bertanding. Uang sekitar Rp450 triliun digunakan untuk menyangga kompetisi tersebut--jumlah uang yang tidak sedikit untuk menahbiskan sang jawara, padahal Eropa sedang mengalami krisis serius.
Bagaimana mungkin uang demikian besar dikeluarkan demi satu jenis olahraga bernama sepak bola?

Tidak ada negara peserta kompetisi Eropa yang kecewa dengan banyaknya uang yang dikeluarkan. Pasalnya selain gelar juara yang mereka obsesikan, untuk sampai ke putaran final mereka sudah menunjukkan kerja keras demi mewujudkan agar negara bisa ditulis sebagai negara berprestasi atau negara yang pernah memasuki golden era (zaman keemasan).

Bagaimana dengan negara kita? Adakah elite berpikir seperti pemimpin negara-negara Eropa? Atau, masih punyakah negeri ini sosok pemimpin (penguasa) yang suka berpikir keras dan menunjukkan kinerja demi merengkuh prestasi di berbagai bidang strategis? Bukankah elite kita hanya berkonsentrasi dan senang mempertahankan jawara korupsi daripada menyemaikan banyak prestasi positif?

Dalam ranah perebutan jawara Eropa atau membangun olahraga berskala nasional, seperti sepak bola, kinerja rezim ikut menentukan. Secara tidak langsung, Mao Tse Tung pernah berpesan, ”Dengan bedil kekuasaan bisa direbut,” yang sebenarnya ia berkampanye bahwa kekuasaan bisa direbut dengan kekerasan atau penggunaan senjata mematikan. Pemahaman itu pun bisa dikembangkan bahwa posisi jawara di tingkat Eropa atau dunia pun bisa direbut asalkan ada keinginan kuat dan kerja keras untuk mewujudkannya. Ketiadaan etos kerja keras membuat citacita besar sekadar mimpi.

Hari-hari buruk di bumi pertiwi belakangan ini tampaknya masih sulit digeser menjadi episode sejarah yang menawan dan menyejukkan, apalagi yang beratmosfer mewujudkan prestasi besar seperti berlaga di level dunia. Pasalnya, fakta menunjukkan tak sedikit manusia di negeri ini yang gemar mengemas perbuatan kontraproduktif, mengedepankan egoisme sektoral, meninggikan mental merasa paling benar, dan bertolak belakang dengan nilai-nilai agung dalam demokrasi, atau cita-cita berdemokrasi dalam keagungan nilai.

Kita hanya sibuk menyemaikan friksi atau mengedepankan organisasi berwajah egoisme 
daripada memikirkan kepentingan besar. Kasus radikalisme elitis dan friksi di lingkaran organisasi olahraga yang masih berkawan akrab di tubuh PSSI merupakan bagian dari realitas wajah memalukan dan memilukan. Mereka menjadikan aksi tak terpelajar dan antinasionalisme itu sebagai `bedil' untuk mematikan bibit-bibit sumber daya olahraga (sepak bola) yang seharusnya berpotensi mengglobal dan jadi kompetitor hebat.

Mereka tak berkeinginan menikmati hak berekspresi dan berkreasi, menikmati persaudaraan dalam perbedaan, dan perbedaan dalam persaudaraan dengan sesama elemen komunitas dalam konstruksi olahraga (sepak bola). Mereka memilih jadi `penjagal' norma-norma agung berbasis kebersatuan, kemanusiaan, dan profesio nalisme yang seharusnya dijunjung tinggi dan dihormati. Mereka seperti bukan dari kelompok manusia bernalar bening. Sebaliknya, mereka justru seperti kumpulan manusia purba atau barbar yang tidak paham regulasi moral dan fondasi nilai keadaban dalam ‘bernegara’ (berolahraga) atau bersepak bola.

Mereka hanya mengiblati (mempelajari) sebagian pelajaran dari Mao Tse Tung bahwa senjata apa pun bisa dan harus digunakan untuk mewujudkan ambisi, memuaskan nafsu, mengakselerasikan kepentingan eksklusif (seperti target-target mengapitalisasikan pemain asing), dan menyukseskan keserakahan. Sementara sebagian pelajaran lain, yang bertajuk kerja keras, menjaga kebersatuan, tidak bernyali lembek, dan bersikap militan tidak mereka tunjukkan sebagai senjata ampuh.

Profil PSSI kita, misalnya, bukan berkonsentrasi pada bagaimana membangun dan mengembangkan bibit-bibit unggul atau talenta-talenta muda supaya semakin bersinar dan layak jual di zona industri sepak bola modern, melainkan malah lebih menyibukkan diri dalam pertikaian yang tak kunjung tuntas.

Bagaimana mungkin bisa membangun dan mengembangkan atmosfer kompetisi sepak bola yang memotivasi lahirnya banyak prestasi kalau elemen organisasi sepak bolanya masih berfokus menghamba pada ambisi di lini `rezim' PSSI mereka, bukan pada kerja keras dan profesionalisme.

“Bakat yang biasa-biasa dibarengi kegigihan luar biasa akan membuat seseorang mampu mencapai prestasi luar biasa,“ demikian kata FX Burton, yang mengingat kan elemen strategis masyarakat supaya pantang kecil nyali dalam menunjuk kan kinerja terbaik sehingga realitas kehidupan yang dijalani tak sampai mengidap `kemiskinan' prestasi mencerahkan. Kegigihan, seperti kata Burton, menjadi kata kunci yang menentukan prestasi.

Kegigihan menjadi gambaran mental militan dan menjadikan tantangan sebagai penyemangat menuju kesuksesan. Tanpa ada kegigihan (mujahadah), prestasi luar biasa tak akan bisa dicapai dan obsesi besar hanya tinggal mimpi. Dalam sepak bola pun demikian. Bukan friksi dan kongres yang membuat prestasi besar bisa diraih, melainkan kerja keras. Kegigihan menjadi syarat utama mempertemukan dan mewujudkan dunia ide (das sollen) sepak bola modern menjadi dunia nyata (das sein) bernama prestasi.

Komunitas sepak bola akan menjadi hebat serta menuai kemajuan dan pencerahannya jika setiap segmen organisasi dan para pesepak bola punya jiwa mujahadah, yakni ada usaha keras, kerja maksimal, sikap tidak pantang menyerah, kreativitas, kegigihan yang terus menyala, dan selalu berusaha mewujudkan prestasi yang lebih tinggi, bukan sekadar supaya pesepak bola diakui di level lokal dan masih tertulis legal di catatan FIFA.

Tidak ada kegigihan yang dikonstruksi dalam sektor kehidupan apa pun, termasuk sepak bola, yang tak melahirkan dan mengembangkan generasi emas. Hanya dengan kegigihan, menyalakan nalar intelektual, dan membarakan semangat berkreasi yang dipelopori pelatih dan pengurus PSSI di tengah belantara persaingan global, komunitas persepakbolaan kita tak akan sampai kalah dalam persaingan tajam dan jauh dari stigma sebagai pecundang. Pasalnya, dalam dirinya selalu membara jiwa optimisme, tak kenal putus asa, dan menyala hasrat mendekonstruksi berbagai bentuk penyakit yang menantang atau mencoba menghancurkannya.

Selain memahami pesan Mao Tse Tung, negara juga wajib merekonstruksi sikap politik terhadap jagat olahraga. Selama ini negara bukan hanya ikut bersalah atas konflik di PSSI dan semakin temaramnya sepak bola Indonesia, melainkan juga sengaja merestui dan melanggengkan atmosfer sepak bola Indonesia tetap karut-marut. Negara sepertinya sengaja memberikan mainan kepada publik berupa sepak bola berpenyakitan supaya publik tidak berkonsentrasi mengamati dan menguliti borok-boroknya yang tergolong mengerikan.

Jika sepak bola masih tetap karut-marut, perjalanan negara atau rezim tak terganggu, minimal tak selalu dijadikan objek koreksi dan perlawanan masyarakat. Sikap negara terbaca sebagai organisasi terbesar yang mencoba berbagi kesalahan melalui organisasi sepak bola supaya publik mendapatkan tambahan ‘menu’ yang bisa dinikmati setiap saat. Terbukti, elemen rezim tidak menjadi sibuk ketika temperatur konfl ik PSSI masih belum mereda. Negara tampaknya menciptakan PSSI atau jagat sepak bola sebagai ‘negara kecil’ yang diberikan kepada rakyat untuk dinikmati.

Sikap negara itu bukannya menguntungkan bagi prospek demokratisasi dalam konstruksi sepak bola Indonesia. Itu malah mengancam jagat olahraga secara umum. Jagat olahraga akan diketahui dan dirasakan publik bukan sebagai dunia kaum berprestasi, melainkan sekadar lahan untuk membenarkan dan membebaskan para oportunis bertarung dan saling menikam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar