Masyarakat
Ekonomi Asia Pasifik
Muhammad Syarkawi Rauf ; Kepala Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Bisnis,
FE Unhas
SUMBER : KOMPAS, 6
Juni 2012
Indonesia akan menjadi ketua Kerja Sama
Ekonomi Asia Pasifik (APEC) pada tahun 2013. Posisi yang sama pernah diberikan
kepada Indonesia pada tahun 1994 yang kemudian menghasilkan ”Bogor Goals”. Posisi ini sangat
strategis karena APEC beranggotakan 21 negara yang perekonomiannya heterogen
dengan output sangat besar.
Negara-negara anggota APEC memiliki produk
domestik bruto (PDB) sekitar 57 persen dari total PDB dunia. Lima negara dengan
PDB terbesar adalah Amerika Serikat (AS), yakni sekitar 14,587 triliun dollar
AS, disusul China 5,927 triliun dollar AS, Jepang 5,459 triliun dollar AS,
Kanada 1,577 triliun dollar AS, Rusia 1,480 triliun dollar AS, dan Korea
Selatan 1,014 triliun dollar AS (World
Development Indicators, 2012).
Saat ini, perdagangan di antara negara-negara
anggota APEC sendiri diperkirakan telah mencapai 49 persen dari total
perdagangan dunia (APEC, 2011). Ekspor merupakan pendorong utama pertumbuhan
ekonomi negara-negara APEC di samping pasar domestiknya yang sangat besar.
Sekitar 41 persen populasi dunia terdapat di kawasan APEC.
Inisiatif Indonesia
Sebagai ketua APEC tahun 2013, Pemerintah
Indonesia dapat mengintroduksi inisiatif baru dalam pertemuan puncak APEC.
Inisiatifnya harus sesuai dengan kepentingan nasional dan bersifat visioner.
Sama seperti ”Bogor Goals” yang
menyepakati kerangka waktu liberalisasi investasi dan perdagangan untuk negara
maju tahun 2010 dan negara berkembang tahun 2020.
Salah satu isu utama yang dapat diusung
Indonesia adalah pembentukan ”Masyarakat Ekonomi Asia Pasifik”. Kerangka
implementasinya dilakukan secara bertahap, dimulai dari Masyarakat Ekonomi
ASEAN tahun 2015 sebagai subgrup dari APEC dan setelahnya pada tahun 2030
menuju integrasi APEC secara lebih luas.
Hal yang sama dilakukan Pemerintah Rusia
dalam posisinya sebagai ketua APEC tahun 2012. Waktu itu Rusia mengusung dua
isu, yaitu memperkuat integrasi ekonominya dengan perekonomian Asia Pasifik dan
pembangunan koridor transportasi darat untuk rute perdagangan Asia ke Eropa
melalui Rusia.
Namun, Indonesia juga tidak boleh berharap
terlalu banyak pada forum APEC karena sejumlah kelemahan terkait sifat kerja
samanya yang menganut model keanggotaan terbuka, kesepakatan didasarkan
konsensus, dan bersifat tidak mengikat. Efektivitas APEC semakin diragukan
karena ketimpangan kemajuan dan perbedaan kepentingan ekonomi anggotanya.
Sesuai cara kerjanya, APEC adalah organisasi
yang sangat longgar. Akibatnya, keputusan dalam forum APEC hanya diikuti secara
sukarela oleh anggotanya berdasarkan kepentingan nasional masing-masing negara.
Banyak keputusan APEC, seperti ”Bogor
Goals”, tidak diimplementasikan karena tidak menguntungkan dari sisi
kepentingan nasional.
Tidak bisa dihindari, perekat utama dalam
forum APEC sangat ditentukan oleh hubungan ekonomi yang saling menguntungkan
antar-anggotanya. Format ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan dapat
dilakukan dalam dua pola, yaitu mengembangkan intra-industry trade dan inter-industry
trade.
Perdagangan
Intra-industry
trade adalah perdagangan dalam industri yang sama. Perdagangan
dalam industri yang sama terjadi antarnegara yang memiliki kesamaan sumber daya
(resources), mulai dari tenaga kerja,
sumber daya alam (SDA), hingga teknologi.
Sementara inter-industry
trade lebih mencerminkan keunggulan komparatif masing-masing negara,
misalnya negara maju berkonsentrasi di teknologi tinggi dan negara berkembang
di teknologi menengah (Krugman, 2001).
Sejak tahun 1980-an hingga saat ini, intra-industry trade dan inter-industry trade di Asia Pasifik
terus mengalami perkembangan. Proses akselerasi terjadi pascaPlaza Accord, yakni kesepakatan yang dihasilkan pada pertemuan
beberapa negara maju di Hotel Plaza New
York tahun 1985 yang membuat dollar AS terdepresiasi terhadap yen Jepang.
Akibatnya, ekspor Jepang mengalami penurunan
karena harganya menjadi lebih mahal dalam dollar AS.
Plaza
Accord (1985) mendorong perusahaan Jepang merelokasi
industrinya ke luar negeri, khususnya ke Asia Timur. Sehingga pada tahun 2003,
rasio intra-industry trade di Asia
Timur terhadap total perdagangannya sudah melampaui NAFTA yang hanya sekitar 45
persen dan setara dengan Uni Eropa yang sekitar 60 persen (Wakasugi, 2007).
Intra-industry
trade Indonesia dengan Asia tahun 1980 hanya 37 persen dari
total perdagangan sektor manufaktur. Dalam waktu 10 tahun, perdagangan dalam
industri yang sama Indonesia dengan Asia meningkat menjadi 96 persen. Namun, intra-industry trade sektor manufaktur
Indonesia dengan ASEAN baru mengalami peningkatan dalam 10 tahun terakhir.
Inter-industry
trade Indonesia dengan negara lainnya yang terbesar secara
berturut-turut adalah dengan Jepang, Amerika Serikat, dan China. Indonesia
selama ini menjadi eksportir neto untuk produk pertanian (agroindustri) dan
importir neto untuk produk sektor manufaktur berteknologi tinggi. Sementara
dengan negara ASEAN relatif kecil karena kesamaan sumber daya antarnegara.
Akhirnya, pilihan Indonesia mengusung tema
”Masyarakat Ekonomi Asia Pasifik” dapat dilakukan dengan peta jalan berikut,
yaitu prioritas pertama memberikan insentif kepada sektor swasta untuk
mengembangkan intra-industry trade di
ASEAN dan Asia Timur.
Langkah ini komplementer
dengan visi Indonesia untuk menjadikan ASEAN sebagai basis produksi untuk
ekspor ke negara maju. Prioritas kedua, mengembangkan inter-industry trade dengan negara-negara Amerika Utara dan
Pasifik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar