Melawan
Agresi Pelajar dengan Manajemen Konflik
Titik Firawati ; Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 11 Juni 2012
INI
bukan tentang agresi militer Belanda I dan II. Juga bukan tentang agresi
pemerintah AS terhadap Irak. Agresi yang dimaksud di sini ialah agresi yang
terjadi sehari-hari, di mana-mana, dan melibatkan anak-anak sekolah. Kita
mengenalnya sebagai tawuran pelajar.
Tawuran
merupakan bentuk lain dari agresi. Pelajar tawuran sesudah kalah tanding sepak
bola, misalnya, menunjukkan perilaku agresif. Beberapa orang menganggap
perilaku agresif bersifat bawaan; beberapa lainnya mengatakan lingkungan. Apa
pun perspektif yang digunakan, perilaku agresif dapat dikontrol karena, berbeda
dari hewan yang sama-sama berperilaku agresif, manusia memiliki akal sehat.
Konrad
Lorenz, etolog dari Austria dan penerima Nobel Perdamaian 1973, berpendapat
akan berbahaya bila individu-individu dalam sebuah kelompok mengombinasikan
agresi dengan ‘antusiasme militan’-kecenderungan seseorang kehilangan kontrol
diri atas perilaku kekerasan ketika bersatu dengan orang lain yang memiliki
motivasi yang sama.
Tawuran
merupakan bentuk agresi paling mencolok di sekolah--mencolok dilihat dari
pelaku anak sekolah, mencolok dilihat dari jatuhnya korban baik yang luka-luka
maupun tewas, mencolok dilihat dari frekuensi kejadiannya, juga mencolok
dilihat dari tanggung jawab institusi pendidikan sebagai motor pendidikan damai
di masyarakat.
Berdasarkan
data yang dikeluarkan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus tawuran
yang berhasil mereka dokumentasikan pada 2011 sebanyak 339 kasus dan menewaskan
82 pelajar. Meski demikian, angka-angka yang cukup meresahkan itu belum juga
menghentikan agresi antarpelajar.
Penyebab
tawuran acap kali dikaitkan dengan faktor solidaritas antarteman, pengakuan,
atau pencarian jati diri. Faktor-faktor penyebab semacam ini menyediakan rumput
kering yang setiap waktu, jika ada percikan api (pemicu), dapat berujung pada
bentrok fisik. Faktor pemicu biasanya sepele: kalah tanding, tersenggol di
acara pentas seni, berpapasan di jalan, dan lain sebagainya.
Lebih
jauh dari kedua hal tersebut, ada tawuran terjadi sesekali, tapi ada juga
tawuran di antara dua sekolah yang sama berlangsung menahun.
Jenis
tawuran kedua memiliki arti khusus dalam hal sejarah kelompok yang bermusuhan
dan peran ketua gang, senior, atau alumni dalam memelihara permusuhan tersebut,
antara lain melalui doktrinasi dan provokasi.
Belum Optimal
Pihak sekolah telah melakukan berbagai macam cara untuk
mengatasi tawuran. Namun, usaha tersebut belum menunjukkan hasil
memuaskan--terbukti dengan kasus tawuran yang masih ada hingga sekarang.
Mengapa itu belum optimal? Sejumlah cara yang biasanya ditempuh memiliki kelemahan.
Cara-cara tersebut yaitu:
1. Mengganti badge dengan nama sekolah tertentu
menjadi badge dengan nama yang lebih umum. Keputusan itu datangnya dari
pemerintah di salah satu kota di Indonesia dan berlaku untuk semua sekolah di
kota tersebut. Dalam praktiknya,
keputusan tersebut sulit mencegah tawuran karena seorang siswa dapat mengenali
musuhnya dari identitas fisik, bukan badge.
2.
Memindahkan lokasi sekolah. Dalam kasus tertentu, pihak sekolah memindahkan sekolah ke area yang dianggap
lebih aman. Salah satu sekolah di Jakarta yang terlibat tawuran memutuskan
pindah dengan alasan lingkungan di sekitar sekolah padat menyesakkan sehingga
menambah tingkat stres murid yang
kemudian bisa berujung pada tawuran. Kebijakan itu, sama dengan poin sebelumnya,
dinilai tidak tepat sasaran dan cukup mahal secara material dan sosial.
3.
Menghukum fisik, menskors, hingga mengeluarkan dari sekolah. Menghukum fisik
dianggap ketinggalan zaman dan tidak mendidik karena berkontribusi menyuburkan
nilai-nilai kekerasan. Menskors dan mengeluarkan murid dari sekolah juga
mengurangi makna penting pemberdayaan murid dalam usaha pencegahan tawuran. Pelajar
pelaku tawuran sekalipun harus menjadi bagian dalam proses transformasi karena
di luar statusnya sebagai pelaku, ia sebetulnya berperan sangat penting sebagai
sumber informasi sekaligus sumber perubahan. Tanpa kehadiran mereka secara
fisik, upaya mencegah tawuran berjalan tidak optimal.
Penanganan Alternatif
Dengan belajar dari kelemahan-kelemahan tadi, kita membutuhkan
terobosan lain yang setidaknya mencakup pertimbangan-pertimbangan pokok, antara
lain tepat sasaran,
nirkekerasan, inklusif/melibatkan banyak pihak (termasuk murid pelaku
kekerasan), murah, dan terintegrasi ke dalam sistem pendidikan di sekolah
sehingga berdampak jangka panjang.
Terobosan
macam apa yang dimaksud? Terobosan itu ialah manajemen konflik berbasis sekolah
(MKBS). Artinya, pendekatan resolusi konflik dalam pendidikan yang bertujuan
agar warga sekolah, khususnya peserta didik, secara fisik dan psikologis merasa
bebas dari kekerasan, mendapatkan kesempatan bekerja dan belajar dengan yang
lain untuk mewujudkan tujuan bersama, dan menghargai perbedaan di sekolah.
Ada
lima pilar yang menyokong MKBS, yaitu: 1) budaya sekolah, 2) kurikulum yang
damai, 3) kelas yang damai, 4) mediasi sejawat, dan 5) parti 5) parti sipasi m
a syara kat.
Pertama,
untuk mencegah kekerasan, warga sekolah perlu menyepakati nilai, norma, dan
kebiasaan prososial macam apa yang hendak ditanamkan di sekolah. Supaya budaya
sekolah tersebut terpelihara dengan baik, semua pihak perlu membuat slogan,
menyusun tata tertib, merancang mekanisme penghargaan dan sanksi, merayakan
keberhasilan sekolah dalam menjalankan budaya damai, dll. Langkah-langkah itu
tentu saja harus konsisten dengan budaya sekolah yang dipilih. Maksudnya, jika
mereka mengembangkan budaya nirkekerasan, penghargaan dan sanksi, misalnya,
juga bersifat nirkekerasan.
Kedua,
mengintegrasikan nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian (pemecahan
masalah, toleran, menghargai keragaman, dst) ke dalam kurikulum sekolah menjadi
cara alternatif yang dapat sekolah tempuh. Nilai-nilai tersebut dikolaborasikan
ke dalam unsur-unsur kurikulum: tujuan, materi, dan strategi pembelajaran serta
sistem evaluasi. Di samping itu, guru bisa menempuh strategi lain, yakni
berbagi pengetahuan dan keterampilan manajemen konflik dalam mata pelajaran
tersendiri atau mengorganisasi pelatihan manajemen konflik di luar jam belajar.
Ketiga,
kelas yang damai mempunyai lima ciri utama, yaitu kerja sama, komunikasi,
ekspresi emosional, apresiasi terhadap perbedaan, dan resolusi konflik. Guru
berperan cukup penting dalam menciptakan suasana kelas yang mencerminkan kelima
ciri tersebut. Guru yang mampu merangsang kreativitas siswa dan siswi dalam
berpikir, berkarya, dan berinteraksi, maka suasana kelas akan menyenangkan.
Keempat,
murid secara aktif mempraktikkan mediasi, termasuk sebagai mediator (dipilih
teman atau guru atau mekanisme lain berdasar pada ketentuan yang sudah
disepakati sebelumnya). Selain itu, pengetahuan dan keterampilan mediasi bisa
dilembagakan, contohnya melalui kegiatan ekstrakurikuler dan pelatihan rutin
untuk seluruh warga sekolah. Apa manfaatnya? Guru sering dibebani dengan
masalah yang tidak ada kaitannya dengan mengajar, seperti melerai anak karena
rebutan pacar dan membina anak-anak tawuran. Kini, mereka bisa fokus pada tugas
pokoknya, sedangkan murid diharapkan menjadi lebih mandiri dan bertanggung
jawab dalam menyelesaikan masalahnya sendiri.
Kelima,
masyarakat, termasuk keluarga, memiliki peran sentral dalam memastikan
anak-anak tumbuh menjadi orang yang bertanggung jawab. Apa yang bisa mereka
lakukan? Masyarakat bekerja sama untuk memastikan lingkungan sekitar sekolah
bebas dari kekerasan atau kondisi yang mendorong kekerasan, seperti tawuran
antarkampung, budaya mengumpat, tindak kejahatan, dan mabuk-mabukan. Contoh
upaya lainnya ialah anggota masyarakat atau orangtua menjadi narasumber di
kelas membicarakan topik-topik yang relevan dengan pekerjaan dan pengalaman
mereka.
Dalam
banyak hal, tawuran pelajar lebih berbahaya daripada agresi yang kita kenal
dalam pelajaran sejarah bangsa-bangsa karena terjadi sehari-hari, cenderung
selalu melukai korban (jika tidak menewaskan mereka), dan pelaku sekaligus
korban adalah anak-anak muda penerus bangsa. Namun, penanganan yang diupayakan
sejauh ini belum juga berhasil mencegah budaya tawuran yang telah mengakar.
Bagaimanapun
juga, akar perilaku agresif tersebut harus dicabut. Menghambatnya tumbuh tidak
cukup hanya dengan pendekatan konvensional. MKBS bisa menjadi salah satu
alternatif terbaik untuk mencegah agresi antarpelajar, dan oleh karenanya, itu
perlu diterapkan. Bukannya mencegah lebih
baik daripada mengobati? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar