Selasa, 12 Juni 2012

Membaca dan Memberi Makna Warisan Kebudayaan

Membaca dan Memberi Makna Warisan Kebudayaan
M Sobary ; Budayawan
SUMBER :  SINDO, 11 Juni 2012


Mari kita robohkan segera Istana Negara, gedung yang sekarang kita sebut istana itu,karena dia warisan kolonial Belanda. Mari kita robohkan sampai ke fondasi terakhirnya, Istana Bogor itu, karena dia warisan kolonial Belanda.

Mari kita hancur luluhkan Istana Cipanas itu, karena bukankah di juga warisan kolonial Belanda? Kemudian kita akan bergerak menghancurkan semua gedung tua, warisan “berapa banyak abad lewat”—ini ungkapan penyair Sutardji Calsoum Bahri—yang kini masih berdampingan secara damai dengan kita. Gedung-gedung bank, kantor-kantor pos, gedung-gedung pengadilan Belanda dulu, semua stasiun, semua rel kereta yang membentang dari satu stasiun ke stasiun lainnya, semua itu warisan kolonial Belanda.

Jalan-jalan raya, di mana saja, selama itu warisan Belanda, hancurkan setandas- tandasnya, karena semua itu Belanda yang dulu membikinnya. Jalan Daendels, dari Anyer sampai Panarukan, juga harus disikat karena itu warisan Daendels yang menjajah kita dengan kekejaman tiada tara. Bunga Raflesia, dan History of Java, dua-duanya ada hubungan dengan Rafles, yang juga penjajah.

Maka hancurkan keduanya sekalian meskipun dia bukan Belanda. Gedung kesenian, gedung bioskop, gedung tempat berkumpul sinyo-sinyo yang berdansa-dansi, semua tak boleh ada karena warisan Belanda. Perusahaan penggalian minyak, yang dulu dibikin Belanda, lebih bagus kita bikin hancur. Dan kemudian, contoh lain, perkebunan-perkebunan yang di kemudian hari kita kembangkan menjadi salah satu jenis badan usaha milik negara itu. Itu pun tak luput dari keharusan untuk dibikin hancur tadi.

Begitukah cara kita membaca dan memberi arti—sekaligus memetik manfaat—dari apa yang kita sebut warisan kebudayaan? Seorang aktivis terkemuka, dan pandai sekali menyampaikan argumen dari sudut kesehatan tentang rokok, menyebutkan di suatu media di Jakarta, bahwa rokok itu warisan kolonial Belanda, maka harus dihabiskan. Kalau logika ini yang kita ikuti, maka penghancuran atas semua jenis peninggalan Belanda yang saya sebut di atas jelas menjadi halal, dan mulia.

Jangan lupa, wayang, yang saat ini kita sebut warisan budaya bangsa untuk dunia, toh sumbernya dari India. Ini harus dihancurkan juga? Perang global melawan rokok ini pertama-tama harus dilihat sebagai perang bisnis. Artinya, urusan bisnis, bukan urusan kesehatan, yang ditaruh sebagai nomor satu. Sebagai perang bisnis—sekali lagi komitmen untuk meraih keuntungan materi, bukan urusan pernapasan—maka logika bisnis yang diutamakan. Bisnis bisa menghalalkan cara apa saja. Ketika argumen ekonomi tak begitu tajam, dipakailah argumen kesehatan.

Dan argumen agama, atau moral, dipakai juga setelah penjelasan dari sudut kesehatan tak menyentuh perasaan mayoritas umat manusia. Argumen moral itu mungkin hanya berlaku di sini, karena di sini ada organisasi sosial keagamaan yang bisa diajak berbicara. Industri yang produknya membikin gangguan serius bagi kesehatan di negeri ini banyak jumlahnya. Tapi yang banyak jumlahnya itu mungkin hanya masuk kategori “kecil-kecilan”, dan tak layak untuk memperoleh perhatian dunia sebagaimana tembakau dan keretek.

Maka, mereka pun tak diganggu gugat. Industri keretek dan tembakaunya, lain sekali. Mengapa segala macam produk industri yang berbahaya, yang disebut dengan singkat ”drug”, oleh para pedagang dianggap lebih “aman” dan karena itu dibiarkan saja oleh dunia usaha yang membikin perang bisnis di bidang tembakau dan keretek? Karena dianggap soal “kecil” tadi.

Apa urusannya para pedagang itu dengan WHO, atau apa urusan WHO dengan para pedagang? Karena para pedagang itu penuh perhatian terhadap kesehatan dunia? Mungkin ini sebuah omong kosong. Apa kata kita tentang “drug”, yang di mata kaum rohaniwan dianggap cara halus konspirasi dunia buat menghancurkan generasi muda kita? Kenapa kita diam saja? Karena para rohaniwan tak punya dana untuk melakukan kampanye melawan “drug”?

Kenapa kita begitu penuh dengan semangat menghancurkan tembakau dan keretek? Apa hubungan kita semua, dengan Bloomberg Initiative, yang secara terbuka menyatakan ke seluruh dunia, perang melawan tembakau dan keretek, dengan dana besar, dan siapa saja di sini boleh menerima dana itu asal mau membantu menghabisi tembakau demi keuntungan mereka yang patut diragukan bila mereka sungguh berpikir tentang kesehatan dunia?

Apa urusan kita membela mereka? Ada “rewards” macam apa yang membuat kita begitu dahsyat memusuhi bangsa kita sendiri? Saya tahu, bisa saja orang asing yang membawa bibit tembakau ke negeri kita ini. Tapi kita yang mewarisi dan mengembangkannya dengan kreativitas tinggi sesuai kebutuhan kita. Para pendiri industri keretek di Kudus, semua orang kita. Mereka pandai, gigih, kreatif, dan punya kesediaan bekerja mati-matian demi kemajuan bisnis mereka.

Bangsa kita sendiri yang mengolah, mengembangkan, dan mematangkan usaha spesifik dan bagus ini menjadi milik bangsa. Jangan disederhanakan menjadi begitu sepele, bahwa ini warisan kolonial Belanda. Kita harus fair, dan tulus, menilai suatu persoalan. Kenapa saya sendiri terlibat dalam kelompok membela tembakau dan keretek?

Pertama, saya penasihat Asosiasi Petani Tembakau Jawa Tengah, dan jabatan ini saya peroleh agar bisa lebih dekat, lebih paham dan bisa membela para petani tembakau. Di sini saya gigih, dan sikap saya jelas sangat politis. Orang-orang itu menghancurkan keretek dengan cara-cara kolonial. Dan tak ada kolonial yang sopan. Sikapnya mematikan. Untuk mematikan itu kolonial menempuh cara apa saja.

Kedua, industri rumah tangga di bidang keretek mereka bunuh juga. Aktivis berteriak perlunya menaikkan setinggi-tingginya cukai keretek, dan itu mereka lakukan. Industri kecil hampir semua mati. Mereka membantu kolonial asing itu dan membunuh usaha dan harkat hidup bangsanya sendiri. Kalau saya ikut terjun membela mereka, di mana salahnya suatu gerakan melawan kaum kolonialis-imperialis.

Saya malah bertanya, kenapa ada aktivis yang begitu nasionalis, tapi tega membunuhi usaha bangsanya sendiri? Mana lebih mulia: membela petani tembakau dan industri rumah tangga keretek yang dibunuhi, apa ikut membunuhi industri itu demi mengabdi— tak ada kata lebih bagus kecuali itu—kepentingan kolonial? Seperti semua aktor gerakan perlawanan, sebagaimana sejarawan Sartono Kartodirdjo, saya masuk ke dalam gerakan ini sebagai usaha membela bangsa kita sendiri.

Bagi saya ini “jihad fi sabilillah” sejati. Ini cara saya memahami dan memberi arti tentang warisan kebudayaan kita. Saya “aktor”, pribadi yang merdeka, dan melawan asing, demi bangsa kita sendiri.

1 komentar:

  1. Unik juga sang budayawan yang satu ini. Kini jadi perokok meski sebelumnya bukan perokok dan pembela petani tembakau yang gigih.

    BalasHapus