Kamis, 21 Juni 2012

Membangun Produktivitas Penyerapan Anggaran Publik


Membangun Produktivitas
Penyerapan Anggaran Publik
Tasroh ; Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan;
Anggota Tim desain APBD Kabupaten Banyumas
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 20 Juni 2012


DIRJEN Perbendaharaan Negara Kemenkeu Agus Suprijanto menyebutkan realisasi belanja modal APBN hingga semester I 2012 `lebih baik' daripada tahun sebelumnya, 2011. Berdasarkan data Ditjen Perbendaharaan Negara per 23 Mei 2012, realisasi penyerapan belanja modal sebesar Rp21,2 triliun dan itu berarti mencapai 12,5% dari pagu anggaran belanja yang dipatok APBN 2012 sebesar Rp168,87 triliun, (Kontan, 18 Juni 2012).

Karena `keagresifan' penyerapan anggaran itu, Dirjen Perbendaharaan Negara menargetkan pada Juni 2012 belanja modal sudah tercapai sebesar 20% dalam waktu satu bulan. Padahal, di 2011, pada saat yang sama (semester 1) itu baru mencapai 6%-7%, yakni Rp141 triliun.

Grafik penyerapan anggaran belanja modal demikian tentu saja menimbulkan tanda tanya besar mengingat dua hal kontraproduktif tradisi penyerapan anggaran belanja modal selama ini. Pertama, untuk sampai pada realisasi belanja modal setiap tahun, setidaknya butuh waktu tiga bulan sendiri untuk mengurus ubo rampe administrasi dan manajerial perencanaan anggaran sehingga agak aneh ketika dalam hitungan waktu satu bulan berani mematok realisasi penyerapan belanja modal sampai 8% lebih. Lantaran belanja modal (apalagi yang mencapai angka di atas Rp50 juta--red), setiap proyek senilai itu harus melalui proses lelang yang amat panjang dan melelahkan.

Kedua, penyerapan anggaran belanja modal sering hanya mengejar capaian kuantitatif sebuah proyek sehingga nilai produktivitas belanja modal tak signifi kan menjawab persoalan aktual belanja modal. Pakar ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Latief Adam menyebutkan belanja modal pemerintah selama ini dijadikan tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, belanja modal itu tampaknya justru lebih bersifat konsumtif (konsumsi pemerintah), sekadar ‘habis anggaran, habis perkara’.

Sudah menjadi rahasia umum, banyak proyek pemerintah yang nilainya menyedot anggaran publik justru luput dari pengawasan dan pantauan publik, kemudian belakangan terbukti bermasalah. Kasus pembangunan Wisma Atlet Palembang dan kini terjadi lagi pada kasus Hambalang (keduanya dari belanja modal Kemenpora) membuktikan strategi perencanaan dan operasional pelaksanaan belanja modal demikian rapuh.

Tragisnya, pengalaman demi pengalaman dalam tata kelola anggaran belanja (modal) selama ini tidak pernah dijadikan media evaluasi sekaligus refleksi terkait dengan produktivitas realisasi belanja negara sehingga peningkatan anggaran belanja modal yang per tahun mencapai rata-rata 35% tak signifikan menghasilkan peningkatan mutu sebanding.

Atas dasar itulah perumusan strategi membangun produktivitas realisasi penyerapan anggaran negara (khususnya belanja modal) sangat mendesak karena nilai belanja modal bagi pertumbuhan ekonomi nasional begitu strategis.
Lalu bagaimana membangun produktivitas realisasi penyerapan anggaran khususnya dalam belanja modal?

Belajar dari Jepang

Banyak pelajaran realisasi anggaran negara khususnya belanja modal di berbagai negara maju. Jepang, misalnya, merupakan negara dengan tingkat presisi dan akurasi produktivitas belanja negara yang terbaik di dunia. `Negeri Sakura' berhasil membangun sistem tata kelola anggaran negara yang produktif, yaitu merealisasikan anggaran belanja negara (khususnya belanja modal) dengan amat cerdas dan visioner.

Ada dua karakter realisasi belanja modal ala Jepang yang bisa memberi inspirasi kepada para pengambil kebijakan anggaran di negeri ini.

Pertama, bottom-up. Jauh sebelum perencanaan belanja modal diketok pada lembagalembaga negara terkait dari berbagai level, setiap departemen/lembaga negara tempat pos belanja modal akan dipergunakan, departemen keuangan Jepang secara sistemis dan masif melakukan ‘referendum’ pada level akar rumput mulai pusat hingga daerah.

Tujuannya untuk merekam ‘daftar keinginan’ rakyat/publik secara langsung tentang suatu agenda proyek pemerintah yang benar-benar menjawab persoalan publik.

Daftar isian proyek setiap kementerian/lembaga negara pun kemudian disinkronisasi sekaligus diuji publik.

Kedua, propublik, bukan proelite. Anggaran ‘publik’ ala Jepang juga sarat agendaagenda publik secara nyata, bukan sekadar ‘atas nama’ belaka seperti terjadi di Indonesia. Caranya?

Setelah uji publik dari setiap pos anggaran negara yang ada di tiap kementerian/lembaga negara, departemen keuangan kemudian melakukan uji produktivitas, yaitu menilai, menafsir, dan memprediksikan nilai guna, nilai manfaat sosial sebuah pos anggaran belanja modal terhadap totalitas jumlah dana negara yang akan dikeluarkan.

Dengan dua karakter anggaran belanja modal demikian, wajar apabila anggaran Jepang dikenal amat efi sien, efektif, dan produktif bagi semua kepentingan.

Ubah Strategi

Hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Meskipun sudah bergelar berderet-deret dan kuliah di luar negeri sekian lama, para perumus kebijakan anggaran nyaris tak pernah mau dan mampu mengubah strategi perencanaan realisasi belanja negara (apalagi belanja modal) karena berbagai alasan klasik. Akibatnya, naiknya anggaran belanja (modal) negara tak hanya dinikmati elite negara dan partai politik yang dekat dengan pengambil keputusan, tetapi juga sering gagal menjawab masalah rakyat itu sendiri. Anggaran publik pun akhirnya sekadar `atas nama' rakyat belaka.

Kini, persoalan yang terjadi dalam desain anggaran sebenarnya bukan lagi miskin duit negara atau seperti yang banyak diperdebatkan media, negara sedang tekor sehingga minim belanja modal. Itu lebih kepada kecerdasan, visi produktivitas para pengambil kebijakan anggaran di berbagai level pemerintahan itu sendiri yang kian cekak.

Terlebih dalam birokrasi di Indonesia, setiap pos belanja modal tak pernah diujipublikkan, apalagi meminta pendapat rakyat ala pemilu. Para birokrat dan politisilah yang selama ini menjadi subjek sekaligus objek belanja modal sehingga seperti disebutkan hasil riset LSM Fitra Jakarta, 80% anggaran publik (baca: negara) dinikmati dari, oleh, dan untuk para birokrat, pejabat, dan politisi.

`Pos siluman', yang lahir tanpa perencanaan matang dan miskin nilai guna sosial, kecuali proyek-proyek pesanan elite dan politisi, ditempatkan di berbagai pos belanja modal kementerian, lembaga negara, atau pemerintah daerah. Kasus mafia anggaran yang kini sedang disidik KPK dengan melibatkan segenap wakil rakyat, elite parpol, dan birokrat dapat menjadi prototipe realisasi penyerapan anggaran kontraproduktif dimaksud.

Oleh karena itu, sebelum anggaran negara disandera para penyamun, para pengerat anggaran itu, pemerintah melalui Kemenkeu dan lembaga terkait harus bahu-membahu melakukan upaya pencegahan sistemis sekaligus mendesain prototipe membangun realisasi belanja modal yang lebih efisien, efektif, dan produktif sehingga anggaran negara menjawab kebutuhan dan keinginan seluruh rakyat.

Komando untuk mengeksekusi hal demikian kini ada di kementerian keuangan dan lembaga terkait lainnya yang kini sedang sibuk dengan agenda reformasi birokrasi. Inilah PR reformasi birokrasi realisasi belanja modal yang tak kalah strategis untuk segera dibangunkembangkan kini dan nanti. Itu jika pemerintah hendak menghemat anggaran seperti yang sedang dikampanyekan belakangan ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar