Minggu, 24 Juni 2012

Membunuh Desa dengan RUU Desa


Membunuh Desa dengan RUU Desa
Bayu A Yulianto ;   Pernah Mengajar Sosiologi Perdesaan di FISIP UI;
Peneliti pada Yayasan Kekal Indonesia
Sumber :  KOMPAS, 23 Juni 2012


Pemerintah meyakini, Rancangan Undang-Undang Desa versi pemerintah yang saat ini ada di tangan DPR adalah jalan untuk bisa menyejahterakan masyarakat desa.
Benarkah demikian? RUU Desa yang dibahas panjang lebar dalam diskusi Kompas 

”Mengawal RUU Desa” di Yogyakarta (5/5/2012) ternyata penuh problematika, manipulatif, dan terkesan serampangan. Desa seperti dinyatakan oleh Kompas (7/5/2012) masih dilihat sebagai masalah, bukan komponen sosial bangsa yang semestinya mendapat tempat dan porsi lebih besar untuk bisa terlibat dalam proses sosial yang lebih luas. Di masa Orde Baru, desa dikonstruksikan dalam keseragaman dan hidup dalam bayang-bayang patronase politik negara (Anthlov, 2002). Konstruksi sosiologis yang ada dalam RUU Desa yang sekarang, berdasarkan kajian Kelompok Studi Perdesaan FISIP UI dan Yayasan Kekal Indonesia, masih punya kecenderungan antidesa. Ada hasrat sosial, baik dari individu maupun institusi yang ingin mematikan struktur orang desa itu sendiri (Lawang, 2006).

Kondisi ini diperparah ruang politik yang melahirkan kebijakan yang cenderung manipulatif dan koruptif, yang kemudian berimbas pada kualitas aturan publik yang hendak dibangun.

Persoalan Substansi

Permasalahan pokok dari substansi RUU Desa ini adalah ia tak dilandasi dua hal mendasar yang dibutuhkan dalam konteks meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pertama, RUU ini tak memiliki semangat penguatan modalitas desa. Sebuah fondasi awal yang mesti diberikan kepada desa untuk bisa menegaskan eksistensinya sehingga struktur sosial masyarakatnya bisa bertahan dan berkembang. Minimnya modalitas akan menghambat laju perkembangan masyarakat desa, termasuk penyelesaian urusan-urusan sosial di dalam masyarakat itu sendiri.

Modalitas desa meliputi hak-hak yang harus dimiliki desa dan diberikan oleh negara sebagai bentuk penciptaan keadilan sosial di masyarakat. Hak dimaksud, di antaranya, hak warga desa untuk bisa menentukan sistem kepemimpinan desa sesuai aspirasi masyarakat, termasuk jika dibutuhkan kebutuhan membangun satu majelis yang bisa menjadi institusi kontrol atas jalannya kepemimpinan di desa.

Kemudian, mengembalikan sumber-sumber pendapatan bagi desa yang sebelumnya dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak di luar desa, seperti kabupaten, provinsi, ataupun pusat, dengan porsi yang sepadan. Selain itu, hak warga desa untuk turut serta dalam pengelolaan aset yang ada di wilayah mereka serta mendapatkan pembagian keuangan dari pemerintah dan kemampuan untuk mengatur sistem keuangan desa. Dengan modalitas itu, banyak persoalan yang dihadapi masyarakat desa bisa diselesaikan sendiri tanpa melibatkan pemerintah daerah atau pusat. Bukankah kemandirian ini yang kita cita-citakan?

Kedua, RUU itu juga masih membuka kemungkinan dominasi berlebihan kelompok-kelompok yang selama ini mendapatkan manfaat dari setiap intervensi sosial di desa. Sebut saja elite desa yang menguasai aspek-aspek ekonomi politik desa dan sering kali jadi bagian tak terpisahkan dari sistem oligarki politik di tingkat lokal. Demokrasi yang jadi bagian tak terpisahkan dari proses perubahan di perdesaan tak serta-merta bisa menghapuskan sistem patronase politik yang telah demikian mengakar di masyarakat desa.

Meski dalam beberapa kasus ada pola peluruhan atas struktur patronase seperti itu, terlalu dini untuk mengatakan mekanisme sosial itu telah hilang dari masyarakat. Apalagi, ketika praktik politik kotor jadi bagian keseharian para petualang politik, baik pusat maupun daerah. Alih-alih menggerus struktur patronase di perdesaan, politik menjadi sarana paling efektif bagi keberlangsungan sistem patronase dalam wujud yang lebih canggih.

Ketakutan dan Trauma Elite

Selain persoalan substansial yang menjadi kelemahan RUU Desa sekarang, tak kalah penting adalah adanya pikiran atau perasaan para elite negeri ini yang mencemaskan pemberian kewenangan dan pendanaan pada desa bisa mengarah pada bentuk-bentuk ketidakharmonisan atau disintegrasi nasional. Dalam alam pikiran mereka, desentralisasi sampai tingkat dua saja sudah begitu merepotkan pemerintah pusat, bahkan dalam beberapa hal justru mendorong maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang sampai ke tingkat lokal. Apalagi, kalau desentralisasi diteruskan hingga tingkat desa. Potensi separatis bisa lebih menyebar skala jelajahnya dan dalam konteks ini, keutuhan NKRI dipertaruhkan.

Inilah sesat pikir para pemimpin negeri ini yang menunjukkan bahwa mereka tak paham dan tak menyadari pentingnya desa dalam republik ini. Ini juga menunjukkan, mereka tak memiliki pemahaman mengenai rakyatnya, rakyat desa yang 60 persen dari total penduduk Indonesia.

Cara pandang inilah yang menyebabkan argumentasi separatisme dan disintegrasi nasional terlalu sering diungkapkan jika bangsa ini bicara soal kemandirian desa. Mendorong kemandirian desa akan bertabrakan dengan kepentingan integrasi nasional adalah sebuah asumsi yang sangat tak beralasan. Kita harus mampu mengonstruksi kembali gagasan integrasi sesuai perkembangan persoalan sosial yang kini tengah kita hadapi. Bagaimana integrasi sebagai sebuah kebutuhan sosial dan kebutuhan nasional bisa dibangun dengan sebuah perspektif baru yang mengakomodasi segenap perbedaan pemaknaan mengenai integrasi itu sendiri. Disinilah masalah desa menjadi relevan untuk kita masukkan sebagai komponen paling penting ketika kita hendak bicara soal integrasi nasional.

Membangkitkan sebuah konstruksi integrasi nasional dari keberagaman desa-desa di Indonesia bisa menjadi sebuah jalan keluar dari tantangan integrasi itu sendiri. Selama ini, justru desa dan masyarakatnya yang telah begitu berjasa dalam mempertahankan integrasi nasional. Hasrat separatisme acap kali datang dari para elite, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun nasional, yang kepentingan ekonomi politiknya sedang terganggu.

Oleh karena itu, ketimbang senantiasa melihat desa sebagai sebuah masalah sosial, desa mesti ditempatkan sebagai sebuah potensi untuk bisa membangun Indonesia masa depan yang lebih bermakna bagi masyarakat. Membangun sebuah kerangka integrasi yang bersumber dari kenyataan empiris bahwa kita memang beragam adalah tantangan bangsa kita ke depan. Jadi, ketika RUU Desa ternyata tidak mengakomodasi bentuk-bentuk keragaman itu sendiri, sudah bisa dipastikan bahwa kita sedang mendesain sebuah peradaban Indonesia yang menihilkan keragaman dan justru mengancam integrasi nasional itu sendiri. Inilah wujud konkret dari trauma elite kita. Sudah tak kenal, takut pula.

Keengganan membicarakan mengenai desa atau membiarkan masyarakat desa berjalan sendiri sesungguhnya sama saja dengan kita berkontribusi terhadap kehancuran peradaban Indonesia masa depan. Oleh karena itu, substansi RUU Desa mesti ditinjau kembali dan diletakkan sebagai sebuah kebijakan yang mendasar dan menjadi acuan bagi program pembangunan Indonesia ke depan. Jadi, kita bisa dengan percaya diri mengatakan bahwa desa adalah masa depan kita, bukan masa lalu! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar