Rabu, 13 Juni 2012

Memetik Pelajaran dari Gunung Salak

Memetik Pelajaran dari Gunung Salak
Chappy Hakim ; Chairman CSE Aviation
SUMBER :  SINDO, 12 Juni 2012


Tangga l9 Mei 2012,sebuah pesawat Sukhoi SuperJet (SSJ) 100 mengalami musibah di Gunung Salak. Pesawat total loss serta tidak ada seorang pun awak pesawat dan penumpang yang selamat.

Pesawat SSJ-100 adalah sebuah regional jet airliner, buatan Rusia yang didesain oleh Sukhoi Civil Aircraft. SSJ-100 pertama kali terbang pada Mei 2008.Pesawat bermesin jet dua buah ini merupakan kerja sama dengan pihak Boeing, di bawah perjanjian jangka panjang yang telah dimulai sejak 2000. SSJ-100 memang tengah diusahakan pihak Rusia untuk dapat menembus pasar global.

Itu sebabnya, walau bekerja sama dengan pihak Boeing dalam rancang bangunnya, cockpit layout dan peralatan aviation electronic serta engine, Sukhoi Civil Aircraft ini justru bekerja sama dengan banyak perusahaan Eropa, antara lain Prancis dan Italia. Pada Februari 2012,pesawat SSJ-100, dengan desain cockpit yang mirip dengan cockpit Airbus— fly by wire system lengkap dengan joystick-nya—berhasil mengantongi sertifikat kelaikan terbang dan ramah lingkungan dari European Aviation Safety Agency (EASA).

Singkat kata, SSJ-100 telah siap maju dalam ajang persaingan yang sangat ketat dalam industri penerbangan dunia yang kini tengah dikuasai Boeing dan Airbus. Kecelakaan di Gunung Salak, jelas merupakan pukulan berat bagi Rusia. Patut diingat bahwa, berdasarkan pengalaman, bila sebuah pesawat total loss dan tidak menyisakan satu orang awak maupun penumpangnya, faktor penyebab kecelakaan yang sebenarnya tidak akan pernah bisa diungkap.

Itu sebabnya, antara lain, hasil penyelidikan selalu menggunakan istilah “most probable cause” atau penyebab yang paling mungkin terjadi.Lebih jauh lagi, “most probable cause” ini pun hanya bisa diungkap bila kotak hitam berhasil ditemukan dan dalam kondisi yang masih dapat dibaca. Terlepas dari itu semua, karena kecelakaan ini terjadi di wilayah Otoritas Penerbangan Nasional Republik Indonesia, mata dunia dipastikan akan melihat kejadian ini dengan 1.001 pertanyaan tentang apa gerangan penyebab kecelakaan tersebut.

Kredibilitas KNKT dan juga tentu saja kredibilitas pemerintah sebagai pemegang otoritas penerbangan berada di posisi yang menjadi fokus perhatian dunia. KNKT jelas memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk melakukan penyelidikan penyebab kecelakaan, terlebih dengan kondisi flight data recorder, bagian lain dari black box yang tercerai berai, terpisah dengan cockpit voice recorder dan baru ditemukan belakangan.

Pemerintah Indonesia sebagai pemegang otoritas penerbangan di negeri ini, tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap terjadinya kecelakaan pesawat SSJ-100. Tanggung jawab dalam arti luas,yaitu minimal dapat menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi dengan antara lain melalui hasil kerja KNKT. Masalahnya adalah,kini sudah beredar luas pendapat yang berkembang mengenai peran dari air traffic control services (ATS) dalam kecelakaan tersebut.

Jelas, terlalu dini untuk mengatakan bahwa pihak air traffic control (ATC) bersalah atau berkontribusi dalam kecelakaan ini. Sekali lagi, tentang hal tersebut kita semua harus bersabar menunggu hasil kerja KNKT. Di sisi lain, apa pun alasannya, kiranya wajib bagi kita semua untuk mendapatkan pelajaran dari peristiwa ini, agar peristiwa serupa tidak terulang lagi. Khusus tentang tudingan terhadap ATC yang diduga melakukan kesalahan, sudah banyak bantahan yang disampaikan melalui media masa.

Berulang-ulang pihak ATC mengatakan bahwa izin untuk turun dari 10.000 feet ke 6.000 feet diberi berdasarkan posisi pesawat yang berada di area aman. Lagi-lagi, pembuktian hanya dapat diperoleh nanti setelah KNKT selesai mengerjakan proses penyelidikan. Polemik dan perbantahan tentang salah atau tidaknya ATC akan menjadi menarik, bila kita berani mencoba bertanya pada diri kita sendiri, apakah selama ini memang ada masalah dengan ATC kita?

Agak kurang menguntungkan, karena jawabannya adalah memang kita punya masalah dalam urusan ATC di Indonesia. Sejak 2007 yang lalu, saat begitu banyak kecelakaan terjadi, International Civil Aviation Organization (ICAO) mendapatkan lebih dari 100 temuan dalam dunia penerbangan kita. Berdasarkan temuan ICAO tersebut, Federal Aviation Administration (FAA) menurunkan posisi Republik Indonesia ke kategori 2.

Ini bermakna Republik Indonesia dinilai tidak “comply” (memenuhi persyaratan) dengan International Civil Air Safety Regulation seperti yang ditetapkan oleh ICAO. FAA hanya mengenal dua kategori, yaitu kategori 1 adalah negara yang memenuhi syarat keamanan terbang internasional mengacu pada standar ICAO, sedangkan kategori 2 adalah mereka yang tidak memenuhi syarat.

Lebih-lebih lagi, sejak 2009, UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan telah mengisyaratkan tentang langkah-langkah penyempurnaan yang harus dilakukan. Satu di antaranya adalah, setelah dua tahun sejak diundangkan, Indonesia harus membentuk pengorganisasian ATC yang satu atap. Kini sudah lebih dari dua tahun dan hal tersebut masih belum juga terwujud. Sekarang ini ATC masih berada terpecah-pecah di bawah beberapa organisasi, antara lain Angkasa Pura 1,A ngkasa Pura 2, ementerian Perhubungan, dan Otorita Batam.

Ditambah lagi urusan ATC pun masih tergabung dalam struktur manajemen yang mengurus fasilitas airport, terminal, dan sekitarnya dalam pola “business as usual”. Pengelolaan ATC yang berbasis safety harus berada di bawah satu manajemen yang tidak tercampur baur dengan urusan bisnis lainnya. Demikianlah, di tengah-tengah pertumbuhan jumlah penumpang domestik yang fantastis, infrastruktur penerbangan menjadi tertinggal dan organisasi ATC pun masih terpecah-pecah.

Jumlah SDM yang dimiliki konon juga masih belum mencukupi, dan peralatan yang digunakan juga masih menuntut penyempurnaan yang belum tuntas dilaksanakan. ATS single provider seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang belum juga direalisasikan. Pengorganisasian satu atap atau single provider sebenarnya dapat lebih mudah menjawab tantangan mengenai jumlah SDM, kaderisasi, kesejahteraan, dan peralatan yang digunakan.

Pengelolaan ATC yang terpisah dari urusan airport dan terminal serta tetek bengek lainnya pasti akan membuat kinerja para controller akan lebih fokus! Sampai di sini, sangat masuk akal, kemudian bila kita harus mengakui bahwa sorotan terhadap jajaran ATC menjadi sesuatu yang sangat logis sifatnya. Disadari atau tidak, kita memang tengah menghadapi masalah serius dalam dunia penerbangan. Tidak saja ATC kita yang bermasalah, tetapi juga beberapa bidang terkait lainnya.

Semua itu tengah menunggu langkah perbaikan dan penyempurnaan, langkah problem solving!  Namun apa mau dikata? Dr Judith Orasanu PhD, seorang peneliti NASA yang tersohor itu, pernah mengatakan, “You can’t solve a problem unless you recognize you’ve got a problem and you understand the nature of the problem!

Pada kenyataannya, memang hanya mereka yang sadar bahwa dirinya tengah bermasalah yang akan tergerak untuk berusaha memecahkan masalah, itu pun kalau dia menguasai masalahnya!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar