Senin, 25 Juni 2012

Menanti Bara Api Padam di Papua


Menanti Bara Api Padam di Papua
Sultani ;  Litbang KOMPAS
Sumber :  KOMPAS, 25 Juni 2012


Meskipun otonomi khusus di Papua telah diberlakukan selama lebih dari satu dasawarsa, masalah keamanan merupakan persoalan yang cukup serius di ”Bumi Cenderawasih” ini. Gambaran tentang kondisi keamanan di Papua selama ini adalah ibarat bara dalam sekam.

Kerusuhan dan penembakan misterius bisa terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja tanpa kejelasan pengungkapan kasusnya. Jaminan keamanan terhadap warga di Papua masih jauh panggang dari api.

Hasil jajak pendapat Kompas menguatkan pandangan tersebut. Lebih dari separuh responden yang berdomisili di wilayah Papua menyatakan tidak puas dengan kondisi keamanan di daerahnya saat ini. Ketidakpuasan ini lahir dari kekhawatiran responden terkait sejumlah peristiwa kerusuhan dan penembakan misterius yang terjadi di Papua.

Menurut catatan Kompas, sejak April 2011 hingga Juni 2012 terjadi lima kerusuhan di Papua dengan korban tewas mencapai 27 orang. Kerusuhan itu terjadi di sejumlah wilayah, seperti Abepura di Jayapura, Ilaga di Puncak Jaya, dan Manokwari, Papua Barat.

Sejumlah kerusuhan ini dipicu konflik antar-pendukung politik kandidat kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah ataupun penembakan terhadap aktivis organisasi massa oleh polisi. Selain korban jiwa, tak terhitung kerugian material yang harus ditanggung warga lokal.

Beberapa kasus penembakan yang meminta korban jiwa juga terjadi. Sasaran penembakan terkesan acak, mulai dari aparat keamanan, pekerja PT Freeport Indonesia (FI), warga biasa, hingga anggota kelompok separatis. Obyek lain yang juga dipilih sebagai sasaran penembakan adalah fasilitas publik dan alat transportasi, terutama pesawat terbang yang menjadi tulang punggung Papua.

Gambaran tersebut memperlihatkan dua hal, yakni, pertama, otonomi khusus yang diberlakukan di Papua lebih dari satu dasawarsa tak bisa menjamin dipenuhinya hak atas keamanan dan kesejahteraan bagi warga lokal. Kedua, kebijakan otonomi khusus tak bisa mengubah hubungan eksploitatif yang berlaku di Papua.

Dari aspek sumber daya alam, kue ekonomi yang diperebutkan memang luar biasa besar. Dalam situs resminya, PT FI menyatakan, Pemerintah Indonesia menerima manfaat langsung dari eksploitasi perusahaan ini sebesar 1,9 miliar dollar AS pada tahun 2010. Belum terhitung manfaat dari sumber daya alam hutan atau perikanan.

Di sisi lain, kesejahteraan masyarakat Papua tetap terpuruk. Tingkat kemiskinan di Papua mencapai 36,8 persen. Bahkan, Indeks Pembangunan Manusia provinsi ini terus berada di peringkat terendah secara nasional sejak 2005.

Corak hubungan eksploitatif seperti ini mengakibatkan tanah Papua menjadi arena pertarungan terus-menerus untuk memperebutkan kue ekonomi atau politik di antara sejumlah kelompok di dalam negara. Kelompok kepentingan itu mulai dari level pusat hingga lokal, korporasi besar, serta kelompok-kelompok kepentingan lain.

Dalam konteks inilah persoalan keamanan dan kesejahteraan masyarakat Papua seharusnya diletakkan. Jika corak hubungan eksploitatif tersebut tak diubah, bara api dalam sekam dikhawatirkan akan mudah tersulut dan menyala-nyala seperti terjadi selama ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar