Senin, 25 Juni 2012

Mendanai Caleg


Mendanai Caleg
Muhammad Aziz Hakim ;  Pengurus Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
Sumber :  KOMPAS, 25 Juni 2012


Strategi Partai Nasdem yang akan mendanai setiap calon anggota legislatif potensialnya sebesar Rp 5 miliar-Rp 10 miliar sarat kontroversi.

Tak sedikit yang menganggap langkah itu tidak etis, mendorong pada pragmatisme politik dan menyuburkan politik transaksional. Terlepas dari beragam kontroversi ini, diakui atau tidak strategi tersebut merupakan langkah cerdik Nasdem dalam menyiasati celah hukum yang terbuka dari berbagai peraturan tentang partai politik maupun pemilu.

Tiga Celah Hukum

Setidaknya ada tiga celah hukum yang coba dimanfaatkan Nasdem dalam konteks ini. Pertama, celah hukum terkait pendanaan kampanye. Ketika strategi ini diapungkan Nasdem, sontak pandangan miring mengarah kepada siapa penyandang dana itu. Telunjuk pun mengarah ke dua ”bos besar” Nasdem, Surya Paloh dan Harry Tanoesoedibjo.

Pertanyaan selanjutnya, sebagai bos partai dan sebagai anggota partai, bolehkah Surya Paloh dan Harry Tanoe menggelontorkan dananya untuk partai secara tidak terbatas? UU No 2 Tahun 2008 jo UU No 2/2011 tentang Partai Politik dan UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu ternyata membolehkan. Artinya, berapa pun dana yang mereka gelontorkan atas nama pribadi, sah secara hukum dan tidak ada aturan yang dilanggar.

Pasal 35 Ayat (1) Huruf (a) UU No 2 Tahun 2008 mengategorikan sumbangan perseorangan anggota partai termasuk dalam bagian sumbangan yang sah menurut hukum yang pelaksanaannya diatur oleh AD/ART partai. Tak ada ketentuan batasan sumbangan dalam pasal ini. Demikian pula soal pendanaan kampanye legislatif, tak ada batasan berapa yang boleh digelontorkan partai maupun yang keluar dari kocek pribadi calon.

Dengan demikian, strategi Nasdem ini jika dicermati alurnya adalah Surya Paloh dan Harry Tanoe atas nama pribadi anggota partai menyumbangkan dananya yang tak terbatas ke Nasdem. Selanjutnya, Nasdem mendistribusikan dana itu kepada para caleg. Dalam alur ini tak ada ketentuan hukum yang dilanggar. Jika dipandang tidak etis dan berpotensi menggiring pada pragmatisme politik, maka yang keliru adalah peraturan perundang-undangannya yang menyisakan celah untuk disiasati.

Kedua, celah hukum dalam upaya membajak caleg potensial. Salah satu syarat mutlak untuk menjadi caleg dalam Pasal 51 UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu adalah menjadi anggota parpol bersangkutan. Sayangnya, tak ada batasan berapa lama caleg ini menjadi anggota partai tersebut. Jadi, terbuka peluang munculnya caleg siluman yang mendadak menjadi anggota partai hanya sekadar untuk menjadi caleg. Pun potensial memunculkan caleg naturalisasi dan kutu loncat yang berpindah partai pada detik-detik akhir pendaftaran caleg.

Rupanya, celah hukum ini dimanfaatkan dengan baik oleh Nasdem. Dalam konteks inilah patut ditebak strategi Nasdem ini sebagai upaya memancing caleg potensial, baik dari kalangan internal maupun eksternal partai.

Dengan kata lain, upaya ini dalam rangka membajak kader partai lain, terutama Partai Golkar, yang diyakini sebagai ”rumah lama” para kader Nasdem. Pun kader dari partai-partai menengah ke bawah yang tak yakin terhadap performa partainya untuk lolos ambang batas parlemen.

Ketiga, partai sebagai penentu penggantian antarwaktu. Sumbangan dana Nasdem tentu tidak gratis. Pasti ada konsesi dan komitmen yang harus dijalankan caleg ketika sudah jadi anggota legislatif. Konsesi ini dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 214 UU No 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Perlindungan itu dalam bentuk partai—selain Badan Kehormatan DPR—sebagai institusi yang berhak mengusulkan penggantian antarwaktu anggota DPR dari partainya.

Dengan perlindungan ini, Nasdem leluasa membuat komitmen dengan para caleg terkait penggelontoran dana ini. Jika para caleg nantinya melanggar komitmen, Nasdem dengan mudah melakukan penggantian antarwaktu. Dengan situasi ini, para caleg tersebut sejatinya tersandera dengan beragam komitmen itu. Tentu ini sangat menyiksa bagi para caleg idealis, tetapi tidak bagi caleg yang pragmatis.

Membangun Sistem

Membaca strategi Nasdem ini, kita mendapat gambaran bahwa masih banyak celah yang harus diperbaiki dalam membangun sistem kepartaian dan pemilu di Indonesia. Setidaknya ada tiga hal yang harus dibenahi. Pertama, mekanisme pendanaan partai dan sumbangan dana kampanye. Sudah saatnya sumbangan atas nama anggota partai dibatasi.

Pembatasan sumbangan ini perlu supaya partai tidak hanya dimiliki perseorangan dengan modal besar. Roh dari partai adalah visi, misi, dan gagasan.

Kedua, syarat menjadi caleg. Tiadanya batasan minimal berapa lama caleg menjadi anggota partai telah mengaburkan beberapa hal: mengorbankan sistem kaderisasi, potensi memunculkan kader kutu loncat, dan munculnya kader karbitan yang tidak paham partai. Sudah saatnya kita harus memberikan batasan minimal sebagai anggota partai untuk menjadi caleg. Dengan begitu, partai dipaksa untuk memunculkan caleg dari proses kaderisasinya sendiri. Artinya, partai juga harus membenahi sistem kaderisasinya untuk menghasilkan caleg-caleg berkualitas.

Ketiga, penggantian antarwaktu oleh konstituen. Kita telah dua kali bereksperimentasi terkait penggantian antarwaktu. Eksperimentasi pertama, dihilangkannya kewenangan partai melakukan penggantian antarwaktu anggota legislatif. Imbasnya, partai tak bisa mengendalikan kadernya di parlemen. Eksperimentasi kedua, dengan kembali memberikan kewenangan kepada partai melakukan penggantian antarwaktu. Eksperimentasi ini ternyata berdampak buruk berupa terkooptasinya anggota legislatif oleh partai.

Setelah dua eksperimentasi itu, tidak ada salahnya jika kita bereksperimentasi yang ketiga, berupa penggantian antarwaktu oleh konstituen. Gagasan ini patut dipertimbangkan mengingat pemilihan anggota legislatif saat ini berbasis pada perolehan suara terbanyak. Dengan ketentuan ini, konsesi dan komitmen yang dibangun Nasdem menjadi kurang bermakna. Dan pasti jika ada ketentuan ini, Nasdem pun sepertinya akan berpikir ulang untuk menggelontorkan dananya. Wallahualam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar