Jumat, 15 Juni 2012

Mengapa Perpres Baru Wamen Digugat?


Mengapa Perpres Baru Wamen Digugat?
Mohammad Novrizal Bahar ; Dosen FHUI, Kandidat Doktor pada Institute of Constitutional and Administrative Law, Faculty of Law, Economics and Governance, Universiteit Utrecht, The Netherlands
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 14 Juni 2012 
 

BELUM lagi bekerja, keberadaan para wakil menteri (wamen) kembali digugat.
Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) kembali menyatakan akan menggugat eksistensi para wamen dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan pascapemberlakuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2012, yang mengukuhkan kembali keberadaan para wamen. Gugatan akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan yang berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Buat sebagian masyarakat, memang lelah rasanya menyaksikan apa yang dilakukan GNPK. Ada satu pertanyaan pembaca yang menggelitik hati saya, yang sempat muncul di situs mediaindonesia.com, Minggu (10/6) malam, dalam menanggapi berita tentang rencana gugatan GNPK terhadap perpres yang baru. Sang pembaca berkomentar, “Mengapa mesti digugat lagi sih? Apa tidak ada kerjaan lain?” Dalam tulisan ini, walaupun tak punya kaitan langsung dengan niat GNPK, saya ingin memberikan tanggapan atas pertanyaan yang terlihat sederhana tadi. Perpres baru ini perlu dikoreksi karena dua alasan.

Pertama dari sudut pandang efisiensi. Menurut data yang dimiliki GNPK, dalam kurun waktu tiga tahun, 20 orang wamen bisa menghabiskan APBN sebesar Rp1,84 triliun. Siapa yang tak terperanjat mendengar angka yang disampaikan Minggu (10/6) pagi lewat laporan Metro this Week di Metro TV. GNPK rupanya tak puas melihat perincian pekerjaan wamen yang begitu luas, yang seharusnya hanya melakukan hal-hal yang benar-benar khusus pada kementerian tertentu saja, sehingga jumlahnya tidak perlu terlalu banyak. Saat ini ada 18 wamen dari 34 kementerian yang ada dalam kabinet.

Hal itu pun telah saya singgung dalam tulisan terdahulu (Media Indonesia, 8/6) agar Presiden mengambil sikap yang dapat meredam polemik berkepanjangan, yaitu dengan mengurangi jumlah wakil menteri. Tujuannya tentu demi eļ¬siensi.

Pasal 3 Perpres No 60 Tahun 2012 menyebutkan tugas wamen ialah: a) membantu menteri dalam proses pengambilan keputusan kementerian; b) membantu menteri dalam melaksanakan program kerja dan kontrak kerja; c) memberikan rekomendasi dan pertimbangan kepada menteri berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian; d) melaksanakan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian; dan e) membantu menteri dalam penilaian dan penetapan pengisian jabatan di lingkung an kementerian.

Dengan cakupan tugas yang demikian luas, berarti wamen tidak hanya menangani tugas tertentu. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 10 UU No 38 Tahun 2009 tentang Kementerian Negara yang menyatakan, ‘Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementrian tertentu’.

Oleh karena itu, perpres sebagai peraturan pelaksana dan merupakan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripada undang-undang perlu dikoreksi. Dalam sistem hukum yang berlaku di negara kita, koreksi itu dapat dilakukan di MA melalui upaya hukum yang dikenal sebagai judicial review. Upaya hukum itu pun masih bisa berlanjut di pengadilan tata usaha negara (PTUN) bila dari perpres ini lahir keputusan presiden yang isinya berupa penetapan terhadap pengangkatan para wamen yang berakibat merugikan pihak-pihak tertentu.

Kedua, upaya koreksi terhadap perpres yang baru perlu dilakukan demi alasan pendidikan bagi masyarakat akan ilmu dan kesadaran hukum.

Pembelajaran Berharga

Dengan diajukannya gugatan terhadap perpres tersebut ke lembaga peradilan, secara tak langsung kita telah mendidik masyarakat untuk melakukan koreksi kepada pemerintah melalui cara-cara yang benar dan ilmiah, bukan dengan cara-cara yang anarkistis.

Pranata judicial review merupakan salah satu sarana yang disediakan melalui prinsip demokrasi yang dianut negara kita. Apalagi dalam UUD 1945 telah ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Dengan demikian, bila terdapat ketidakpuasan terhadap penyelenggara negara dan hasil perbuatannya, tentunya kita harus mencari solusi dengan berdasarkan hukum, dalam hal ini lewat penegakan peraturan perundang-undangan.

Sebagai seorang pengajar di fakultas yang mengajarkan ilmu tentang perundang-undangan, saya bisa mengerti mengapa gugatan terhadap perpres wamen dilakukan. Sebab, itulah cara yang aman untuk melakukan koreksi dan bersifat mendidik. Mungkin sang pembaca tadi berpendapat, mengapa GNPK tidak memberikan koreksi langsung kepada Presiden, melalui surat pribadi, misalnya. Cara seperti itu juga baik tentunya, tetapi surat koreksi itu tetap harus diumumkan kepada masyarakat sebagai upaya pendidikan, agar masyarakat mengerti mengapa perpres itu harus diubah.

Namun, bagi GNPK tentunya tidak ada jaminan bahwa Presiden akan melakukan perubahan, karena saran GNPK itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Di situlah letak permasalahannya, mengapa upaya koreksi kemudian dilakukan lewat lembaga peradilan. Kepada sang pembaca tadi, mudah-mudahan kini mengerti mengapa gugatan itu diajukan. Kalau tidak ada upaya koreksi, artinya kita membiarkan pemerintah dalam kesalahan. Tentu saja kita tidak mau pengalaman buruk di masa dictatorship Orde Baru terulang kembali, di kala pemerintah dibiarkan melakukan kesalahan dalam penegakan peraturan perundang-undangan.

Sebagai catatan terakhir, yang perlu diketahui masyarakat ialah bahwa ketentuan Pasal 10 UU Kementerian Negara itu memang tidak dilarang dalam ilmu perundangundangan. Pertama dari segi konstitusionalitas, tidaklah masalah bila ada hal yang tidak disebutkan dalam konstitusi kemudian diatur dalam undang-undang, tapi tetap konstitusional. Hal itu tentu dimungkinkan sepanjang norma yang diatur dalam undang-undang itu tidak melawan atau bertentangan dengan isi konstitusi. Konstitusi tidak mungkin mengatur semua hal dalam pengelolaan negara.

Sebagai contoh, peraturan mengenai wakil kepala daerah dan pemerintahan desa dalam Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga tidak disebutkan dalam UUD 1945. Kedua, dari urutannya terlihat ia adalah pengecualian dari ketentuan sebelumnya, yaitu Pasal 9 yang mengatur susunan organisasi kementerian. Pasal tersebut mengatur bahwa di bawah menteri tidak ada jabatan wakil menteri, tetapi menteri langsung dibantu oleh sekretariat jenderal, inspektorat jenderal, direktorat jenderal, badan dan/atau pusat, dan pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri.

Walaupun tidak disebutkan dalam Pasal 9, dalam hal ini jabatan wakil menteri boleh diadakan atas dasar prinsip lex specialis derogat legi generali (aturan yang bersifat khusus dapat mengesampingkan aturan yang bersifat umum). Dengan demikian, rasanya tak perlu kita perdebatkan lagi konstitusionalitas ataupun legalitas jabatan wamen. Masyarakat hanya berharap Presiden dapat mengelola kabinetnya dengan seefisien mungkin, agar tak terlalu banyak memboroskan uang rakyat. Kita sedang prihatin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar