Minggu, 10 Juni 2012

Mengawal Transisi Mesir


Mengawal Transisi Mesir
Abdullah Sammy ; Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PAN
SUMBER :  REPUBLIKA, 08 Juni 2012


Rabu-Kamis lalu (23-24/5), rakyat Mesir memilih pemimpinnya dalam pilpres demokratis pertama pascatumbangnya Husni Mubarak. Hasilnya sudah terbaca bahwa capres dari Freedom and Justice Party (FJP) yang dilahirkan oleh Ikhwanul Muslimin (IM), Mohammad Mursi, dengan 24 persen dan capres Mohammad Shafiq, mantan PM terakhir di era Mubarak, dengan 23 persen suara sah di urutan teratas.

Hasil ini tak pelak mengejutkan publik dan pengamat dalam dan luar negeri yang dalam polling terakhir memprediksi capres Amr Moussa, mantan sekjen Liga Arab; dan Aboul Futuh, jalur independen; yang akan melaju ke putaran kedua pilpres. Dari realitas hasil pilpres putaran pertama, kontestasi di antara para kandidat capres Mesir yang berasal dari aliran politik yang beragam pun akhirnya mengerucut kepada dua arus besar, yaitu proreformasi yang diwakili capres Mursi berhadapan dengan sisa kekuatan loyalis mantan presiden Mubarak yang disimbolkan oleh capres Shafiq.

Dalam pengalaman banyak negara yang dalam proses transisi demokrasi, memang calon dari kubu rezim lama sering jadi kuda hitam, tak diunggulkan tapi meraup banyak suara. Unggulnya calon dari kubu status quo bisa jadi disebabkan oleh sejumlah faktor, di antaranya, terpecah belahnya kubu reformis, masih kuatnya jaringan birokrasi militer, keunggulan pengalaman, serta besarnya pendanaan yang dimiliki kelompok status quo.

Ekonomi dan Keamanan

Mesir pascarevolusi menghadapi masalah yang cukup serius, terlepas dari suksesnya pemilu legislatif pada Desember tahun silam. Masalah terbesar adalah pemulihan ekonomi dan keamanan serta mendapatkan kembali dukungan internasional. Partai politik dan presiden yang akan memimpin Mesir harus sanggup menyelesaikan masalah utama ini.

Di bidang ekonomi, angka pengang guran mencapai 9,7 persen dan 40 persen rakyat hidup miskin dan di bawah garis kemiskinan, serta tingginya tingkat buta huruf yang mencapai 71 persen dari penduduk, ditambah menyusutnya cadangan devisa Mesir dari sebelum Mubarak lengser sebesar 36 miliar dolar AS hingga menjadi tinggal 15 miliar dolar AS. Belum lagi defisit anggaran yang sangat besar, karena 55 persen dari APBN-nya tersedot untuk menanggung beban subsidi kebutuhan dasar rakyat dan membayar bunga utang luar negeri.

Sementara persoalan keamanan terkait dengan kerusuhan sosial disebabkan memburuknya sentimen terhadap minoritas Koptik dan kekhawatiran kelompok liberal terhadap kemenangan partai-partai berhaluan Islamis yang mengkhawatirkan Mesir terjerembab pada kemungkinan munculnya rezim teokratis. Sementara dukungan internasional khususnya negara-negara Barat akan sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintahan baru nanti menyikapi perjanjian damai Mesir-Israel.

Di sinilah ujian terberat capres Muhammad Mursi yang didukung FJP, apabila ia gagal meyakinkan publik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, maka kekhawatiran publik akan menjadi truf yang akan `dimainkan' kubu capres Shafiq untuk meraih dukungan. Barang kali FJP harus belajar dari Adalet Ve Kalkinma Partisi (AKP) di Turki yang berhasil meyakinkan bahkan membuktikan bahwa mereka berhasil membangun Turki sekaligus melindungi kelompok minoritasnya dalam bingkai demokrasi dan HAM.

Sebagai kandidat dari kelompok Islamis, Mursi harus menyadari bahwa dominasi kelompok Islamis di pentas politik Mesir mutakhir telah menjadi sorotan, untuk menghindari penyebutan `kekhawatiran'. Parlemen Mesir saat ini hampir 75 persen dikuasai oleh gabungan dari FJP, sayap politik Ikhwanul Muslimin dan Annour Party, sayap politik Salafi.

Besar kemungkinan kedua kubu Islamis itu bersatu dalam isu-isu strategis meskipun dalam banyak isu taktis mereka berbeda. Meskipun pujian juga datang pada dua kelompok ini karena kesediaan mereka memilih jalur demokrasi dan sistem parlementer untuk memperjuangkan agenda mereka.

Posisi Indonesia

Sebagai negara sahabat, Indonesia dapat mengambil peran dan memberikan kontribusi dengan cara berbagi pengalaman bagaimana kita menghadapi transisi politik pascareformasi 1998. Pemilu yang damai dan kemampuan melahirkan berbagai undang-undang baru yang diterima oleh berbagai pihak telah memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.

Lebih dari itu, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia mampu membuktikan bahwa nilai-nilai demokrasi dapat berjalan seiring nilai-nilai Islam. Jika saat awal reformasi pendapatan per kapita Indonesia hanya 500 dolar AS, maka hanya dalam rentang 12 tahun, pendapatan per kapita kita naik menjadi 3.500 dolar AS. Indonesia juga berkepentingan melihat Mesir, mengingat hubungan ekonomi kedua negara sangat erat.

Secara khusus Indonesia berkepentingan menjaga sekitar 5.000 mahasiswa kita yang sedang belajar di Mesir. Perubahan konstelasi politik dengan munculnya gerakan fundamentalisme akan memengaruhi dan mengganggu ketenteraman dan suasana harmonis di dalam negeri. Cepat atau lambat mereka akan pulang, jangan sampai euforia yang dilihat di negara-negara tempat mereka belajar akan dibawa sebagai oleh-oleh untuk diterapkan di Tanah Air.

Anak-anak kita harus diyakinkan bahwa apa yang terjadi di sana saat ini sejatinya terinspirasi oleh apa yang kita alami 14 tahun lalu. Karena itu, tidak berlebihan bila kita menyatakan perlu berbagi pengalaman yang kita miliki untuk menghindari penggunaan istilah mengajari mereka bagaimana seharusnya menghadapi masa transisi kekuasaan dan bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar