Mengawal
Transisi Mesir
Abdullah Sammy ; Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PAN
SUMBER : REPUBLIKA,
08 Juni 2012
Rabu-Kamis
lalu (23-24/5), rakyat Mesir memilih pemimpinnya dalam pilpres demokratis
pertama pascatumbangnya Husni Mubarak. Hasilnya sudah terbaca bahwa capres dari
Freedom and Justice Party (FJP) yang
dilahirkan oleh Ikhwanul Muslimin
(IM), Mohammad Mursi, dengan 24 persen dan capres Mohammad Shafiq, mantan PM
terakhir di era Mubarak, dengan 23 persen suara sah di urutan teratas.
Hasil
ini tak pelak mengejutkan publik dan pengamat dalam dan luar negeri yang dalam polling terakhir memprediksi capres Amr
Moussa, mantan sekjen Liga Arab; dan Aboul Futuh, jalur independen; yang akan
melaju ke putaran kedua pilpres. Dari realitas hasil pilpres putaran pertama,
kontestasi di antara para kandidat capres Mesir yang berasal dari aliran
politik yang beragam pun akhirnya mengerucut kepada dua arus besar, yaitu
proreformasi yang diwakili capres Mursi berhadapan dengan sisa kekuatan loyalis
mantan presiden Mubarak yang disimbolkan oleh capres Shafiq.
Dalam
pengalaman banyak negara yang dalam proses transisi demokrasi, memang calon
dari kubu rezim lama sering jadi kuda hitam, tak diunggulkan tapi meraup banyak
suara. Unggulnya calon dari kubu status quo bisa jadi disebabkan oleh sejumlah
faktor, di antaranya, terpecah belahnya kubu reformis, masih kuatnya jaringan
birokrasi militer, keunggulan pengalaman, serta besarnya pendanaan yang
dimiliki kelompok status quo.
Ekonomi dan Keamanan
Mesir
pascarevolusi menghadapi masalah yang cukup serius, terlepas dari suksesnya
pemilu legislatif pada Desember tahun silam. Masalah terbesar adalah pemulihan
ekonomi dan keamanan serta mendapatkan kembali dukungan internasional. Partai
politik dan presiden yang akan memimpin Mesir harus sanggup menyelesaikan
masalah utama ini.
Di
bidang ekonomi, angka pengang guran mencapai 9,7 persen dan 40 persen rakyat
hidup miskin dan di bawah garis kemiskinan, serta tingginya tingkat buta huruf
yang mencapai 71 persen dari penduduk, ditambah menyusutnya cadangan devisa
Mesir dari sebelum Mubarak lengser sebesar 36 miliar dolar AS hingga menjadi
tinggal 15 miliar dolar AS. Belum lagi defisit anggaran yang sangat besar,
karena 55 persen dari APBN-nya tersedot untuk menanggung beban subsidi
kebutuhan dasar rakyat dan membayar bunga utang luar negeri.
Sementara
persoalan keamanan terkait dengan kerusuhan sosial disebabkan memburuknya
sentimen terhadap minoritas Koptik dan kekhawatiran kelompok liberal terhadap
kemenangan partai-partai berhaluan Islamis yang mengkhawatirkan Mesir
terjerembab pada kemungkinan munculnya rezim teokratis. Sementara dukungan
internasional khususnya negara-negara Barat akan sangat ditentukan oleh
bagaimana pemerintahan baru nanti menyikapi perjanjian damai Mesir-Israel.
Di
sinilah ujian terberat capres Muhammad Mursi yang didukung FJP, apabila ia
gagal meyakinkan publik, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, maka
kekhawatiran publik akan menjadi truf yang akan `dimainkan' kubu capres Shafiq
untuk meraih dukungan. Barang kali FJP harus belajar dari Adalet Ve Kalkinma
Partisi (AKP) di Turki yang berhasil meyakinkan bahkan membuktikan bahwa mereka
berhasil membangun Turki sekaligus melindungi kelompok minoritasnya dalam
bingkai demokrasi dan HAM.
Sebagai
kandidat dari kelompok Islamis, Mursi harus menyadari bahwa dominasi kelompok
Islamis di pentas politik Mesir mutakhir telah menjadi sorotan, untuk
menghindari penyebutan `kekhawatiran'. Parlemen Mesir saat ini hampir 75 persen
dikuasai oleh gabungan dari FJP, sayap politik Ikhwanul Muslimin dan Annour
Party, sayap politik Salafi.
Besar
kemungkinan kedua kubu Islamis itu bersatu dalam isu-isu strategis meskipun
dalam banyak isu taktis mereka berbeda. Meskipun pujian juga datang pada dua
kelompok ini karena kesediaan mereka memilih jalur demokrasi dan sistem
parlementer untuk memperjuangkan agenda mereka.
Posisi
Indonesia
Sebagai
negara sahabat, Indonesia dapat mengambil peran dan memberikan kontribusi
dengan cara berbagi pengalaman bagaimana kita menghadapi transisi politik
pascareformasi 1998. Pemilu yang damai dan kemampuan melahirkan berbagai
undang-undang baru yang diterima oleh berbagai pihak telah memberikan
kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi.
Lebih
dari itu, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia mampu
membuktikan bahwa nilai-nilai demokrasi dapat berjalan seiring nilai-nilai
Islam. Jika saat awal reformasi pendapatan per kapita Indonesia hanya 500 dolar
AS, maka hanya dalam rentang 12 tahun, pendapatan per kapita kita naik menjadi
3.500 dolar AS. Indonesia juga berkepentingan melihat Mesir, mengingat hubungan
ekonomi kedua negara sangat erat.
Secara
khusus Indonesia berkepentingan menjaga sekitar 5.000 mahasiswa kita yang
sedang belajar di Mesir. Perubahan konstelasi politik dengan munculnya gerakan
fundamentalisme akan memengaruhi dan mengganggu ketenteraman dan suasana harmonis
di dalam negeri. Cepat atau lambat mereka akan pulang, jangan sampai euforia
yang dilihat di negara-negara tempat mereka belajar akan dibawa sebagai
oleh-oleh untuk diterapkan di Tanah Air.
Anak-anak
kita harus diyakinkan bahwa apa yang terjadi di sana saat ini sejatinya
terinspirasi oleh apa yang kita alami 14 tahun lalu. Karena itu, tidak
berlebihan bila kita menyatakan perlu berbagi pengalaman yang kita miliki untuk
menghindari penggunaan istilah mengajari mereka bagaimana seharusnya menghadapi
masa transisi kekuasaan dan bukan sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar