Mengawasi
Pembiayaan Pendidikan
Abdullah Yazid ; Peneliti
International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
SUMBER : SUARA
KARYA, 8 Juni 2012
Bandingkan dengan artikel Abdullah Yazid di KORAN TEMPO, 08 Mei
2012 :
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merupakan
instansi dengan anggaran paling gemuk di antara kementerian/lembaga (K/L)
negara. Anggarannya naik dari Rp 266,9 triliun pada 2011 menjadi Rp 286,6
triliun pada 2012 meski sebagaimana diamanatkan UU tetap pada porsi 20 persen
dari ABPN.
Sayangnya, pembiayaan pendidikan masih belum cukup terbuka.
Pemangku kepentingan belum sepenuhnya mengetahui anggaran dan sumber pembiayaan
pendidikan nasional. Bahkan Menteri M Nuh pun mengakui lembaga pendidikan pun
masih timpang terutama lembaga pendidikan tinggi. Belum ada audit pendidikan
agar masyarakat mengetahui penggunaan anggaran secara transparan. Kebijakan
pembiayaan pendidikan masih searah dalam menentukan anggaran. Pungutan pun
masih saja merajalela.
Pembiayaan pendidikan belum mampu mengangkat posisi indeks
pembangunan manusia (IPM) Indonesia, bahkan di ASEAN sekalipun. Laporan BPS
menyatakan Indonesia masih di peringkat 108 pada 2009 dan 2010 dengan indeks
masing-masing 59,3 dan 60,0 atau hanya tumbuh 1,18 persen. Kita hanya
mengungguli Vietnam (peringkat 113), Laos (122), Kamboja (124), dan Myanmar
(132), dan masih kalah dengan Singapura (27), Brunei Darussalam (37), Malaysia
(57), Thailand (92), dan Filipina (97).
Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan
tinggi kita masih relatif rendah (56 persen untuk SLTP, 32 persen SLTA, dan 12
persen perguruan tinggi). Padahal pelaksanaan wajib belajar (Wajar) 9 tahun
sudah digalakkan dengan menggratiskan biaya operasional sekolah jenjang SD
hingga SLTP sejak 2005 melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
jumlahnya terus meningkat. Dana BOS per 2010 sebesar Rp 16,6 triliun dan Rp
16,4 triliun pada 2011, naik tajam menjadi Rp 27,67 triliun pada 2012.
Meskipun porsi anggaran pendidikan sudah besar, Kemendikbud masih
mengusulkan tambahan anggaran dalam rapat kerja terakhir (19/04/12) dengan
Komisi X atas alasan untuk bantuan siswa miskin, afirmasi pelayanan pendidikan
menengah dan universal, serta peningkatan daya tampung dan saing di PT.
Sejak otonomi daerah, pengelolaan sekolah sejak dari SD hingga
SLTA menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda). Tidak ada lagi Kanwil
dan Kandepdiknas. Itu diganti dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di bawah
Pemda, dan Dinas Pendidikan Provinsi di bawah Pemprov. Dengan konfigurasi
demikian, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan cukup mendasar. Daerah
bertanggung jawab penuh membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD
mereka. Dukungan pusat dimungkinkan, namun itu pun harus melalui mekanisme APBD.
Dalam praktiknya, ternyata ini menyulitkan dan sering terjadi inkoherensi
antara pusat dan daerah.
Pembiayaan pendidikan yang bersifat budgeter (dibelanjakan
sekolah) dan non-budgeter (dibelanjakan murid, orang tua/keluarga) sering
berbeda dan timpang antara satu daerah dengan lainnya. Belum disusun indikator
yang memungkinkan anggaran pendidikan terserap sesuai kebutuhan prioritas per
daerah. Yang terjadi selama ini hanya berdasar penerimaan anggaran yang merujuk
besaran pada tahun-tahun sebelumnya karena ketidakberanian me-ngubah mindset
menuju pemerataan pendidikan. Sistem birokrasi dan struktur dana alokasi khusus
(DAK) serta dana alokasi umum (DAU) juga ikut memengaruhi potensi
penyalahgunaan anggaran raksasa ini.
Belum lagi, masalah kesenjangan pendidikan antarkabupaten dan
antarprovinsi di Indonesia. Artinya, kesenjangan pembiayaan ini perlu diungkap
menyeluruh sehingga pemahaman mengenai disparitas pemerataan pendidikan akan
lebih komprehensif agar semua jenis ketimpangan dan disparitas pembiayaan
pendidikan, bisa dikurangi.
Jika merujuk pada konsepsi yang dibangun Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP), standar pembiayaan pendidikan menyangkut biaya investasi,
biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi
penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan SDM dan modal kerja tetap. Biaya
personal meliputi biaya yang dikeluarkan peserta didik untuk mengikuti proses
pembelajaran, sementara biaya operasi meliputi gaji pendidik dan tenaga
kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan dan peralatan
pendidikan habis pakai, serta biaya operasi pendidikan tak langsung berupa
daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur,
transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
Faktanya, pembiayaan pendidikan nasional masih dihabiskan pada
kebutuhan biaya operasi ini. Sama halnya dengan di K/L lainnya, pemerintah
belum mampu mengubah paradigma berpikir yang drastis dan frontal untuk
mengefisiensikan biaya operasi sehingga target-target pencapaian pendidikan
dapat terpenuhi.
Yang ada, anggaran untuk peningkatan SDM, pembangunan sarana dan
prasarana sekolah yang rusak, serta perluasan beasiswa yang tepat sasaran, baik
untuk anak pintar maupun yang terkategori tidak pintar, tetap saja dapat
dikalahkan oleh kepentingan biaya operasi. Jika kebutuhan biaya operasi belum
tuntas, maka otomatis akan sulit menarget terpenuhinya pembiayaan pendidikan
tepat guna dan tepat tujuan.
Belum lagi, pengawasan program dan proyek-proyek pemerintah di
bidang pendidikan yang selalu menjadi makanan empuk para pemain lama maupun
baru di proyek-proyek pendidikan. Jika paradigma dan keberanian political will
pemerintah masih saja menegasikan hal ini, kita akan sulit meningkatkan
pendidikan bangsa. Karena itu, pengawasan pembiayaan secara komprehsensif perlu
dilakukan kontinyu dan melibatkan komponen-komponen terkait. Orang terdidik pun
bisa korupsi dan mau menerima uang korupsi jika ditempatkan di lahan basah
tanpa pengawasan yang memadai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar