Sabtu, 09 Juni 2012

Mengawasi Pembiayaan Pendidikan


Mengawasi Pembiayaan Pendidikan
Abdullah Yazid ; Peneliti International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
SUMBER :  SUARA KARYA, 8 Juni 2012
Bandingkan dengan artikel Abdullah Yazid di KORAN TEMPO, 08 Mei 2012 :


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merupakan instansi dengan anggaran paling gemuk di antara kementerian/lembaga (K/L) negara. Anggarannya naik dari Rp 266,9 triliun pada 2011 menjadi Rp 286,6 triliun pada 2012 meski sebagaimana diamanatkan UU tetap pada porsi 20 persen dari ABPN.

Sayangnya, pembiayaan pendidikan masih belum cukup terbuka. Pemangku kepentingan belum sepenuhnya mengetahui anggaran dan sumber pembiayaan pendidikan nasional. Bahkan Menteri M Nuh pun mengakui lembaga pendidikan pun masih timpang terutama lembaga pendidikan tinggi. Belum ada audit pendidikan agar masyarakat mengetahui penggunaan anggaran secara transparan. Kebijakan pembiayaan pendidikan masih searah dalam menentukan anggaran. Pungutan pun masih saja merajalela.

Pembiayaan pendidikan belum mampu mengangkat posisi indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia, bahkan di ASEAN sekalipun. Laporan BPS menyatakan Indonesia masih di peringkat 108 pada 2009 dan 2010 dengan indeks masing-masing 59,3 dan 60,0 atau hanya tumbuh 1,18 persen. Kita hanya mengungguli Vietnam (peringkat 113), Laos (122), Kamboja (124), dan Myanmar (132), dan masih kalah dengan Singapura (27), Brunei Darussalam (37), Malaysia (57), Thailand (92), dan Filipina (97).

Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi kita masih relatif rendah (56 persen untuk SLTP, 32 persen SLTA, dan 12 persen perguruan tinggi). Padahal pelaksanaan wajib belajar (Wajar) 9 tahun sudah digalakkan dengan menggratiskan biaya operasional sekolah jenjang SD hingga SLTP sejak 2005 melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang jumlahnya terus meningkat. Dana BOS per 2010 sebesar Rp 16,6 triliun dan Rp 16,4 triliun pada 2011, naik tajam menjadi Rp 27,67 triliun pada 2012.

Meskipun porsi anggaran pendidikan sudah besar, Kemendikbud masih mengusulkan tambahan anggaran dalam rapat kerja terakhir (19/04/12) dengan Komisi X atas alasan untuk bantuan siswa miskin, afirmasi pelayanan pendidikan menengah dan universal, serta peningkatan daya tampung dan saing di PT.

Sejak otonomi daerah, pengelolaan sekolah sejak dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda). Tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas. Itu diganti dengan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di bawah Pemda, dan Dinas Pendidikan Provinsi di bawah Pemprov. Dengan konfigurasi demikian, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan cukup mendasar. Daerah bertanggung jawab penuh membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD mereka. Dukungan pusat dimungkinkan, namun itu pun harus melalui mekanisme APBD. Dalam praktiknya, ternyata ini menyulitkan dan sering terjadi inkoherensi antara pusat dan daerah.

Pembiayaan pendidikan yang bersifat budgeter (dibelanjakan sekolah) dan non-budgeter (dibelanjakan murid, orang tua/keluarga) sering berbeda dan timpang antara satu daerah dengan lainnya. Belum disusun indikator yang memungkinkan anggaran pendidikan terserap sesuai kebutuhan prioritas per daerah. Yang terjadi selama ini hanya berdasar penerimaan anggaran yang merujuk besaran pada tahun-tahun sebelumnya karena ketidakberanian me-ngubah mindset menuju pemerataan pendidikan. Sistem birokrasi dan struktur dana alokasi khusus (DAK) serta dana alokasi umum (DAU) juga ikut memengaruhi potensi penyalahgunaan anggaran raksasa ini.

Belum lagi, masalah kesenjangan pendidikan antarkabupaten dan antarprovinsi di Indonesia. Artinya, kesenjangan pembiayaan ini perlu diungkap menyeluruh sehingga pemahaman mengenai disparitas pemerataan pendidikan akan lebih komprehensif agar semua jenis ketimpangan dan disparitas pembiayaan pendidikan, bisa dikurangi.

Jika merujuk pada konsepsi yang dibangun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), standar pembiayaan pendidikan menyangkut biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan SDM dan modal kerja tetap. Biaya personal meliputi biaya yang dikeluarkan peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran, sementara biaya operasi meliputi gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan dan peralatan pendidikan habis pakai, serta biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.

Faktanya, pembiayaan pendidikan nasional masih dihabiskan pada kebutuhan biaya operasi ini. Sama halnya dengan di K/L lainnya, pemerintah belum mampu mengubah paradigma berpikir yang drastis dan frontal untuk mengefisiensikan biaya operasi sehingga target-target pencapaian pendidikan dapat terpenuhi.

Yang ada, anggaran untuk peningkatan SDM, pembangunan sarana dan prasarana sekolah yang rusak, serta perluasan beasiswa yang tepat sasaran, baik untuk anak pintar maupun yang terkategori tidak pintar, tetap saja dapat dikalahkan oleh kepentingan biaya operasi. Jika kebutuhan biaya operasi belum tuntas, maka otomatis akan sulit menarget terpenuhinya pembiayaan pendidikan tepat guna dan tepat tujuan.

Belum lagi, pengawasan program dan proyek-proyek pemerintah di bidang pendidikan yang selalu menjadi makanan empuk para pemain lama maupun baru di proyek-proyek pendidikan. Jika paradigma dan keberanian political will pemerintah masih saja menegasikan hal ini, kita akan sulit meningkatkan pendidikan bangsa. Karena itu, pengawasan pembiayaan secara komprehsensif perlu dilakukan kontinyu dan melibatkan komponen-komponen terkait. Orang terdidik pun bisa korupsi dan mau menerima uang korupsi jika ditempatkan di lahan basah tanpa pengawasan yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar