Menggugat
Pengobjekan TKI
Satrio Wahono ; Sosiolog
dan Magister Filsafat UI
SUMBER : SUARA
KARYA, 5 Juni 2012
Gregetan! Itulah yang terlintas
dalam benak bangsa ini saat mendengar kasus terbunuhnya tiga tenaga kerja
Indonesia (TKI) kita di Malaysia. Mengenaskannya lagi, sempat tersiar kabar
bahwa jasad tiga saudara sebangsa kita itu pun ditengarai terkotori oleh
tangan-tangan tak bermoral yang mengambil organ tubuh mereka untuk dijual.
Namun, berita yang kian mempertegas betapa teraniayanya hak-hak hukum dan
martabat TKI kita di luar negeri itu luruh sudah ketika hasil otopsi ulang di
Indonesia ternyata organ tubuh mereka masih utuh.
Terlepas dari itu, peristiwa di atas mengingatkan kita akan bahaya
pengobjekan manusia yang jauh-jauh hari sudah diwartakan oleh filsuf masyhur
Gabriel Marcel (1889-1973). Marcel adalah filsuf eksistensialis yang bersibuk
pada bagaimana manusia seharusnya eksis atau mengada.
Sebagaimana Marcel ungkapkan dalam Man Against Mass Society
(1952), ia prihatin dengan kecenderungan manusia zaman modern yang memandang
orang lain semata sebagai kumpulan fungsi-fungsi. Artinya, manusia tidak lagi
dipandang sebagai pribadi melainkan hanya berdasarkan aspek fungsionalnya. Misalnya,
orang hanya dilihat sebagai tenaga kerja, objek devisa, pekerja, mesin uang,
bukan lagi sebagai manusia.
Pendapat Marcel demikian tampaknya berpangkal pada
satu fakta berupa kepercayaan berlebihan manusia modern terhadap kemampuan
rasionya. Dalam terminologi modernisme, rasio memang dianggap sebagai instrumen
yang mampu menguasai dan membedah alam serta merumuskan hukum-hukum alam yang
ajek (nomotetis).
Dengan kata lain, rasio manusia mengambil posisi sebagai pengamat
yang berjarak dari objeknya, yaitu alam. Celakanya, objek-objek itu dalam
perjalanannya tidak lagi berhenti pada benda mati semata, melainkan meluas pada
manusia sebagai objek. Singkat kata, terjadi proses pengobjekan atau
dehumanisasi terhadap manusia.
Makanya, pendewaan berlebihan terhadap rasio manusia membuat objek
- termasuk manusia itu sendiri - dipandang secara impersonal, tanpa emosi, dan
hanya berdasarkan pada manfaat yang bisa diberikan objek tersebut. Sekali lagi,
nilai dan harga diri manusia ditentukan hanya oleh kedudukan dan fungsinya
dalam masyarakat.
Langkah Konkret
Oleh karena itu, kasus tewasnya tiga TKI kita di Malaysia ini
harus menjadi momentum dan tamparan keras untuk menyadarkan kita akan tragedi
kelam pengobjekan manusia di Indonesia oleh industri tenaga kerja kita sendiri.
Inilah saatnya kita bersikap sangat kritis terhadap praktik pengiriman TKI
kita. Jamak kita ketahui bahwa TKI kita memang benar-benar diperlakukan sebagai
objek untuk mendatangkan lebih banyak manfaat bagi para aktor ekonomi yang
bermain di dalam jejaring industri ini.
Sebagai contoh, sejak dari perekrutan orang yang berhasil menarik
calon TKI sudah mendapat komisi menggiurkan jutaan rupiah. Alhasil, banyak
'makelar TKI' yang tergoda untuk menghalalkan segala cara, mulai dari
bujuk-rayu hingga pemaksaan, demi mendapatkan calon rekrutan TKI baru dan
komisi tersebut.
Contoh lain, apabila pulang, alih-alih disambut hangat sebagai
pahlawan devisa, TKI kita justru diperas habis-habisan. Mulai dari pungutan
liar di terminal, bandara sampai pengenaan tarif tinggi untuk jemputan pulang
via mobil charteran. Lengkap sudah status TKW kita sebagai objek yang paripurna
ketimbang sebagai manusia.
Maka dari itu, sekaranglah saatnya kita berteriak 'tidak' pada praktik pengobjekan manusia,
utamanya yang dilakukan industri TKI kita saat ini. Dua langkah konkret
setidaknya bisa disebut. Pertama, sudah saatnya Indonesia memberlakukan kembali
dalam jangka waktu tak terbatas moratorium pengiriman TKI kepada negara-negara
yang terbukti memiliki rekam jejak jelek dalam memperlakukan warga negara kita
sebagai objek yang tak punya harga diri dan martabat. Juga, kepada
negara-negara yang tidak memiliki komitmen dan perjanjian tertulis untuk melindungi
hak-hak pekerja kita.
Kedua, moratorium itu harus disertai dengan penciptaan lapangan
kerja di dalam negeri supaya tidak terjadi ledakan pengangguran. Caranya,
pemerintah perlu menggalakkan proyek-proyek padat-karya seperti proyek
infrastruktur dan proyek-proyek industri manufaktur. Singkat kata, sejak detik
ini pemerintah mesti berkomitmen membalikkan pendulum deindustrialisasi dalam
perekonomian kita dan berhenti menempuh cara gampang meningkatkan devisa negara
lewat ekspor barang mentah dan, tragisnya lagi, ekspor manusia.
Ketiga, negara kita juga perlu menjalankan diplomasi kuat (strong diplomacy) demi menunjukkan
ketersinggungan kita kepada Malaysia. Sebab, kita sebagai negara sahabat dan
serumpun justru kerap mendapati hak-hak warga negara kita diinjak-injak di
sana. Diplomasi kuat itu, misalnya, bisa dijalankan dengan mengirimkan nota
protes, memanggil pulang duta besar kita, menghentikan sementara ekspor
berbagai produk ke Malaysia, himbauan untuk mengerem konsumsi produk-produk
Malaysia seperti produk pendidikan dan kesehatan, dan lain sebagainya.
Selama ini, sudah begitu banyak TKI menjadi martir untuk
menyadarkan kita akan pentingnya menghentikan perbudakan modern dan
mengembalikan kebanggaan nasionalisme dan harga diri kita sebagai bangsa yang
berdaulat dan bermartabat. Sungguh dosa
besar bagi bangsa ini apabila nyawa para pahlawan itu terbuang sia-sia! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar