Menjadi
Manusia yang Manusiawi
Ahmad Ubaidillah ; Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam
UII Yogyakarta
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 6 Juni 2012
Dalam cacatan sejarah bangsa-bangsa di dunia,
kekerasan sosial memang selalu mewarnai derap langkah perjalanan bangsa
tersebut.
Realitas tindakan penganiayaan, perampokan,
pemerkosaan, bahkan pembunuhan baik antar-individu maupun kelompok masyarakat
turut menjadi bagian dari sejarah. Banyak hal yang memicu tindakan
destruktif-anarkistis ini, di antaranya agama, keyakinan, ideologi, suku, dan
bahasa.
Di Indonesia, kekerasan dengan berbagai
bentuknya bisa kita temukan. Kita ambil contoh, di Yogyakarta. Sebagaimana
diwartakan media massa, telah terjadi peristiwa tawuran yang melibatkan pemuda
dari Indonesia Timur di depan Benteng Vredeburg pada Jumat (1/6) yang mengakibatkan
dua kendaraan bermotor hangus terbakar.
Tragedi kekerasan ini jelas merusak tatanan
kota Yogyakarta sebagai kota pelajar dan berbudaya. Masih banyak lagi
kekerasan-kekerasan yang terjadi di daerah-daerah di Indonesia yang menujukkan
eksistensi manusia yang tak lagi manusiawi.
Padahal, semua perilaku tidak manusiawi yang
dilakukan manusia tersebut sering kali mendatangkan kerugian bagi manusia itu
sendiri, baik secara material (misalnya hancurnya rumah, kendaraan atau
fasilitas umum) maupun kerugian nonmaterial (misalnya hilangnya kerukunan,
keharmonisan atau persudaraan).
Memang, sejak dulu, kehidupan damai manusia,
termasuk manusia Indonesia, tidak henti-hentinya diusik manusia sendiri itu.
Manusia terkadang suka meluluhlantakkan nilai-nilai kemanusiaan dan
menghancurkan eksistensi manusia itu sendiri. Manusia kerap kali bersikap
melampaui fitrahnya sendiri dengan berbuat di luar kewajaran. Manusia pada
dasarnya baik. Oleh karena itu, segala sesuatu yang tidak baik harus ditolak
karena bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri.
Hal yang lebih menyedihkan, friksi
antar-agama, suku, keyakinan atau golongan tertentu terkadang sengaja
diciptakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, bahkan aktor
intelektual. Demi kepentingannya, mereka menjadi biang kerok setiap kekerasan
yang terjadi.
Para perusuh yang membabi-buta di tengah
masyarakat yang kemudian merusak tatanan kehidupan berbangsa dan negara sering
kali adalah wayang-wayang yang dikendalikan sang dalang tertentu demi tujuan
tertentu juga.
Hancurnya kehidupan damai dan sejahtera
manusia tersebut tidak terlepas dari perilaku “bodoh” manusia itu sendiri,
yaitu perilaku manusia tetapi tidak memahami nilai-nilai kemanusiaan. Padahal,
setiap manusia cenderung memiliki sifat-sifat manusiawi yang bermuara pada
hidup rukun dan damai.
Ini mungkin juga akibat dari budaya kekerasan
yang ada dalam masyarakat kita yang tampaknya sengaja dikembangkan. Kalau
perilaku seperti terus-menerus dipertahankan, besar kemungkinan yang muncul
adalah peradaban yang dangkal dan rapuh. Di masa depan, boleh jadi bangsa ini
akan kehilangan jati diri dan identitasnya sebagai bangsa yang ramah dan sopan
santun. Apakah akibat buruk ini sudah kita renungkan baik-baik?
Inilah masyarakat kita yang sedang mengalami
krisis kemanusiaan. Inilah realitas bangsa kita yang tengah mengalami
kekosongan nilai-nilai humanisme. Kita harus sepakat bahwa segala bentuk
tindakan kekerasan oleh siapa pun dan motif apa pun merupakan pelecehan
terhadap kemanusiaan itu sendiri. Kita sebagai manusia sudah semestinya berdiri
dan bersatu dalam suatu resolusi serta berkomitmen untuk menyingkirkan semua
kekejian dan kekejaman tersebut.
Maka di sinilah sikap humanisme yang dimaknai
sebagai penjagaan harkat, martabat, dan nilai dari setiap manusia dan semua
upaya untuk meningkatkan kemampuan alamaiah manusia secara penuh, harus
diinternalisasikan ke dalam diri kita masing-masing. Setiap individu bangsa ini
perlu membumikan nilai-nilai kemanusiaan ke dalam jiwa-jiwa mereka.
Pendidikan Humanisme
Berbagai kasus kekerasan, penganiayaan, dan
pembunuhan yang menggerogoti bangunan kebangsaan dan kenegaraan kita belakangan
ini mengindikasikan bahwa pendidikan belum mampu berperan secara signifikan
dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa manusiawi.
Kekerasan atas nama agama, suku, ideologi,
kelompok, kepercayaan, dan seterusnya adalah masalah-masalah bangsa yang segera
harus dipecahkan oleh kita semua sekaligus tugas bagi dunia pendidikan yang
belum terselesaikan. Salah satu upaya strategisnya adalah dengan membangun
paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan, yaitu pendidikan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan mengedepankan sikap toleransi
terhadap segala bentuk perbedaan tersebut.
Upaya mewujudkan satu proses rehumanisasi
melalui pendidikan menuju manusia Indonesia baru tidak mungkin bisa terlaksana
tanpa adanya penguatan mulai dari pendidikan sejak dini. Di sini, konsep atau
kurikulum, sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, perlu mengandung
fondasi-fondasi humanistik kepada peserta didik secara matang dan mantab agar
nantinya manusia Indonesia ke depan memiliki karakter saling menghormati,
toleran, dan bersikap pluralisme.
Selain itu, penanaman kembali nilai-nilai
humanistik juga bisa ditempuh melalui peran tokoh agama, tokoh masyarakat, atau
pemimpin bangsa sebagai panutan dan pembimbing umat manusia, khususnya manusia
Indonesia. Mereka harus memainkan peranannya masing-masing dalam proses
rehumanisasi dengan cara memberikan pengajaran serta keteladanan yang
komprehensif tentang ajaran agama, budaya, adat istiadat, hukum dan sebagainya
yang mengedepankan nilai-nilai humanisme.
Upaya rehumanisasi manusia Indonesia akan
mencapai kesuksesan kalau seluruh anak bangsa bersinergi dan bersikap serius
dalam mewujudkannya. Ini semua perlu dilakukan agar tatanan bangsa dan negara
Indonesia yang kita huni ini nantinya diisi oleh manusia-manusia yang berjiwa
manusiawi.
Akhirnya, demi mencetak sejarah peradaban
bangsa yang unggul di masa mendatang, kita harus membangun kesadaran kolektif
bahwa kemajuan peradaban bangsa Indonesia tidak akan pernah terwujud kalau
anak-anak bangsa sebagai pembangun peradaban tidak mampu menghargai segala
bentuk perbedaan. Kita perlu memupuk keyakinan bersama bahwa segala bentuk pluralitas
di negeri ini akan mendatangkan kekayaan dan kebaikan bangsa kalau ditopang
oleh sikap pluralisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar