PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN :
Menuju
Indonesia 2045
Laporan Diskusi Panel
Terbatas KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 12
Juni 2012
Ke mana para visioner ketika pemerintah sibuk
mengekspor sumber daya alamnya? Ke mana para ahli ekonomi ketika semua
kebijakan negara seolah berjalan tanpa strategi masa depan?
Inilah ironi Indonesia. Negeri dengan
kekayaan sumber daya alam luar biasa, tetapi semua nyaris habis terkuras karena
orientasi jangka pendek hampir di semua bidang. Sepanjang diskusi, ironi terus
muncul dalam deretan angka dan fakta.
Ketika India dan China menghemat-hemat
cadangan batubaranya, produksi batubara Indonesia justru digenjot hingga 332
juta ton per tahun, termasuk untuk diekspor ke China. Ketika Rusia sibuk
ekspansi untuk meningkatkan cadangan minyaknya, ladang-ladang minyak Indonesia
yang sudah dikuras hanya mampu berproduksi hingga 11 tahun ke depan.
Di manakah duduk soalnya sehingga seolah kita
jalan di tempat, sementara banyak negara sudah melesat jauh ke depan?
Kesadaran Baru
Bangkitnya kesadaran lingkungan berjalan
seiring dengan terbitnya buku Silent
Spring karya Rachel Carson, 1962. Menjadi best seller, buku ini menginspirasi keprihatinan publik terhadap
kerusakan lingkungan, terutama karena polusi dan penggunaan pestisida yang
berlebihan. Silent Spring turut
berjasa membuat pestisida DDT dilarang di Amerika Serikat tahun 1972.
Pada tahun 1972 pula, berlangsung Konferensi
PBB tentang Lingkungan Manusia, di Stockholm, Swedia. Konferensi ini
menyepakati Deklarasi Stockholm yang
berisi prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup untuk masa depan, rencana
aksi untuk merencanakan permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pengendalian
pencemaran, pendidikan, dan informasi tentang lingkungan hidup.
Meskipun kesadaran tentang lingkungan sudah
muncul dan prinsip-prinsip untuk menjaga kelestarian lingkungan sudah
dihasilkan, dalam praktiknya lingkungan hidup dan pembangunan ekonomi ternyata
masih berjalan secara terpisah.
Maka, sepuluh tahun kemudian,
diselenggarakanlah Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan yang
lebih dikenal sebagai KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 3-14 Juni 1992.
Konferensi yang dihadiri para kepala pemerintahan dunia ini mencari pola
pembangunan yang bisa serentak mengintegrasikan tiga jalur: ekonomi, sosial,
dan lingkungan.
Pada saat itu memang terjadi ketidakmerataan
karena rata-rata pendapatan satu miliar penduduk negara kaya 20 kali lebih
tinggi dari lebih tiga miliar penduduk negara miskin. Di antara penduduk negara
miskin, 450 juta di antaranya menghuni daerah pertanian yang tidak subur, 450
juta menghuni daerah bencana yang rawan longsor, banjir, dan degradasi lahan,
sementara 100 juta lagi menghuni daerah-daerah kumuh.
Hal itu semakin mengukuhkan perlunya KTT Bumi
karena pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi ternyata hanya
membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan.
Inilah yang kemudian melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, suatu model
pembangunan yang menyejajarkan aspek ekonomi dengan sosial dan lingkungan.
Namun, komitmen bersama lebih dari 180 negara
dalam KTT Bumi itu tak berjalan sesuai harapan. Banyak faktor yang membuat
sejumlah negara melanggar kesepakatan Rio: ancaman terorisme, krisis ekonomi,
dan liberalisasi ekonomi, selain paradigma pembangunan berkelanjutan yang
digagas di Rio memang tidak tegas mekanisme pelaksanaannya. Maka, yang terjadi
adalah perusakan lingkungan yang berkelanjutan.
Maka, pemicu ancaman terbesar bagi kehidupan
umat manusia ke depan adalah bencana hidrometeorologi: banjir, tanah longsor,
kekeringan. Laporan Global Humanitarian
Forum 2009 menyebutkan, perubahan iklim adalah penyebabnya, dampak dari
penggunaan energi fosil yang tidak terkendali, penebangan hutan, dan emisi
industri.
Menuju 2045
Indonesia adalah bagian dari kegagalan
implementasi hasil KTT Bumi. Konflik dan pelanggaran HAM yang dilaporkan ke
Komnas HAM sepanjang dua tahun terakhir mencapai 10.139 pengaduan, yang
sebagian besar adalah kasus agraria dan sumber daya alam.
Untuk mencapai Indonesia 2045 perlu perubahan
pola pikir ke konsep pembangunan berkelanjutan: pembangunan yang berbasis
efisiensi penggunaan sumber daya, pola konsumsi dan produksi yang
berkelanjutan, dengan memasukkan biaya lingkungan dan sosial.
Inilah paradigma baru yang seharusnya bisa
mengubah drastis proses pembangunan sekaligus menuntut perubahan gaya hidup.
Meski demikian, implementasinya jelas membutuhkan kreativitas, pengetahuan, dan
kesertaan masyarakat.
Ekonomi yang terkait kuantitas, kompetisi,
dan perluasan harus dikaitkan dengan lingkungan alam dan sosial yang lebih
membutuhkan kualitas kerja sama dan konservasi. Salah satu kuncinya adalah buku
ini mengubah cara perusahaan berproduksi, mengelola lingkungan, dan terutama
dalam berinteraksi dengan masyarakat di sekitar lokasi perusahaan.
The
Handbook for Corporate Action dari Persatuan
Internasional untuk Konservasi dan Alam (International
Union for Conservation of Nature/IUCN) menyebutkan, perusahaan punya
tanggung jawab sosial dalam pengambilan keputusan terkait dengan etika,
penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pelestarian sumber daya alam.
Dalam dunia bisnis konsep tersebut juga
dikenal sebagai Creating Shared Value (CSV),
sebuah konsep strategi bisnis yang mengintegrasikan faktor sosial dalam
merencanakan strategi perusahaan dan sekaligus membangun keunggulan kompetitif
baru. Penciptaan nilai bersama menjadi bagian integral dari keuntungan dan daya
saing unggulan perusahaan.
Dengan segenap kekurangannya, program
peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan yang lebih dikenal
sebagai Proper sebenarnya di jalur
CSV ini. Proper tidak hanya berdampak
pada internal perusahaan, tetapi juga pada lingkungan dan masyarakat
sekitarnya. Bahkan, pasar modal dan perbankan pun sudah memanfaatkannya.
Pertanyaannya, siapkah
mengimplementasikannya dalam skala luas? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar