Menyatukan
Kalender Islam Itu Wajib
(
Wawancara )
Syamsul Anwar ; Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
SUMBER : REPUBLIKA,
11 Juni 2012
Setiap
kali menjelang Ramadhan, Idul Fitri, maupun Idul Adha, umat Islam di Tanah Air
selalu bertanya-tanya, apakah hari-hari besar Islam itu akan dilaksanakan
serempak oleh umat atau tidak. Pertanyaan sema cam itu wajar mengemuka. Sebab,
sudah beberapa kali umat Islam di Indonesia merayakan Lebaran ataupun mengawali
Ramadhan dalam waktu yang tidak ber samaan. Ada yang merayakan lebih dahulu dan
yang lain belakangan. Hal ini terjadi lantaran masih ada beda pandangan di
kalangan ormas Islam terkait penentuan waktunya.
Seperti
dijelaskan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof Dr H Syamsul
Anwar MA, pihaknya selama ini menerapkan metode hisab atau penghitungan
berdasarkan kriteria geometris benda langit tertentu dalam menentukan awal
bulan. Syamsul yang juga guru besar Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta menegaskan, pihaknya tetap memakai metode ini karena dinilai lebih
memberikan kepastian dalam penentuan awal bulan.
Kepada
wartawan Republika, Yusuf Assidiq, yang mewawancarainya beberapa waktu lalu,
Syamsul menjelaskan seputar alasan pemilihan metode hisab, kriteria penentuan
awal bulan, landasan ilmiah dan syar’i, serta kaitannya dengan metode rukyat.
Berikut petikannya.
Sejak kapan metode hisab diterapkan
Muhammadiyah?
Sejak
Kiai Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sebenarnya organisasi keagamaan ini
sudah berwawasan hisab. Hisab di sini dalam artian luas, bukan hanya untuk
menentukan awal bulan, melainkan juga meluruskan kiblat masjid, menghitung awal
waktu, dan sebagainya. Dalam perjalanannya, metode tersebut dikembangkan terus.
Maka, sekarang kita menggunakan yang disebut hisab wujudul hilal.
Bagaimana prinsip hisab ini?
Intinya
adalah penentuan awal bulan tidak dikaitkan dengan penampakan. Jadi, murni
suatu kriteria geometris. Maksudnya, berdasarkan posisi-posisi benda langit,
semisal terbenamnya Matahari, Bulan, dan sebagainya. Saat ini kita berpegang
pada tiga kriteria.
Pertama,
untuk memasuki bulan baru harus sudah terjadi konjungsi (ijtimak). Putaran Bulan mengelilingi Bumi dalam satu putaran
sinodis (satu keliling lebih sedikit). Adapun maksud ijtimak adalah posisi benda langit berada pada satu garis lurus,
contohnya Bumi, Bulan, dan Matahari posisinya sejajar. Sehingga, Bulan baru
adalah apabila sudah terjadi konjungsi serta kembali ke garis sejajar.
Ada
hadis menyatakan, “Sesungguhnya kami
adalah umat yang umi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab.
Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang 29 hari dan
kadang-kadang 30 hari.“ (HR
al-Bukhari dan Muslim). Ini artinya, proses Bulan mengelilingi Bumi. Dalam
putaran sinodis, Bulan mengelilingi Bumi selama 29,5 hari. Tapi, karena Bulan
tidak ada 29,5 hari maka yang setengah dimasukkan pada Bulan yang lain.
Kedua,
ijtimak harus terjadi sebelum Maghrib atau sebelum Matahari terbenam. Karena,
Matahari terbenam adalah akhir dari hari sedang berjalan dan awal hari baru.
Mengapa harus sebelum Matahari
terbenam?
Jika
sesudah Matahari tenggelam, berarti ijtimak
itu Bulan belum satu putaran sinodis. Belum cukup satu bulan atau belum 29,5
hari. Oleh karena itu, kalau terjadi sebelum Maghrib, sudah terpenuhi syarat
kedua. Tetapi, jika lewat Maghrib, misalnya, pukul 19.00, 20.00, dan
seterusnya, ya belum memenuhi syarat kedua.
Adapun
ketiga, saat terbenam Matahari, posisi Bulan belum terbenam. Dengan kata lain,
Bulan harus terbenam belakangan dari Matahari. Atau, Bulan sudah di atas ufuk.
Ini karena meski sudah ada syarat pertama dan kedua, kalau pukul 17.00 terjadi ijtimak, dimungkinkan Bulan sudah
terbenam lebih dulu. Maka, itu disyaratkan Bulan belum terbenam.
Nabi
pernah bersabda yang intinya berpuasalah karena rukyat. Itu pasti Bulan di atas
ufuk. Dan, yang kedua, jika Bulan tidak terlihat, genapkan 30 hari. Bila ini
yang terjadi, berarti kemarin petang Bulan sudah tenggelam lebih dulu dan dalam
tempo 24 jam Bulan di atas ufuk. Apabila tiga syarat ini sudah terpenuhi maka
esok hari sudah masuk Bulan baru.
Jika ada satu syarat tidak
terpenuhi?
Ini
syarat kumulatif. Artinya, ketiganya harus terpenuhi seluruhnya.
Satu saja tidak terpenuhi, ya tidak bisa. Maka, untuk Ramadhan ini, ijtimak pada Kamis, 19 Juli pukul 11.25 atau menjelang tengah hari. Pada petang harinya, Bulan terbenam belakangan dari Matahari, artinya Bulan di atas ufuk atau 1 3/4 derajat.
Satu saja tidak terpenuhi, ya tidak bisa. Maka, untuk Ramadhan ini, ijtimak pada Kamis, 19 Juli pukul 11.25 atau menjelang tengah hari. Pada petang harinya, Bulan terbenam belakangan dari Matahari, artinya Bulan di atas ufuk atau 1 3/4 derajat.
Karena
itu, besoknya, pada Jumat, 20 Juli, sudah masuk 1 Ramadhan. Sehingga, untuk
Ramadhan ada kemungkinan berbeda dengan pemerintah karena pemerintah
mensyaratkan sekurangnya tinggi hilal dua derajat.
Sebagian kalangan mempertanyakan
Muhammadiyah yang kukuh dengan sistem hisab. Komentar Anda?
Itu
yang paling penting kita jelaskan. Ada sebagian kalangan bahkan menilai kami
terlalu egoistis. Memang benar, Nabi memerintahkan kepada umat untuk memulai
Ramadhan, Idul Fitri, bahkan Idul Adha dan Muharram menggunakan rukyat. Nabi
bersabda, “Apabila kamu melihat hilal berpuasalah dan apabila kamu melihatnya
beridulfitrilah.“ Ini satu hadis sahih yang tidak ada yang membantah.
Muhammadiyah pun tidak pernah membantah itu.
Muncul
pertanyaan, mengapa Nabi perintahkan rukyat? Dalam perspektif
Muhammadiyah,
perintah rukyat itu merupakan perintah yang ada alasannya. Nah, itu dijelaskan
dalam hadis lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. “Sesungguhnya kami
adalah umat yang umi, kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab.
Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang 29 hari dan
kadang-kadang 30 hari.“
Jadi,
di situ Nabi menjelaskan, tidak memakai hisab karena umat ketika itu umumnya
belum menguasai tulis-baca. Itu satu hal. Dalam istilah ilmu fikih, itu
illat-nya atau alasannya. Sehingga, jika umat sudah bisa menghisab, tidak perlu
lagi rukyat.
Kalau memakai rukyat, apa
masalahnya?
Kami
menganggap ada beberapa persoalan dalam penggunaan rukyat. Pertama, pada zaman
Nabi, umat Islam baru ada di Jazirah Arab saja. Sehingga, kalau rukyat di
Makkah atau Madinah tidak ada problem dengan daerah luar atau yang jauh dari
Arab. Tetapi, pada zaman modern sekarang, umat sudah ada di mana-mana. Rukyat
menimbulkan problem sebab rukyat di muka Bumi terbatas.
Bisa jadi di Arab Saudi bisa terukyat, di Indonesia belum. Karena, dalam ilmu
falak, Bulan bergerak secara semu. Ini akan menimbulkan masalah. Pada bulan
haji, di Makkah sudah terlihat, di Indonesia bulan Dzulhijjah belum terlihat. Akibatnya,
di Makkah besoknya tanggal 1 Dzulhijjah, di Indonesia tanggal 1 Dzulhijjah baru
pada lusa. Maka, tanggal 9 Dzulhijjah jadi berbeda, di Makkah tanggal 9
Dzulhijjah jamaah haji wukuf, kita baru tanggal 8 Dzulhijjah.
Bagi
kita ini masalah, kapan kita melaksanakan puasa Arafah atau puasa ketika jamaah
haji wukuf. Misal, wukuf tanggal 9 Dzulhijjah, kita baru tanggal 8. Kalau kita
tetap puasa berarti pada tanggal 8, padahal puasanya tanggal 9. Tapi, kalau
kita tunggu 9 Dzulhijjah, di sana sudah Idul Adha. Bukan puasa Arafah lagi,
melainkan puasa Idul Adha.
Inilah
kelemahan rukyat yang pertama, yakni tidak bisa menyatukan tanggal dan momen
pelaksanaan ibadah haji seperti puasa Arafah. Maka itu, kita masih bertahan
gunakan hisab, jadi bukan ngeyel-ngeyelan.
Kelemahan
rukyat kedua, intensitas pergerakan umat lintas negara sudah sangat tinggi.
Rukyat potensial menyebabkan puasa Ramadhan seseorang hanya 28 hari. Padahal,
Nabi bersabda, puasa itu 29 atau 30 hari.
Contoh
kasus pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib. Umat berpuasa 28 hari, ini karena
pada awal bulan, Bulan tidak tampak karena tertutup awan sehingga digenapkan.
Bulan Ramadhan menjadi lusa, padahal Bulan sudah tinggi. Akhirnya, baru 28 hari
kok Bulan sudah muncul. Pun pada zaman modern juga banyak terjadi hal demikian,
umat puasa 28 hari, terutama bagi mereka yang pergi lintas negara.
Negara lain menggunakan hisab atau
rukyat?
Memang
masih banyak yang pakai rukyat karena berpegang pada harfiahnya hadis Nabi
tadi. Kalau kita tidak berpegang pada harfiahnya hadis, tetapi memaknai hadis
dan mengaitkannya dengan ayat Alquran serta hadis yang lain. Juga perkembangan
ilmu yang semakin maju.
Ada keinginan untuk menyatukan
perbedaan, bagaimana sikap Muhammadiyah?
Kita
selalu berprinsip menyatukan itu wajib. Tidak bisa hidup dalam perbedaan, baik
antarsesama kita maupun dengan Makkah menyangkut hari Arafah. Karenanya, kita
berpendapat, penyatuan itu wajib lintas negara terkait hari Arafah.
Bagaimana
menyatukan? Sebagian besar pakar sepakat sulit memakai rukyat karena rukyat
akan membelah Bumi, bahkan antara satu pulau juga bisa terbelah. Penyatuan itu
perlu, bagaimana caranya, inilah yang sedang dalam proses pengkajian dan bagi
masyarakat perlu pembelajaran. Penyatuan harus punya landasan ilmiah atau
astronomi serta landasan syar'i.
Sejauh mana pengkajian yang
dilakukan?
Dalam
temu pakar di Maroko pada 2008, dilakukan pengkajian dan disusun
kriteria-kriteria untuk memasuki bulan baru. Berdasarkan itu, dibuatlah empat
usulan sistem kalender Islam dan diuji selama 100 tahun ke depan.
Satu,
yang disebut kalender wujudul hilal.
Bulan telah wujud di atas Ka'bah maka seluruh dunia memasuki bulan baru.
Kriteria wujud tadi ada tiga seperti sudah dijelaskan. Di sini, Bulan di atas
ufuk patokannya Ka'bah sebab Ka'bah agak dekat ke garis 0.
Dua,
apabila ijtimak terjadi sebelum pukul
12.00 waktu GMT maka seluruh dunia masuk bulan baru besok harinya. Dan, apabila
ijtimak terjadi sesudah pukul 12.00
GMT maka keesokan hari dijadikan hari ke-30 bulan berjalan.
Tiga,
apabila ijtimak terjadi sebelum fajar
pada titik M pada musim panas belahan Bumi utara dan titik M pada musim panas
belahan Bumi selatan. Titik M adalah posisi 180 derajat dan 60 derajat lintang
utara.
Empat,
apabila ijtimak terjadi sebelum pukul 12.00 waktu Makkah maka seluruh dunia
keesokan hari memasuki bulan baru. Jika terjadi sesudah pukul 12.00, seluruh
dunia memasuki bulan baru lusa.
Inilah
yang sedang dikaji, mana yang paling memenuhi kriteria. Nanti perlu sosialisasi
kepada umat Islam apakah bisa diterima secara luas sebagai sistem kalender
Islam sedunia. Intinya bagaimana hari Arafah jatuhnya sama di seluruh dunia dan
itu tidak mungkin dilakukan dengan rukyat.
Tapi, banyak hadis yang menyatakan
tentang penggunaan rukyat?
Memang
banyak sekali hadis tentang rukyat. Nabi berpuasa selama sembilan kali karena
puasa Ramadhan diwajibkan sejak tahun kedua Hijriyah. Jadi, Nabi melihat rukyat
untuk puasa selama sembilan kali juga.
Semuanya
intinya berpuasalah kamu apabila melihat hilal. Dan, ditutup dengan apabila
tidak terlihat maka ujung penutup ada dua, pertama lakukan estimasi atau
perhitungan, dan kedua sempurnakan bilangan bulan berjalan 30 hari. Nah, kalau
kita sempurnakan berarti tidak rukyat.
Jadi,
intinya bukan karena rukyat itu kita mulai dan mengakhiri puasa Ramadhan,
melainkan kepastian bahwa bulan sudah masuk, bisa dengan rukyat serta dengan
menggenapkan. Dan, itu sarana yang tersedia pada zaman Nabi. Sekarang kita
sudah punya sarana yang lebih maju, yaitu menghitung secara hisab.
Terkait tawaran pemerintah, yakni
sistem hisab imkanur rukyat?
Itu
sebenarnya rukyat juga atau rukyat yang dihisab. Ini adalah rukyat yang
dihitung sebelum terjadinya. Jadi, itu akan membelah Bumi juga. Di Arab Saudi
sudah imkanul rukyat, di Indonesia
belum karena Bulan bergerak tinggi yang ketika lewat di Indonesia Bulan masih
rendah. Apalagi, kriteria yang dipakai pemerintah menetapkan imkanul rukyat
adalah dua derajat.
Sementara,
kita belum mampu menyatukan, ya masyarakat harus bertoleransi dulu untuk
menerima perbedaan. Dan, pemerintah juga jangan memaksakan. Karena, secara
ilmiah dan syar'i, kriteria-kriteria yang diusulkan belum menjawab persoalan.
Kelemahan hisab?
Hisab
banyak ragamnya. Masing-masing metode hisab terus berkembang. Tidak semua
sistem hisab yang dipakai mampu menyatukan tanggal. Yang empat tadi yang bisa
menyatukan, tapi harus dicari yang paling tepat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar