Senin, 25 Juni 2012

Menyelamatkan Janji Kebangsaan


Menyelamatkan Janji Kebangsaan
Benny Susetyo ;  Pemerhati Masalah Sosial
Sumber :  SINAR HARAPAN, 23 Juni 2012


Kemajemukan merupakan fakta yang tak bisa dimungkiri di negeri ini. Namun, ada fakta lain bahwa tidak semua kelompok memahami dan menyadari kemajemukan ini. Kelompok yang berpandangan demikian umumnya adalah mereka yang selalu ingin menang sendiri.
Sikap-sikap seperti itu menjadi bibit bagi maraknya budaya kekerasan di berbagai kalangan, sekaligus mencerminkan pemerintah tidak maksimal dalam merawat budaya toleran tersebut. Alih-alih demikian, pemerintah justru sering gagal menegakkan hukum dan memberi sanksi yang tegas bagi para pelaku kekerasan. Aparat hukum seolah tunduk dengan ancaman yang dilontarkan.

Fenomena ini merupakan ancaman serius terhadap toleransi kehidupan kita. Substansi agama tidak pernah mengajarkan kekerasan, namun berbagai tindak kekerasan bernuansa agama yang terjadi akhir-akhir ini merupakan catatan hitam bagi pemerintah saat ini.

Kita berhadapan dengan fakta semakin meningkatnya jumlah kekerasan ini dari tahun ke tahun di satu sisi, dan menemukan peran pemerintah yang semakin minimal sebagai jembatan untuk meredakan kekerasan ini di sisi lain.

Janji Kebangsaan

Negara harus mengambil langkah-langkah guna menyelamatkan janji kebangsaan. Bangsa Indonesia memerlukan pemikiran progresif untuk menghadapi dan memperbaiki keretakan hidup berbangsa dan bernegara saat ini. Negara harus mengambil langkah-langkah guna menyelamatkan kebinekaan dan janji kebangsaan yang tertuang dalam Pancasila serta konstitusi Republik Indonesia.

Perlu revolusi pemikiran dan cara pandang mengelola bangsa ini. Itu semua dilakukan untuk menciptakan habitus baru dalam berperilaku.

Ini karena semakin hari bangsa Indonesia memiliki tugas demikian berat dalam situasi sulit ini. Kita berharap agar para penyelenggara secepatnya menghentikan upaya pendangkalan kebangsaan dan pemasungan toleransi yang secara sistematik telah merasuki masyarakat.

Sudah saatnya empat pilar bangsa ini (Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Binneka Tunggal Ika) kembali dijadikan acuan hidup bersama dalam menata bangsa.

Empat pilar itu sudah tidak boleh hanya dijadikan slogan. Tetapi, itu merupakan landasan kebijakan politik untuk mencapai kesejahteraan dengan menata keadaban politik dengan memperjuangkan nilai kemanusiaan dan keadilan.

Selama ini ideologi Pancasila tidak pernah dijadikan acuan kebijakan publik. Orientasi bangsa tersandera perselingkuhan negara dan pasar. Sementara itu, fungsi silang negara, pasar dan warga tidak berjalan seimbang dan mengakibatkan negeri ini kehilangan keadaban publik. Inilah yang membuat bangsa terpuruk dalam jurang kehancuran sempurna.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, meskipun diakui kebutuhannya, tetapi praktiknya di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu, karena masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Bahkan, kita seolah semakin jauh dari cita-cita menjadikan negara ini sebagai rumah bersama berbagai golongan. Pemahaman bahwa kekerasan, apa pun bentuknya dan apa pun alasannya, sama sekali tidak dibenarkan dalam negara berdasarkan hukum. Kekerasan terjadi sambil mencari legalitasnya sendiri dan memberikan pendidikan kepada masyarakat bahwa setiap persoalan mesti diselesaikan dengan kekerasan pula.
Disadari atau tidak. Padahal hanya bangsa beradab yang mengedepankan akal sehat dalam menyelesaikan segala persoalan yang dihadapinya.

Walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama ini sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan atas kekuatan bersama, pandangan atas “agamaku”, “keyakinanku” justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.

Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Serangkaian perusakan, kekerasan, dan penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap “sesat” dan kelompok agama lain terjadi dan dipertontonkan kepada publik beberapa tahun lalu merupakan fenomena menyedihkan. Minoritas semakin tidak mendapatkan tempat di negeri “Bhinneka Tunggal Ika” ini dengan beragam alasan.

Banyak peristiwa yang bisa dirujuk sebagai contoh dicederainya kemajemukan bangsa ini. Masalah kebangsaan kita sering berhadapan dengan problem pluralitas yang semakin sulit dihargai.

Akar kekerasan masih sering terpicu hilangnya hal-hal yang dianggap sederhana dan sepele: toleransi, kebersamaan, pluralisme, dan penghormatan nilai-nilai. Akibatnya, berbagai kepentingan menyusup di balik sensitifnya hubungan agama di Indonesia.

Tantangan Besar

Kondisi ideal toleransi beragama berada dalam sebuah tantangan yang tidak kecil. Semua bisa dikembalikan pada cara kita hidup beragama dan pandangan kita terhadap perbedaan. Intoleransi menjadi salah satu jalan masuk menuju fundamentalisme yang harus benar-benar diperhatikan.

Artinya, dinamika kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia dalam lima tahun terakhir masih dalam kondisi memprihatinkan. Sebagian besar peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan semuanya berhubungan dengan radikalisme.

Yang paling serius terkait dengan tempat ibadah kelompok agama minoritas, kriminalisasi keyakinan tertentu, dan hate speech. Potret mencemaskan terkait kebebasan beragama/berkeyakinan sepanjang tiga tahun terakhir menunjukkan intoleransi yang semakin menguat dan kegagalan negara memberi jaminan konstitusional kebebasan sipil warga negara.

Peran negara dalam rangka menjadi mediator setiap masalah yang mengemuka kembali harus dipertanyakan. Negara tidak bisa duduk diam dan mengesankan membiarkan masalah yang terjadi. Negara hadir sebagai solusi, bukan malah menjadi problem dari karut marut dan problemtika hubungan keagamaan di Indonesia.

Upaya menciptakan toleransi dan kerukunan antarumat beragama memang sering kali terhalang karena yang ditonjolkan dalam diri setiap agama bukanlah persamaannya, melainkan perbedaannya.

Sudah dipahami bahwa agama satu berbeda dengan lainnya, namun jarang dipahami bahwa salah satu cara baik untuk terus-menerus memperbaiki kehidupan beragama dalam bingkai pluralitas adalah memperbesar dan menonjolkan aspek persamaan yang ada. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar