Senin, 11 Juni 2012

Menyoal “Nasehat untuk SBY”


Menyoal “Nasehat untuk SBY”
Bawono Kumoro ; Peneliti Politik di The Habibie Center
SUMBER :  SINDO, 09 Juni 2012


Beberapa waktu lalu, pengacara senior sekaligus mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution meluncurkan buku Nasihat untuk Presiden.

Buku itu menceritakan pengalaman Adnan Buyung Nasution selama menjadi anggota Wantimpres. Dalam buku itu juga dibocorkan nasihat-nasihat yang dianggap tidak pernah digubris Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sebagaimana kita ketahui, Wantimpres merupakan lembaga penasihat presiden yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006. Berbeda dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) di masa lalu, Wantimpres tidak bersifat otonom sebagai sebuah lembaga yang terpisah dari kantor kepresidenan.

Tugas Wantimpres adalah memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara. Pemberian nasihat dan pertimbangan itu wajib dilakukan Wantimpres baik diminta ataupun tidak diminta Presiden. Penyampaian nasihat dan pertimbangan itu dapat dilakukan secara perorangan maupun satu kesatuan nasihat dan pertimbangan dari seluruh anggota dewan.

Watimpres menjadi wahana bagi presiden untuk menimba kearifan dan juga sebagai tempat menemukan dasar-dasar kokoh bagi sebuah kebijakan. Dengan begitu, sebuah kebijakan yang keluar telah dilandasi pertimbangan-pertimbangan yang matang, cermat, dan jauh dari kontroversi.

Melanggar Etika dan Hukum

Kehadiran buku Nasihat untuk Presiden segera menuai kontroversi di ruang publik. Ada yang memuji keberanian Adnan Buyung Nasution memublikasikan secara luas nasihat-nasihat yang pernah ia berikan kepada Presiden SBY selama menjadi anggota Wantimpres. Namun, tidak sedikit pula pihak yang menyesalkan penerbitan buku itu karena tidak etis, mengingat nasihat kepada presiden seharusnya menjadi area yang tertutup bagi publik.

Bahkan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan, tindakan Adnan Buyung Nasution memublikasikan nasihat-nasihat yang pernah ia sampaikan kepada presiden merupakan perbuatan melanggar hukum.

Tindakan itu telah melanggar ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Pasal itu tidak membenarkan anggota Wantimpres memberikan keterangan, pernyataan, dan menyebarluaskan isi nasihat dan pertimbangan kepada pihak mana pun. Larangan untuk membuka nasihat kepada presiden ini tidak memiliki masa kedaluwarsa. Artinya, sampai kapan pun nasihat itu akan tetap menjadi rahasia.

Memang, kehadiran era Reformasi yang penuh keterbukaan politik telah memberikan ruang luas bagi bangsa Indonesia untuk menghadirkan demokrasi sebagai aturan main dalam membangun kehidupan politik berbangsa dan bernegara.

Meskipun demikian, demokrasi tidak boleh dilihat sebatas ruang kosong yang dapat diisi secara bebas. Hal ini mengakibatkan demokrasi kita menjadi semacam panggung kontestasi politik yang penuh kegaduhan dan kebisingan. Padahal, sejatinya demokrasi tidak boleh dimaknai sebatas pada kebebasan untuk berkumpul, berserikat, berorganisasi, dan berekspresi.

Untuk itu, dibuat aturan main (rule of the game) agar negara ini tidak menjelma menjadi arena untuk saling memangsa (homo homini lupus), baik secara fisik maupun psikis, akibat benturan berbagai macam kepentingan sebagaimana dikhawatirkan Hobbes.

Namun, keberadaan aturan main yang terwujud dalam undang-undang ternyata belum sepenuhnya menjadi pijakan bersama dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak jarang muncul perilaku-perilaku yang cenderung mengotori nilai-nilai etika politik dan mencederai demokrasi.

Dalam buku berjudul The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Francis Fukuyama mengatakan, setiap perubahan akan mendorong terjadinya guncangan-guncangan.

Guncangan itu terjadi karena adanya pemisahan antara nilai baru dengan nilai lama dalam sebuah tatanan masyarakat. Guncangan dapat juga merupakan gegar budaya akibat ketidaksiapan menjalani perubahan di luar kerangka nalar. Inilah tantangan demokrasi modern di tengah perubahan yang bergulir begitu cepat.

Perilaku menyimpang tanpa mengindahkan etika politik yang dilakukan sejumlah elite politik merupakan salah satu akibat guncangan itu. Mereka tidak siap menjalani perubahan yang bergulir begitu cepat, sementara di saat bersamaan mereka masih terjebak dalam nilai (kesadaran) masa lalu.

Dalam konteks itu, kehadiran buku Nasihat untuk Presiden yang berisi nasihat-nasihat sang penulis kepada Presiden SBY selama menjadi anggota Wantimpres dapat dikategorikan sebagai wujud perilaku menyimpang tanpa mengindahkan etika politik. Bukan tidak mungkin publikasi buku itu akan dilihat publik sebagai bentuk upaya sang penulis untuk mempertahankan eksistensi diri.

Sebagai salah seorang mantan penasihat presiden, Adnan Buyung Nasution semestinya dapat tetap menjadikan nasihat-nasihat yang pernah ia berikan kepada presiden sebagai sebuah area tertutup bagi publik.

Para anggota Wantimpres bertanggung jawab hanya kepada presiden selaku pihak yang telah mengangkat dan melantik mereka. Ini tidak jauh berbeda dengan menteri-menteri di dalam kabinet. Oleh karena itu, alasan Adnan Buyung Nasution bahwa publikasi buku ini semata-mata sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat terdengar absurd.

Akhirnya, di tengah euforia kebebasan dan keterbukaan politik seperti saat ini, ekspresi kepentingan individu memang sangat mungkin diungkapkan secara berlebihan.

Atas nama kebebasan, setiap kepentingan individu mendapat tempat aktualisasi tanpa peduli keberadaan pihak lain. Aturan main diabaikan untuk mencapai puncak kepuasan individu bersangkutan. Oleh karena itu, standar etika perlu ditegakkan melalui barometer yang dapat dipertangungjawabkan. ●

1 komentar: