Sabtu, 16 Juni 2012

Menyoal Pembatasan Kepemilikan di Perbankan


Menyoal Pembatasan Kepemilikan di Perbankan
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence,
Pengajar Program Magister Ekonomi Universitas Trisakti
Sumber :  KORAN TEMPO, 15 Juni 2012


Bank Indonesia akan memberlakukan kebijakan pembatasan kepemilikan saham di perbankan. Dari pemberitaan, setidaknya kebijakan pembatasan kepemilikan ini akan dikaitkan dengan dua aspek: tingkat kesehatan bank dan penerapan good corporate governance (GCG) di bank tersebut. Bila bank terkait tidak mampu memenuhi tingkat kesehatan (termasuk penerapan GCG) yang dipersyaratkan, seperti yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, pemilik bank harus melepaskan sahamnya hingga angka maksimal kepemilikan yang ditetapkan BI. Pembatasan kepemilikan saham bagi bank yang tidak mampu memenuhi ketentuan tingkat kesehatan yang dipersyaratkan terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, bagi bank yang dimiliki individu/keluarga, maksimal kepemilikan 20 persen. Kedua, bagi bank yang dimiliki lembaga keuangan, maksimal kepemilikan 40 persen. Dan ketiga, bagi bank yang dimiliki oleh lembaga non-keuangan, maksimal kepemilikan 30 persen.

Berdasarkan ketentuan ini, pemilik bank yang kini menjadi single majority tetap dapat mempertahankan share kepemilikannya, sepanjang banknya terjaga dalam kondisi sehat. Kewajiban mengalihkan saham baru akan berlaku bila bank yang dimilikinya tidak memenuhi ketentuan kesehatan bank yang dipersyaratkan BI. Bank yang wajib mengalihkan sahamnya kepada pihak lain adalah bank yang memiliki tingkat kesehatan dan GCG dengan peringkat komposit 3 hingga 5. Sementara itu, bank dengan peringkat komposit 1 dan 2 tidak akan dikenai aturan ini.

Berdasarkan PBI No.13/1/PBI/2011, terdapat lima peringkat komposit untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank, yakni peringkat komposit 1 hingga 5 dengan nilai terkecil merupakan tingkat kesehatan yang paling tinggi, dan nilai tertinggi (komposit 5) merupakan yang paling rendah. Bank dengan peringkat komposit 1 dan 2 mencerminkan bahwa kondisi bank secara umum sehat sehingga pemiliknya tak perlu melepas kepemilikan sahamnya di bank tersebut.

Saya berpendapat bahwa ketentuan pembatasan kepemilikan ini positif untuk mendorong agar pemilik senantiasa menjaga tingkat kesehatan banknya. Ketentuan ini juga menjadi tambahan pijakan bagi BI untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan ketika suatu bank berada dalam kondisi tidak sehat, sebagaimana ketentuan bakunya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10/1998 tentang Perbankan. Namun, bila kita kembalikan pada wacana awal yang dikemukakan BI, kebijakan ini berpotensi bakal tidak sesuai dengan ekspektasi publik.

Dari berbagai pemberitaan, saya menangkap kesan bahwa BI sebelumnya memiliki keinginan kuat untuk mengatur kembali komposisi kepemilikan di perbankan. Kesan ini dapat ditangkap, misalnya, kenapa pada akhirnya BI tidak (belum) mengeluarkan izin atas akuisisi DBS terhadap Danamon. Terlebih lagi, dari wacana yang berkembang, BI akan mengarahkan asing “membagi” sahamnya di perbankan. BI menyebutkan bahwa sistem perbankan di Indonesia adalah yang paling liberal di antara negara-negara anggota ASEAN lainnya. Menurut BI, Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang menganut izin tunggal atau single license. Dengan demikian, jika liberalisasi industri perbankan tidak dikendalikan, hal itu akan membuat perbankan Indonesia tidak bisa bersaing.

Berdasarkan dinamika itulah, publik lalu memiliki ekspektasi yang “lebih” terkait dengan kebijakan pembatasan kepemilikan bank ini. Ekspektasinya adalah kebijakan pembatasan kepemilikan ini dilakukan tanpa harus melihat bank terkait dalam keadaan sehat atau tidak sehat. Publik memiliki asumsi awal (pre-assumption) bahwa BI akan melakukan pembatasan kepemilikan, karena dominasi kepemilikan saham di suatu bank bukanlah praktek yang sehat (tidak GCG). Di negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Korea Selatan, dan Australia, kepemilikan saham perbankannya menyebar ke banyak investor dan tidak ada investor yang menguasai saham lebih dari 50 persen. Jadi, logikanya bukan dibalik: bank tidak sehat dan tidak GCG dulu baru kepemilikan dibatasi, tetapi pembatasan kepemilikan dilakukan untuk mewujudkan GCG dan mencegah bank masuk dalam kondisi tidak sehat.

Saya bisa memahami mengapa akhirnya BI terkesan “mundur” dalam soal kebijakan pembatasan kepemilikan bank ini. Jelas tidak mudah bagi BI untuk memberlakukan kebijakan yang “retroactive” (berlaku mundur) dengan “memaksa” pemilik bank untuk mengalihkan sahamnya kepada pihak lain. Terlebih lagi, kehadiran investor yang kini menjadi single majority (khususnya asing) adalah karena keinginan kita sendiri, terutama untuk menyelamatkan perbankan kita dari krisis pada 1998/1999 lalu. Dan saya kira, tidak fair bila setelah para investor (khususnya asing) ini ikut membantu menciptakan stabilitas perbankan, kemudian kini “dipaksa” mendivestasikan sahamnya. Toh, selama ini bank mereka tetap sehat, memberikan kontribusi terhadap perekonomian, dan dapat menjalankan ketentuan GCG yang disyaratkan BI.

Dengan kata lain, kebijakan pembatasan kepemilikan yang akan diberlakukan BI bisa disebut sebagai jalan tengah untuk mengatasi dilema tersebut. Meski demikian, yang perlu dilihat adalah apakah kebijakan ini akan efektif bila konteksnya adalah untuk menyehatkan kembali bank yang tidak sehat. Sebagai misal, bila suatu bank mengalami kondisi tidak sehat, kemudian butuh injeksi modal besar, adakah investor baru yang berminat bila kepemilikannya dibatasi maksimal 40 persen dan tidak bisa menjadi pengendali?

Sesungguhnya terdapat hal yang tak kalah penting dibandingkan dengan kebijakan kepemilikan perbankan ini. Sebagaimana dinyatakan BI di atas, sistem perbankan kita memang sangat liberal, khususnya dalam hal operasional bank. Sebagai contoh, kita tidak memiliki aturan pembatasan pendirian kantor cabang, gerai, ATM, dan jaringan operasional bank lainnya. Padahal, di negara-negara lainnya, ketentuan pembatasan operasional ini diberlakukan. Di Singapura, izin operasional diberikan berjenjang dan pembukaan kantor cabang serta ATM dibatasi. Malaysia memberlakukan pembatasan maksimum 12 cabang serta tidak boleh menempatkan ATM-nya di luar kantor cabang.

Karena tidak ada aturan pembatasan operasional bank inilah, kita menyaksikan bank-bank lokal tidak mampu bersaing dengan bank besar (yang dimiliki asing). Karena itu, sudah saatnya Indonesia memberlakukan kebijakan izin secara berjenjang (multiple license), khususnya kepada bank-bank yang dimiliki asing. Penerapan multiple license bank ini dijalankan sesuai dengan strata bank terkait. Misalnya, bank yang memperoleh izin berada di strata 1 hanya menjalankan kegiatan yang dasar. Suatu bank yang ingin masuk ke strata 2 (dengan kegiatan yang lebih luas) harus mendapat izin baru lagi dari BI, sekalipun tidak harus memulai izin dari dasar. Melalui ketentuan ini, bank-bank yang dimiliki asing perlu diarahkan untuk menata kembali jaringannya, misalnya melalui relokasi kantor dan jaringannya.

Penataan ulang ini memang perlu dilakukan untuk memperkuat bank-bank lokal dalam menghadapi era integrasi ekonomi ASEAN tahun 2015. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar