Jumat, 15 Juni 2012

Merajut Manusia Pancasilais


Merajut Manusia Pancasilais
Masduri ; Peneliti di Jurusan Teologi dan Filsafat
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber :  SUARA KARYA, 14 Juni 2012


Di tengah silang-sengkarut persoalan bangsa yang tak berujung, kiranya sangat penting mempertanyakan kembali komitmen ke-Indonesian kita. Betapa nilai-nilai Pancasila yang menjadi landasan falsafah hidup bangsa Indonesia kini semakin jauh dari realitas kehidupan berbangsa di Indonesia. Sekarang anak-anak negeri senang berburu untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Mereka abai pada kesejahteraan bangsa secara umum.

Buktinya, korupsi seperti jamur di musim hujan, elite politik terus berseteru, kekerasan dari beragam modusnya terus bergejolak, hukum seperti komoditas yang diperjualbelikan, kemiskinan dan pengangguran terus mengawang tanpa penyelesaian yang jelas. Sementara negara ini dibentuk untuk menciptakan kehidupan berbangsa yang berdaulat adil dan makmur.

Anak-anak bangsa telah terasing dari nilai-nilai Pancasila yang mestinya mengkarakter dalam diri mereka. Kelima butir Pancasila bukan hanya pajangan dan bacaan seremonial yang sering dilakukan di berbagai tempat, namun yang terpenting adalah implementasi dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sehingga, tercipta kehidupan berbangsa yang damai dan menyejahterakan. Pancasila dengan kelima butir kandungannya telah cukup untuk mengantarkan bangsa Indonesia berjaya. Hanya saja, seberapa besar komitmen bangsa Indonesia merealisasikan nilai-nilai Pancasia dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, seideal apa pun konsep kehidupan berbangsa kita, kalau tidak ada realisasinya, mustahil bangsa Indonesia dapat berjaya. Filsuf Freidrich Nietzcha (1844-1990 M) pun menjelaskan, kunci keberhasilan bangsa ditentukan oleh komitmen menghidupkan dan menyalakan kata-kata menjadi kata kerja (tindakan nyata).

Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa Indonesia bergerak maju, tidak saja sibuk dengan beragam wacana kebangsaan yang tak menentu, karena sekali lagi, yang terpenting adalah implementasi dari setiap wacana yang diperbincangkan. Dalam hal ini, bagaimana komitmen kita mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Sila 'Ketuhanan Yang Maha Esa', menegaskan kebebasan beragama di Inonesia. Tujuannya agar anak-anak negeri tidak ego dan memaksakan kehendak dirinya kepada orang lain untuk berkeyakinan sama. Sebab, keyakinan beragama merupakan hak asasi setiap manusia, yang tidak dapat dipaksakan. Apabila pemahaman ini direalisasikan dalam tindakan nyata, tidak mungkin akan terjadi terorisme, dan segala bentuk kekerasan berbau agama yang kerap kali menghantui kehidupan kebangsaan kita.

Sila 'Kemanusian yang adil dan beradab', merupakan landasan kehidupan yang akan membentuk bangsa Indonesia menjadi bangsa yang beradab, saling mencintai sesama dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan keadilan. Nilai dari sila kedua ini merupakan landasan etika kemanusian yang harus mengkarakter dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, apabila sila ini tidak bisa diimplementasikan, bangsa Indonesia akan terus terpuruk, dan cita-cita awal kemerdekaan sebagaimana amanat UUD 1945 untuk mewujudkan negara yang berdaulat adil dan makmur hanya ilusi belaka.

Sila selajutnya, 'Persatuan Indonesia', menjadi langkah ampuh yang akan menggerakkan bangsa Indonesia berjaya dengan kerja sama yang baik antaranak bangsa. Tanpa sila ini, kehidupan kebangsaan kita akan senantiasa bergejolak dengan beragam konflik kepentingan yang tidak dapat dipertemukan. Buktinya, akhir-akhir ini konflik sering terjadi, seperti konflik antarelite politik di parlemen, tawuran antarmahasiswa, konflik antarpemeluk agama, konflik lahan di Mesuji Lampung dan Tambang Emas di Bima NTT. Hal ini hanya sekelumit contoh bahwa persatuan bangsa saat ini semakin terkoyak. Sebenarnya masih sangat banyak konflik yang mengancam keutuhan bangsa Indonesia, termasuk konflik etnis yang kadang masih mengemuka.

Sila keempat, 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyarwaratan/perwaklian'. Sila ini merupakan landasan moral pemimpin Indonesia dalam menjalankan roda pemerintahannya. Meraka dalam setiap mengambil kebijakan harus mengedepankan musyawarah mufakat agar tidak terjadi kebijakan yang tidak prorakyat. Karena, pemerintah, menurut Aristotelles (384-322 SM), harus mengedepankan kepentingan umum dan keadilan, sehingga tercipta kehidupan bermasyarakat yang sejahtera.

Dalam implementasi sila keempat ini, yang terpenting adalah sikap kebijakasanaan dalam berbicara, bersikap dan bertindak. Selama ini para pemimpin seringkali tidak menunjukkan sikap tanggung jawabnya secara signifikan. Sehingga, beragam persoalan bangsa, banyak yang tidak bisa diselesaikan. Belum lagi, para elite pemerintah banyak yang terlibat kasus korupsi, semua ini menunjukkan bahwa elite pemerintah masih jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila.

Terakhir sila kelima, 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'. Keadilan sosial merupakan cita-cita besar bangsa Indonesia dalam menciptakan kehidupan rakyat yang sejahtera, atau keadilan sosial merupakan bahasa lain dari impian mewujudkan Indonesia yang berdaulat adil dan makmur. Jika digeneralisasi, sila ini merupakan pusat dari sila-sila sebelumnya. Keempat sila di atas semuanya bermuara untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebab itu, realisasi semua butir Pancasila merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam mewujudkan Indonesia yang jaya.

Akhirnya, yang sangat berperan mengimplementasikan Pancasila adalah para orangtua, guru dan elite pemerintah. Sebab, mereka merupakan figur sentral yang senantiasa menjadi panutan anak-anak bangsa. Melalui mereka akan menyebar internalisasi karakter nilai-nilai Pancasila pada setiap pribadi seseorang, sehingga terjadilah perubahan besar untuk membawa bangsa Indonesia dapat hidup damai, sejahtera dan berkeadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar