Kamis, 21 Juni 2012

Merekonstruksi Mindset PNS


Merekonstruksi Mindset PNS
Fariz Alniezar ;  Peneliti di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama
(STAINU) Jakarta
Sumber :  SUARA KARYA, 21 Juni 2012


Sebentar lagi pemerintah membuka rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) baru. Bagi yang berminat melamar formasi ini adalah berita menarik dan sekaligus menggelitik. Apa pasal? Karena, berbicara PNS sama dengan membuka luka lama kita.

Sebagaimana santer diberitakan bahwa hari-hari ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sedang melakukan verifikasi dan validasi data tenaga honorer yang akan diangkat menjadi CPNS sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 56 Tahun 2012. (Suara Karya, 02/06/12)

PNS adalah sosok pegawai yang diandaikan mampu menjadi pelayan masyarakat. Ia adalah ujung tombak pelayanan publik dan terhadap dirinya-lah ukuran paling kasat mata, pemerintahan bisa dinilai. Apabila suatu birokrasi dan pemerintahan cenderung berbelit-belit dan cenderun mempersulit pelayanan pada masyarakat maka bisa dipastikan publik akan bisa menilainya bahwa birokrasi tersebut bobrok.

Penarikan kesimpulan itu wajar karena PNS inilah yang berada di lapangan dan merekalah yang menjadi teknisi sehari-hari. Kesan bahwa pegawai negeri sangat lamban, gila hormat, haus 'upeti' dan mabok amplop tidak bisa kita pungkiri.

Merujuk pada data yang dirilis BPS bahwa negara kita dengan penduduk 234 Juta jiwa mepunyai 1,95 persen PNS. Itu artinya, rasio pelayanan PNS terhadap penduduk negara ini adalah 1:7. Hal ini sangat tertinggal jauh dibandingkan negara-negara ASEAN lain yang memiliki rasio pelayanan 1:4 atau bahkan ada yang 1:2.

Dari data tersebut, kita tidak bisa serta-merta memutuskan bahwa harus ada penambahan kuota PNS dan harus segera kita gugat moratorium PNS yang sedang dilakukan pemerintah. Atau, mungkin kita pensiunkan dini saja PNS-PNS yang terbukti tidak maksimal kinerjanya. Namun, sungguh masalah ini tak sesimpel yang kita bayangkan. 

Berbicara masalah lemahnya etos kerja PNS sama dengan menegakkan benang basah.
Kita bisa dengan mudah mendaftari kebobrokan-kebrobokan pegawai negeri kita, tapi masalahnya tentu jika kita bijak menyikapi bukan hal itu yang arif. Yang semestinya kita lakukan adalah mengevaluasi problem-problem kinerja PNS selama ini, agar dapat kita rumuskan permasalahannya dengan jernih lalu untuk bersama-sama kita rancang formula yang tepat guna menumbuh-kembangkan etos kerja PNS kita.

Pertama, Abdul Hamid Ahmad seorang ahli linguistik terkemuka mempunyai sebuah tesis menarik terkait hubungan erat antara bahasa yang dituturkan seseorang dengan pola pikir yang dimiliki si penutur bahasa tersebut. Ia berpendapat bahwa terjadi hubungan sintesis antara pola pikir dengan bahasa seseorang. Artinya, bahasa adalah cermin pola pikir itu sendiri. (Abdul Hamid Ahmad, 1977)

Maka, istilah-istilah yang dimunculkan oleh seseorang, baik yang tergabung dalam satu komunitas ataupun individu sangat erat, dan tak lepas dari corak dan alur berfikirnya masing-masing.

PNS hingga kini dimaknai sebagai 'pegawai pemerintah'. Sebagai 'pegawai pemerintah', setiap gerak-gerik aktivitas tubuhnya diatur oleh atasannya sampai pada Presiden. Padahal, jika kita mau berfikir logis, PNS adalah pegawai negeri. Maka, Ia harus mengabdi kepada pemilik negara tersebut, setiap alur kerjanya tidak untuk apa-apa kecuali semangat untuk mengabdi pada pemilik sah negara, siapa pemilik sah sebuah negara? Yentu adalah rakyat. Maka, jika pola pikir ini disadari, tak ada satu pun PNS 'berani' dan memberlakukan semena-mena masyarakat.

Pemahaman bahwa PNS adalah pegawai negara yang harus mengabdi pada pemiliknya yakni rakyat sangat sulit dijumpai hari-hari ini, karena mental pegawai kita adalah ABS (Asal Bos Senang), mereka lebih tepat dinamakan pegawai pemerintah. Dan pemerintah bukanlah pemilik negara, Ia hanya regulator yang berfungsi untuk mengatur stabilitas negara tersebut. Pemerintah juga idealnya bekerja untuk rakyat walaupun sampai saat ini budaya kita belum bisa mengikis feodalisme pemerintah.

Kedua, pola rekrutmentasi PNS, yang kualitasnya sangat buruk. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pola rekrutmentasi selalu diwarnai oleh praktik-praktik budaya KKN yang semakin hari semakin me-ngecambah.

Ketiga, tak jarang kita menemukan instansi pemerintah tertentu menarik tarif secara terang-terangan guna meloloskan seseorang untuk menjadi PNS. Ini tentu akan menghasilkan PNS berkinerja buruk.

Keempat, meminjam analisis Amir Syafrudin bahwa sudah ada stigma santai yang menempel di PNS. Di masyarakat, kita masih sangat banyak yang menganggap bahwa PNS itu adalah pekerjaan santai. (Amir Syafrudin, 2012)

Dengan anggapan seperti itu maka stigma pun mulai terbangun dan celakanya hal ini-lah yang kemudian hari mengkristal menjadi semacam padatan yang menggumpal dan tersemat pada 'niat' hampir seluruh orang yang akan mencalonkan diri sebagai PNS.

Kelima, longgarnya budaya produktivitas kerja. Ini memang penyakit bangsa kita secara umum yakni produktivitas kerja yang lembek. Bahkan Louis Kraar, pengamat ekonomi Asia selatan mengatakan bahwa Indonesia tinggal menunggu waktu menjadi negara halaman belakang (back yard) bagi negara-negara Asia lainnya jika tidak segera diperbaiki budaya lembek bekerja. (Kraar: 2003)

Di samping kelima alasan di atas adalah satu alasan yang paling fundamental yang dimiliki oleh budaya kerja bangsa kita yakni tentang orientasi hasil. Bahwa pola pikir kebanyakan masyarakat kita lebih terkooptasi pada hasil, bukan pada mencintai proses. Padahal mencintai proses adalah prasyarat mutlak untuk mendapatkan hasil yang baik terlebih dalam masalah bekerja. Maka, jika kita tak mencintai proses budaya, kita cenderung menginginkan yang instan asal tujuan dapat dicapai. Ini sungguh sangat berbahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar