Mewaspadai
Bunglon Lingkungan
Justin Ade S ; Jurnalis dan Pemerhati Masalah Lingkungan,
Tinggal di Yogyakarta
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 5 Juni 2012
Setiap 5 Juni kita memperingatinya sebagai
Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tema hari
lingkungan hidup yang diusung UNEP untuk tahun 2012, yaitu “Green Economy: Does It Include You”.
Dalam konteks Indonesia, tema hari lingkungan
yang disodorkan pemerintah adalah “Ekonomi
Hijau: Ubah Perilaku, Tingkatkan Kualitas Lingkungan”.
Dua tema di atas pada hakikatnya membawa satu
pesan lingkungan, yaitu mendorong lahirnya masyarakat atau habitus baru yang
perilaku, sikap, dan tindakannya diilhami nilai-nilai hakiki dan prinsip dasar
pembangunan berkelanjutan. Jadi, bukan sekadar kamuflase hijau belaka.
Persoalannya, mampukah pesan lingkungan itu
menggugah paradigma kita tentang lingkungan? Ataukah ekonomi hijau justru
menjadi tempat berlabuh bagi bunglon-bunglon lingkungan untuk berinvestasi? Tulisan
ini tidak bermaksud menyudutkan apalagi menghakimi, tetapi lebih sebagai early warning dan introspeksi diri, baik
bagi para aktivis maupun musuh lingkungan. Selain itu, tulisan ini sebagai
refleksi 40 tahun lingkungan hidup dunia, sejak UNEP menetapkan 5 Juni 1972
sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Agar tidak bias dan salah interpretasi,
bunglon lingkungan yang dimaksud penulis dalam tulisan ini, yaitu mereka yang
secara individu, kelompok, lembaga, dan perusahaan yang atas nama lingkungan
mengaku dirinya sebagai sahabat lingkungan, berperilaku ramah lingkungan,
padahal sejatinya itu hanya pura-pura atau sekadar lips service. Perilaku mereka hanya sekadar kamuflase, yakni
perubahan bentuk, rupa, sikap, dan warna menjadi lain agar tidak dikenali.
Fenomena bunglon-bunglon lingkungan
belakangan muncul di mana-mana. Para bunglon lingkungan itu terlihat aktif
“menceburkan” diri dalam berbagai kegiatan yang bertemakan lingkungan. Mulai
dari mensponsori event-event atau
kegiatan lingkungan hingga penelitian bertajuk lingkungan. Para bunglon
lingkungan itu rela mengucurkan dana dalam jumlah besar untuk membiayai
berbagai penelitian tentang lingkungan.
Bukan hanya itu, untuk meraih simpati publik,
mereka gencar melakukan pencitraan dirinya melalui media cetak, elektronik, dan
papan reklame. Mereka tanpa rasa malu mengaku dirinya sebagai mitra lingkungan,
padahal siapa yang tidak tahu rekam jejak lingkungan mereka di masa lalu.
Bunglon lingkungan yang selama ini mempunyai catatan merah dalam hal kinerja
lingkungan kini berdiri gagah memperjuangkan lingkungan.
Yang dikhawatirkan, mereka melakukan itu
bukan karena dilandasi suatu gerakan pertobatan lingkungan sehingga publik
memaafkan karena mereka telah kembali ke jalan yang benar. Tetapi, mereka
mempunyai misi atau agenda tersembunyi, yakni “membajak” ideologi lingkungan
lalu membuat standar-standar atau tolok ukur lingkungan yang baru yang selaras
dengan kepentingannya.
Ideologi lingkungan yang mereka usung hanya
sekadar kamuflase hijau dan retorika. Lingkungan hanya sebagai kuda tunggangan
untuk mengamankan dan membentengi kepentingan besarnya.
Pembajakan Ideologi Lingkungan
Gerakan membajak isu lingkungan ini memang
sudah lama diingatkan Jed Greer dan Kenny Bruno dalam bukunya berjudul Kamuflase Hijau : Membedah Ideologi
Lingkungan Perusahaan-perusahaan Transnasional.
Buku yang menceritakan bagaimana
perusahaan-perusahaan transnasional telah mendominasi dan terus memperluas
pasarnya. Mereka pun mengklaim sebagai sahabat lingkungan dan pemimpin
perjuangan untuk menghapus kemiskinan. Namun, ideologi lingkungan mereka hanya
sekadar kamuflase atau retorika belaka.
Upaya pembajak ideologi
lingkungan itu tidak hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan transnasional
sebagaimana dituturkan Jed Greer dan Kenny Bruno dalam bukunya tadi, tetapi
dikhawatirkan virus lingkungan itu telah menyebar ke mana-mana menggerogoti
lingkungan, tidak hanya pada dunia bisnis, tapi juga dunia ide dan gerakan
lingkungan, seperti NGO atau LSM yang bergerak dalam lingkungan.
Direktur Eksekutif WALHI Indonesia Berry
Nahdian Forgan menyatakan, gerakan lingkungan di Indonesia telah “dibajak”.
Skenarionya, mengambil slogan dan temanya (lingkungan-red), tapi substansi
gerakannya tidak diambil. Sekarang, kata Berry, hampir semua orang, tidak hanya
pemerintah, bicara soal lingkungan, sektor yang eksploitatif sekali pun, saat
ini berkoar-koar tentang lingkungan.
Pola manuver lingkungan yang dimainkan para
bunglon lingkungan ini kelihatannya mengadopsi taktik perang China kuno,
mengalahkan musuh tanpa harus berhadap-hadapan tapi pura-pura berdamai dengan
musuh kemudian menghabisinya dari dalam. Musuh dalam selimut, inilah yang
menjadi bahaya laten lingkungan. Butuh energi besar untuk memberantasnya hingga
ke akar-akarnya.
Menyikapi manuver cerdas mereka, diharapkan
para pembela hak-hak lingkungan dan masyarakat luas tidak terpesona, apalagi
larut dalam merdunya “nyayian” lingkungan yang sedang mereka lantunkan. Para
pejuang, pemerharti, pencinta, dan penggiat lingkungan harus lebih cerdas dan
selektif menghadapi sepak terjang mereka. Para pendekar lingkungan harus mampu
memfilter dan mengendus siapa sahabat sejati lingkungan dan siapa musuh
lingkungan. Hal ini bisa dilacak dari rekam jejaknya.
Momentum peringatan 40 tahun lingkungan dunia
kali ini menjadi titik awal bagi bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia,
sadar dari tidur panjangnya untuk bangkit menyatakan perang terhadap
bunglon-bunglon lingkungan.
Hanya dengan itu, “Green Economy: Does It Include You”, atau “Ekonomi Hijau: Ubah Perilaku, Tingkatkan Kualitas Lingkungan” akan
bermakna, tidak hanya tema yang indah di atas kertas tanpa punya gigi untuk
membumikannya. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar