Rabu, 06 Juni 2012

Mewaspadai Bunglon Lingkungan


Mewaspadai Bunglon Lingkungan
Justin Ade S ; Jurnalis dan Pemerhati Masalah Lingkungan, Tinggal di Yogyakarta
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 5 Juni 2012


Setiap 5 Juni kita memperingatinya sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tema hari lingkungan hidup yang diusung UNEP untuk tahun 2012, yaitu “Green Economy: Does It Include You”.

Dalam konteks Indonesia, tema hari lingkungan yang disodorkan pemerintah adalah “Ekonomi Hijau: Ubah Perilaku, Tingkatkan Kualitas Lingkungan”.
Dua tema di atas pada hakikatnya membawa satu pesan lingkungan, yaitu mendorong lahirnya masyarakat atau habitus baru yang perilaku, sikap, dan tindakannya diilhami nilai-nilai hakiki dan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan. Jadi, bukan sekadar kamuflase hijau belaka.

Persoalannya, mampukah pesan lingkungan itu menggugah paradigma kita tentang lingkungan? Ataukah ekonomi hijau justru menjadi tempat berlabuh bagi bunglon-bunglon lingkungan untuk berinvestasi? Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan apalagi menghakimi, tetapi lebih sebagai early warning dan introspeksi diri, baik bagi para aktivis maupun musuh lingkungan. Selain itu, tulisan ini sebagai refleksi 40 tahun lingkungan hidup dunia, sejak UNEP menetapkan 5 Juni 1972 sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Agar tidak bias dan salah interpretasi, bunglon lingkungan yang dimaksud penulis dalam tulisan ini, yaitu mereka yang secara individu, kelompok, lembaga, dan perusahaan yang atas nama lingkungan mengaku dirinya sebagai sahabat lingkungan, berperilaku ramah lingkungan, padahal sejatinya itu hanya pura-pura atau sekadar lips service. Perilaku mereka hanya sekadar kamuflase, yakni perubahan bentuk, rupa, sikap, dan warna menjadi lain agar tidak dikenali.

Fenomena bunglon-bunglon lingkungan belakangan muncul di mana-mana. Para bunglon lingkungan itu terlihat aktif “menceburkan” diri dalam berbagai kegiatan yang bertemakan lingkungan. Mulai dari mensponsori event-event atau kegiatan lingkungan hingga penelitian bertajuk lingkungan. Para bunglon lingkungan itu rela mengucurkan dana dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai penelitian tentang lingkungan.

Bukan hanya itu, untuk meraih simpati publik, mereka gencar melakukan pencitraan dirinya melalui media cetak, elektronik, dan papan reklame. Mereka tanpa rasa malu mengaku dirinya sebagai mitra lingkungan, padahal siapa yang tidak tahu rekam jejak lingkungan mereka di masa lalu. Bunglon lingkungan yang selama ini mempunyai catatan merah dalam hal kinerja lingkungan kini berdiri gagah memperjuangkan lingkungan.

Yang dikhawatirkan, mereka melakukan itu bukan karena dilandasi suatu gerakan pertobatan lingkungan sehingga publik memaafkan karena mereka telah kembali ke jalan yang benar. Tetapi, mereka mempunyai misi atau agenda tersembunyi, yakni “membajak” ideologi lingkungan lalu membuat standar-standar atau tolok ukur lingkungan yang baru yang selaras dengan kepentingannya.

Ideologi lingkungan yang mereka usung hanya sekadar kamuflase hijau dan retorika. Lingkungan hanya sebagai kuda tunggangan untuk mengamankan dan membentengi kepentingan besarnya.

Pembajakan Ideologi Lingkungan

Gerakan membajak isu lingkungan ini memang sudah lama diingatkan Jed Greer dan Kenny Bruno dalam bukunya berjudul Kamuflase Hijau : Membedah Ideologi Lingkungan Perusahaan-perusahaan Transnasional.

Buku yang menceritakan bagaimana perusahaan-perusahaan transnasional telah mendominasi dan terus memperluas pasarnya. Mereka pun mengklaim sebagai sahabat lingkungan dan pemimpin perjuangan untuk menghapus kemiskinan. Namun, ideologi lingkungan mereka hanya sekadar kamuflase atau retorika belaka.

Upaya pembajak ideologi lingkungan itu tidak hanya terjadi pada perusahaan-perusahaan transnasional sebagaimana dituturkan Jed Greer dan Kenny Bruno dalam bukunya tadi, tetapi dikhawatirkan virus lingkungan itu telah menyebar ke mana-mana menggerogoti lingkungan, tidak hanya pada dunia bisnis, tapi juga dunia ide dan gerakan lingkungan, seperti NGO atau LSM yang bergerak dalam lingkungan.

Direktur Eksekutif WALHI Indonesia Berry Nahdian Forgan menyatakan, gerakan lingkungan di Indonesia telah “dibajak”. Skenarionya, mengambil slogan dan temanya (lingkungan-red), tapi substansi gerakannya tidak diambil. Sekarang, kata Berry, hampir semua orang, tidak hanya pemerintah, bicara soal lingkungan, sektor yang eksploitatif sekali pun, saat ini berkoar-koar tentang lingkungan.

Pola manuver lingkungan yang dimainkan para bunglon lingkungan ini kelihatannya mengadopsi taktik perang China kuno, mengalahkan musuh tanpa harus berhadap-hadapan tapi pura-pura berdamai dengan musuh kemudian menghabisinya dari dalam. Musuh dalam selimut, inilah yang menjadi bahaya laten lingkungan. Butuh energi besar untuk memberantasnya hingga ke akar-akarnya.

Menyikapi manuver cerdas mereka, diharapkan para pembela hak-hak lingkungan dan masyarakat luas tidak terpesona, apalagi larut dalam merdunya “nyayian” lingkungan yang sedang mereka lantunkan. Para pejuang, pemerharti, pencinta, dan penggiat lingkungan harus lebih cerdas dan selektif menghadapi sepak terjang mereka. Para pendekar lingkungan harus mampu memfilter dan mengendus siapa sahabat sejati lingkungan dan siapa musuh lingkungan. Hal ini bisa dilacak dari rekam jejaknya.

Momentum peringatan 40 tahun lingkungan dunia kali ini menjadi titik awal bagi bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, sadar dari tidur panjangnya untuk bangkit menyatakan perang terhadap bunglon-bunglon lingkungan.

Hanya dengan itu, “Green Economy: Does It Include You”, atau “Ekonomi Hijau: Ubah Perilaku, Tingkatkan Kualitas Lingkungan” akan bermakna, tidak hanya tema yang indah di atas kertas tanpa punya gigi untuk membumikannya. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar