Rabu, 20 Juni 2012

Mission (Im)possible Jaminan Semesta


Mission (Im)possible Jaminan Semesta
Ario Djatmiko ; Ketua Litbang IDI Wilayah Jatim
Sumber :  JAWA POS, 20 Juni 2012


DENGAN mata nanar, Ibu Suti bercerita tentang anaknya, Santi. Anak yang amat lucu tersebut belum genap berusia 4 tahun, tetapi Tuhan memanggil ke pangkuan-Nya. Saat wawancara TV di rumah gedek kumuh itu, Ibu Suti mendekap erat foto Santi. Lirih Ibu Suti berkata, ''Ayah Santi hanya tukang ojek, cicilan motornya belum lunas. Saya hanya bisa membawa Santi ke dokter umum, dokter spesialis terlalu mahal. Andai mampu ke spesialis, mungkin saya tidak kehilangan Santi.''

Wawancara TV beberapa bulan lalu itu sungguh menganiaya batin. Kisah Santi membawa pelajaran. Pertama, uang memegang peran (ter)penting untuk menyelamatkan hidup Anda. Jika Anda tak punya uang, ke manakah Anda berlindung? Kedua, apa arti hak asasi? Di manakah peran negara saat Anda terancam?

Ketiga, di mata masyarakat, dokter itu berkasta. Ke dokter mana Anda berobat, bergantung berapa banyak uang Anda. Diskriminatif, mati-hidup taruhannya. Wah, betapa mengerikannya negeri ini. Kasus seperti Santi masih sering kita dengar. Yang lebih menyedihkan, seperti Bu Suti, banyak warga yang tidak tahu haknya sebagai warga negara.

Jaminan Semesta

Kesehatan merupakan hak dasar yang harus dilindungi negara. Begitu bunyi konstitusi, pasal 28 H (1) dan pasal 34 (3) dari Amandemen IV UUD 1945. Bila negara abai, berarti ia melanggar konstitusi. Benar, begitulah fungsi negara.

Warga negara Malaysia, dengan tiga ringgit (sekitarRp 9.000), ter-cover seluruh pelayanan medis. Operasi ekstrabesar dan ekstracanggih, jantung, kanker, otak, atau transplantasi sekalipun. Rakyat di Thailand, Singapura, dan Malaysia telah lama menikmati arti kemerdekaan. Hak-hak dasar mereka terjamin.

Kisah Santi adalah kisah khas milik negeri ini. Tak akan ada di negeri jiran. Ironis, hampir 67 tahun merdeka, hak-hak dasar rakyat belum sepenuhnya terlindungi. Benar, sistem jaminan sosial mulai berkembang, namun cakupannya jauh dari memadai. Kegelapan masih menyelimuti bagian terbesar rakyat negeri ini.

Namun, semua segera berubah. Harapan muncul seiring fajar menyingsing di bumi pertiwi, 1 Januari 2014. SJSN-BPJS hadir menjanjikan jaminan semesta untuk seluruh rakyat. Kita tidak perlu risau lagi. Kesehatan, pensiun, hari tua, kecelakaan kerja, bahkan kematian pun akan ditanggung.

''Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.'' Begitu bunyi pasal 1 ayat (1) UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Diperkuat dengan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), badan independen nonprofit yang hadir mendampingi SJSN.

Hak, kewajiban, dan kewenangannya luar biasa. Lembaga tersebut berhak langsung menarik iuran dari masyarakat, mengelola keuangan yang terkumpul, dan menjadi satu-satunya pembayar atas semua jaminan tersebut. Apa yang akan terjadi? Demi hukum, iuran akan menjadi kewajiban. Artinya, sanksi akan dijatuhkan kepada siapa pun yang tidak patuh bayar. Jelas, dalam waktu singkat, uang terkumpul dalam jumlah teramat besar. Nah, pertanyaannya, benarkah jaminan semesta serta-merta akan terwujud?

Bensin tanpa Mobil

Sir Michael Marmot dari WHO menyebut sistem kesehatan adalah kendaraan menuju kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, Ohmae menyebut uang adalah darah setiap organisasi. Tanpa cukup darah, organisasi apa pun tidak mampu meraih misinya. Kalau diibaratkan kendaraan, uang adalah bahan bakarnya. Tanpa cukup bahan bakar, mobil sebagus apa pun tidak akan sampai ke tujuan.

Tantangan BPJS adalah soal bahan bakar. Apakah persoalannya hanya kecukupan bahan bakar? Benarkah kendaraan yang kita pakai tak bermasalah? Mesin dan bodinya oke, efisien, dan mampu membawa rakyat ke kehidupan yang lebih baik?

Berbicara tentang tanggung jawab negara di bidang pelayanan kesehatan, kita harus menyebut tiga hal: Kualitas layanan (quality), keterjangkauan (accessibility), dan keterbelian (affordability). BPJS adalah soal iuran dan bayar-membayar.

Logika sederhana: Bagaimana kita akan menentukan harga bila kualitas layanannya belum terukur? Sungguh janggal, kendaraan belum tentu bisa jalan, namun kita sudah bicara bahan bakar. Mobil itu efisien, laju atau sebaliknya boros, si jago mogok? Dalam ekonomi, kita mengenal istilah opportunity cost. Betapa besar kerugian yang terjadi bila bahan bakar begitu banyak dituangkan pada kendaraan yang salah urus, boros, serta jago mogok.

Kelahiran BPJS bukan tanpa polemik. Bila kita jeli membaca pasal demi pasal, tidak terlalu salah kalau muncul berbagai prasangka. Namun, optimisme-pesimisme bukanlah soal semangat atau prasangka. Lebih ke soal kalkulasi data, fakta, serta peluang.

Berdasar wawancara Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Sutoto (27 April 2012), saat ini baru tersedia 1.933 rumah sakit dengan 120.000 tempat tidur. Idealnya satu tempat tidur per 1.000 penduduk (WHO). Karena itu, seharusnya tersedia 240.000 tempat tidur, kurang 120.000 tempat tidur.

Bisakah kita menambah 120.000 tempat tidur hanya dalam hitungan bulan? Itu baru soal fisik. Kalau misalnya rakyat miskin di Sumba perlu operasi jantung, harus ke manakah dia? Berapa RS yang mampu melakukan operasi jantung, kanker, dan otak-saraf dengan baik? Di bidang medis, soal kualitas merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Sudah cukupkah kita memiliki SDM berkualitas? Remunerasi tenaga kesehatan? Sistem rujukan? Peran dokter umum?

Banyak pertanyaan yang perlu jawaban segera dan tangkas. Diharapkan, kita bisa menemukan alasan untuk bisa optimistis. Marilah kita tetap berharap, saat matahari terbit di ufuk timur, 1 Januari 2014, saat BJPS resmi dimulai, kita semua akan tetap tersenyum. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar