Senin, 18 Juni 2012

Momentum Pemberantasan Korupsi


Momentum Pemberantasan Korupsi
Sumaryoto ; Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan
Sumber :  SUARA MERDEKA, 18 Juni 2012


UMAT Islam baru saja memperingati Isra Mikraj; perjalanan Nabi Muhammad Saw dari Masjidil Haram di Makkah Arab Saudi ke Masjidil Aqsa di Jerusalem Palestina, serta dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha (Al Isra: 1). Isra Mikraj adalah peristiwa sangat fenomenal dalam sejarah umat Islam, di samping peristiwa fenomenal lainnya, yakni perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah pada 1 H atau 662 M, dan perjalanan haji wada’.

Mengapa? Karena di Sidratul Muntaha atau langit ketujuh, Rasulullah Saw menerima wahyu shalat lima waktu dari Allah Swt. Bila perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah menjadi permulaan sejarah muslimin, dan perjalanan haji wada’ menandai penguasaan muslimin atas kota suci Makkah maka Isra Mikraj menjadi puncak perjalanan seorang hamba menuju Sang Khalik. Dalam konteks ini, shalat adalah mikraj-nya umat Islam yang dijalankan lima kali dalam sehari.

Bagaimana kita memaknai Isra Mikraj dalam konteks kekinian, terutama dihubungkan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi bangsa ini? Jelaslah Isra Mikraj mengamanatkan kita harus mencari terobosan baru dalam menyelesaikan problem bangsa.

Seperti perjalanan dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha yang inkonvensional, kita pun dituntut mencari cara-cara cerdas dan inkonvensional dalam menyelesaikan karut-marut problem bangsa ini. Cara-cara cerdas dan inkonvensional itu akan menjadi terobosan baru yang sanggup mengurai persoalan.

Pemberantasan korupsi yang menjadi penyakit kronis bangsa ini misalnya, menuntut kita  menerapkan cara-cara inkonvensional, antara lain dengan metode pembuktian terbalik, mengingat korupsi adalah extraordinary crime. Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi tidak bisa dibasmi  dengan cara-cara biasa.

Isra Mikraj yang membuahkan wahyu shalat lima waktu, juga menjadi momentum bagi kita untuk menegakkan shalat. Artinya bukan sekadar menjalankan rukunnya melainkan juga mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam rukun itu pada kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kita disebut orang yang mengerjakan shalat tapi lalai dalam shalatnya, sebagaimana firman Allah Swt dalam Al Ma’un Ayat 4 dan 5.

Siapa orang yang disebut lalai dalam shalatnya? Sebuah tafsir menyatakan orang yang lalai dalam shalat dapat diartikan secara fisik shalat tetapi hati, jiwa, dan perilakunya tidak ikut shalat. Dengan kata lain, shalatnya tidak berdampak pada perilaku sosial sehari-hari. Shalat hanya berdampak pada kesalehan individu tidak pada kesalehan sosial.

Sarat Simbol

Padahal shalat sarat dengan simbol ketuhanan dan kemanusiaan. Ketika shalat dimulai dengan takbiratul ihram, berarti kita menyapa Allah. Shalat diakhiri dengan salam, yang berarti menyapa manusia. Menoleh ke kanan dan kiri sebagai tanda akhir shalat menunjukkan bahwa kita peduli pada lingkungan sekitar.

Dengan demikian, salah satu pesan fundamental shalat adalah kepedulian kita kepada sesama. Menghardik anak yatim dan tidak memberi makan fakir miskin, berarti melalaikan shalat, bahkan mendustakan agama.

Shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Korupsi adalah perbuatan keji karena merampas hak orang lain, termasuk hak fakir miskin dan anak yatim. Bila kita menegakkan shalat, berarti paralel dengan hidup bersih tanpa korupsi. Bila tidak, berarti masih ada yang lalai dalam shalat kita.

Realitasnya, korupsi masih menjadi penyakit kronis bangsa ini. Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Transparansi Internasional Indonesia (TII) menunjukkan negara kita merupakan salah satu negara terkorup di Asia. Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam surveinya juga menemukan fakta 70 persen BUMN karya terlibat praktik suap-menyuap atau korupsi.

Semua fakta itu tentu menjadi tantangan bagi kita, dan untuk itu, marilah kita jadikan Isra Mikraj sebagai momentum menegakkan shalat karena ibadah itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar