MR
Sartono,
Penjaga
Parlemen yang Bersih dan Sederhana
Iwan Santosa ; Wartawan KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 12
Juni 2012
Menengok kehidupan Parlemen Indonesia tahun
1950-1959 memunculkan banyak kontras dengan realitas DPR belakangan ini. Masa kepemimpinan
Meester in de Rechten (MR) RM Sartono, parlemen berisi mereka yang
berpendidikan tinggi, sederhana, berani mengakui kesalahan, serta mengungkap
dugaan korupsi rekannya.
Sartono, alumnus Universitas Leiden, Belanda,
aktif dalam pergerakan, menyatukan Soekarno-Hatta, dan meninggalkan parlemen di
era Demokrasi Terpimpin.
”Sartono ikut dalam manifesto 1925 yang
dikeluarkan Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda. Manifesto tentang persatuan
Indonesia dalam keberagaman itu menjadi dasar Kongres Pemuda Pertama 1926,”
ujar Daradjadi Gondodiprojo, peneliti kehidupan Sartono.
Sartono terlibat dalam Kongres Pemuda Kedua
1928, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan beragam kegiatan politik pergerakan
kemerdekaan. Tahun 1930, dalam Sidang Indonesia Menggugat di Bandung, Sartono
bersama tim penasihat hukum menjadi penasihat hukum Soekarno menghadapi
pengadilan kolonial.
Era Kemerdekaan
Saat Jepang mengalahkan Pemerintah Hindia
Belanda, 9 Maret 1942, Daradjadi menerangkan, Sartono mempertemukan Muhammad
Hatta yang baru tiba dari pembuangan di Banda bersama Sutan Syahrir dengan
Soekarno yang berada di Bengkulu.
Kemerdekaan kemudian diraih dan pengakuan
kedaulatan diperoleh tahun 1949. Sebelum menjadi Ketua Parlemen, Sartono
menjadi Menteri Negara setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945.
Sartono menjadi Ketua Parlemen tahun
1950-1959 saat demokrasi tumbuh subur. Daradjadi mencatat, filosofi Sartono
dalam berpolitik adalah ”Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, dan Sugih
Tanpa Banda” (menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan, dan kaya tanpa
harta).
Seperti terjadi sekarang, tahun 1952,
kecurigaan terhadap korupsi di DPR juga marak. Daradjadi mencatat, eskalasi
politik memuncak pada peristiwa 17 Oktober 1952. Sebelumnya, ada kecurigaan
korupsi pembelian Kapal Motor Tasikmalaya oleh Kementerian Pertahanan.
Akhirnya terjadi gerakan massa membawa mortir
dan meriam ke Istana Merdeka. Massa dibubarkan Soekarno. Menyikapi kasus itu,
Sartono bersama anggota parlemen mengusulkan percepatan pemilihan umum.
Pada masa reses Parlemen 1955, Sartono
melakukan kesalahan mengizinkan Komisi J melanggar tata tertib dengan kunjungan
kerja ke luar negeri. Sebagai Ketua Sidang Parlemen, ia minggir dari meja ketua
saat kasus tersebut dibahas. ”Dia mengatakan tidak pantas dirinya yang sedang
menjadi ’terdakwa’ duduk di meja pimpinan parlemen,” kata Daradjadi.
Jernihkan Tudingan
Sartono juga menjernihkan tudingan korupsi
terhadap Tan Po Goan, anggota DPR dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang
dicurigai Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI) terkait kontrak
pengadaan mobil untuk Kementerian Pertahanan. Menhan Sultan Hamengkubuwono IX
mengungkapkan tidak ada korupsi terkait dana persiapan pemilu oleh Tan Po Goan.
Pengadaan mobil dari Belanda tersebut didatangkan NV Putera milik Tan Po Goan
yang hanya menerima komisi 3 persen dari pengadaan tersebut.
Tan Po Goan membuka dugaan korupsi
Kementerian Kehakiman yang dipimpin MR Djodi Gondokusumo. Tan Po Goan mendapat
bukti disposisi menteri dan kuitansi uang Rp 20.000 untuk sumbangan Partai
Rakyat Nasional (PRN) yang dipimpin Djodi.
Sartono minta Tan Po Goan membawa kasus ke
Kejaksaan Agung. Akhirnya, Djodi yang baru melepaskan jabatan Menteri Kehakiman
ditangkap dengan tuduhan korupsi dan akhirnya divonis setahun penjara.
Mencegah politisi PNI tidak korupsi, Sartono
mendorong dua sahabat, yakni Iskaq Cokrohadisurya dan Yap Tjwan Bing berbisnis,
untuk membantu keuangan partai. Bersama beberapa anggota PNI, mereka mendirikan
Bank Umum Nasional (BUN). Meski demikian, kritik juga mengalir yang mengatakan
BUN mendapat keistimewaan karena ada kaitan dengan PNI.
Ketika Soekarno menerapkan demokrasi
terpimpin dan membubarkan parlemen, Sartono tidak mau terlibat. Dia sempat
diminta menjadi Ketua Parlemen (DPR-GR). Sartono menolak karena tidak
demokratis.
Sejarawan Didi Kwartanada mengakui bersih dan
sederhananya Sartono. ”Ada kritik oleh Rosihan Anwar terhadap Sartono, yakni
dianggap sering menghabiskan uang untuk foto-foto di studio saat kunjungan di
luar negeri. Di luar itu, tidak ada kritik soal korupsi dan gaya hidup mewah
seperti anggota DPR sekarang,” ujarnya.
Meskipun menolak permintaan Soekarno ke
parlemen, fatzoen (sopan-santun)
politik tetap dijaga. Ketika Soekarno diasingkan dan dijadikan ”tahanan rumah”
oleh Orde Baru, Sartono termasuk orang pertama yang menengok dan rutin
memperhatikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar