Rabu, 13 Juni 2012

MR Sartono, Penjaga Parlemen yang Bersih dan Sederhana

MR Sartono,
Penjaga Parlemen yang Bersih dan Sederhana
Iwan Santosa ; Wartawan KOMPAS
SUMBER :  KOMPAS, 12 Juni 2012


Menengok kehidupan Parlemen Indonesia tahun 1950-1959 memunculkan banyak kontras dengan realitas DPR belakangan ini. Masa kepemimpinan Meester in de Rechten (MR) RM Sartono, parlemen berisi mereka yang berpendidikan tinggi, sederhana, berani mengakui kesalahan, serta mengungkap dugaan korupsi rekannya.

Sartono, alumnus Universitas Leiden, Belanda, aktif dalam pergerakan, menyatukan Soekarno-Hatta, dan meninggalkan parlemen di era Demokrasi Terpimpin.
”Sartono ikut dalam manifesto 1925 yang dikeluarkan Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda. Manifesto tentang persatuan Indonesia dalam keberagaman itu menjadi dasar Kongres Pemuda Pertama 1926,” ujar Daradjadi Gondodiprojo, peneliti kehidupan Sartono.

Sartono terlibat dalam Kongres Pemuda Kedua 1928, Partai Nasional Indonesia (PNI), dan beragam kegiatan politik pergerakan kemerdekaan. Tahun 1930, dalam Sidang Indonesia Menggugat di Bandung, Sartono bersama tim penasihat hukum menjadi penasihat hukum Soekarno menghadapi pengadilan kolonial.

Era Kemerdekaan

Saat Jepang mengalahkan Pemerintah Hindia Belanda, 9 Maret 1942, Daradjadi menerangkan, Sartono mempertemukan Muhammad Hatta yang baru tiba dari pembuangan di Banda bersama Sutan Syahrir dengan Soekarno yang berada di Bengkulu.

Kemerdekaan kemudian diraih dan pengakuan kedaulatan diperoleh tahun 1949. Sebelum menjadi Ketua Parlemen, Sartono menjadi Menteri Negara setelah Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus 1945.

Sartono menjadi Ketua Parlemen tahun 1950-1959 saat demokrasi tumbuh subur. Daradjadi mencatat, filosofi Sartono dalam berpolitik adalah ”Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, dan Sugih Tanpa Banda” (menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan, dan kaya tanpa harta).

Seperti terjadi sekarang, tahun 1952, kecurigaan terhadap korupsi di DPR juga marak. Daradjadi mencatat, eskalasi politik memuncak pada peristiwa 17 Oktober 1952. Sebelumnya, ada kecurigaan korupsi pembelian Kapal Motor Tasikmalaya oleh Kementerian Pertahanan.

Akhirnya terjadi gerakan massa membawa mortir dan meriam ke Istana Merdeka. Massa dibubarkan Soekarno. Menyikapi kasus itu, Sartono bersama anggota parlemen mengusulkan percepatan pemilihan umum.

Pada masa reses Parlemen 1955, Sartono melakukan kesalahan mengizinkan Komisi J melanggar tata tertib dengan kunjungan kerja ke luar negeri. Sebagai Ketua Sidang Parlemen, ia minggir dari meja ketua saat kasus tersebut dibahas. ”Dia mengatakan tidak pantas dirinya yang sedang menjadi ’terdakwa’ duduk di meja pimpinan parlemen,” kata Daradjadi.

Jernihkan Tudingan

Sartono juga menjernihkan tudingan korupsi terhadap Tan Po Goan, anggota DPR dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), yang dicurigai Sakirman dari Partai Komunis Indonesia (PKI) terkait kontrak pengadaan mobil untuk Kementerian Pertahanan. Menhan Sultan Hamengkubuwono IX mengungkapkan tidak ada korupsi terkait dana persiapan pemilu oleh Tan Po Goan. Pengadaan mobil dari Belanda tersebut didatangkan NV Putera milik Tan Po Goan yang hanya menerima komisi 3 persen dari pengadaan tersebut.

Tan Po Goan membuka dugaan korupsi Kementerian Kehakiman yang dipimpin MR Djodi Gondokusumo. Tan Po Goan mendapat bukti disposisi menteri dan kuitansi uang Rp 20.000 untuk sumbangan Partai Rakyat Nasional (PRN) yang dipimpin Djodi.

Sartono minta Tan Po Goan membawa kasus ke Kejaksaan Agung. Akhirnya, Djodi yang baru melepaskan jabatan Menteri Kehakiman ditangkap dengan tuduhan korupsi dan akhirnya divonis setahun penjara.

Mencegah politisi PNI tidak korupsi, Sartono mendorong dua sahabat, yakni Iskaq Cokrohadisurya dan Yap Tjwan Bing berbisnis, untuk membantu keuangan partai. Bersama beberapa anggota PNI, mereka mendirikan Bank Umum Nasional (BUN). Meski demikian, kritik juga mengalir yang mengatakan BUN mendapat keistimewaan karena ada kaitan dengan PNI.

Ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin dan membubarkan parlemen, Sartono tidak mau terlibat. Dia sempat diminta menjadi Ketua Parlemen (DPR-GR). Sartono menolak karena tidak demokratis.

Sejarawan Didi Kwartanada mengakui bersih dan sederhananya Sartono. ”Ada kritik oleh Rosihan Anwar terhadap Sartono, yakni dianggap sering menghabiskan uang untuk foto-foto di studio saat kunjungan di luar negeri. Di luar itu, tidak ada kritik soal korupsi dan gaya hidup mewah seperti anggota DPR sekarang,” ujarnya.

Meskipun menolak permintaan Soekarno ke parlemen, fatzoen (sopan-santun) politik tetap dijaga. Ketika Soekarno diasingkan dan dijadikan ”tahanan rumah” oleh Orde Baru, Sartono termasuk orang pertama yang menengok dan rutin memperhatikannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar