Musim
Bunga Bangsa-Bangsa Arab?
Shlomo Avineri ; Guru Besar Ilmu
Politik di Hebrew University, Yerusalem; Mantan Direktur Jenderal di Kementerian
Luar Negeri Israel di Bawah Perdana Menteri Yitzhak Rabin
SUMBER : KORAN
TEMPO, 6 Juni 2012
Ada dua hal menonjol di Timur Tengah sejak
dimulainya Musim Bunga Arab--satu yang terjadi dan satu yang tidak terjadi.
Yang terjadi adalah, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Arab,
rezim-rezim dan penguasa otoriter digulingkan oleh, atau mendapat tantangan serius
dari, demonstrasi rakyat, bukan-–seperti pada masa lalu-–melalui kup militer.
Tapi yang tidak terjadi mungkin sama
pentingnya dengan apa yang terjadi. Sementara para diktator junta militer
menghadapi tantangan langsung, Musim Bunga Arab tidak tiba di negara-negara
monarki yang konservatif. Dinasti penguasa di Maroko, Yordania, Arab Saudi, dan
negara-negara Teluk (kecuali Bahrain) kurang-lebih tetap utuh, walaupun rezim
Arab Saudi, setidaknya dalam banyak hal, jauh lebih keras menindas rakyatnya
daripada rezim-rezim di Mesir serta Tunisia yang telah digulingkan itu.
Sudah tentu uang yang mengucur dari minyak
membantu bertahannya monarki-monarki itu, tapi minyak bukan suatu faktor di
Maroko dan Yordania. Tampaknya monarki ini menikmati bentuk otorita tradisional
yang tidak dimiliki para penguasa nasionalis sekuler. Sebagai turunan Nabi,
seperti di Maroko dan Yordania, atau sebagai pemelihara situs suci di Mekah dan
Madinah, seperti di Arab Saudi, mereka merasa memperoleh legitimasi sebagai
penguasa yang langsung terkait dengan Islam.
Satu-satunya rezim monarki yang mendapat
tantangan serius di Musim Bunga Arab ini adalah keluarga muslim Sunni yang
berkuasa di Bahrain, yang mayoritas penduduknya muslim Shia. Justru beda sekte
agama inilah yang tampaknya menjadi faktor krusial dalam perlawanan rakyat yang
ditindas secara brutal dengan bantuan militer Arab Saudi itu.
Kendati keberhasilan dilambangkan dengan
demonstrasi protes di Lapangan Tahrir di Kairo, menggulingkan suatu
kediktatoran-–drama yang berlangsung hanya beberapa pekan-–tidak sama dengan
mengelola transisi ke jalur demokrasi yang terkendali dan berfungsi. Di sini
terlibat proses panjang dan keberhasilan-–yang contohnya ditunjukkan dalam
transisi pasca-komunis di Eropa Timur-–bergantung pada pra-kondisi yang
mendasar. Di mana terdapat pra-kondisi ini-–misalnya, masyarakat madani yang
bersemangat dan otonom, seperti di Polandia, atau tradisi pluralisme,
keterwakilan, serta toleransi pra-otoriter yang kuat, seperti di Republik
Cek-–transisi akan berjalan relatif lancar. Tapi di mana pra-kondisi ini lemah
atau tidak ada sama sekali, seperti di Rusia atau Ukraina, pencapaiannya jauh
lebih problematik.
Sederhananya, masa depan yang cerah bagi
negara-negara seperti Mesir tidak bisa dipastikan dengan melihat citra
menggairahkan seperti yang disiarkan CNN atau Al-Jazeera, atau
kenyataan bahwa massa pria dan wanita muda, terdidik, dan berbahasa Inggris
terhubung satu sama lain lewat Facebook dan Twitter. Sebagian besar rakyat
Mesir tidak berada di Lapangan Tahrir, dan banyak di antara mereka bukan hanya
tidak memiliki akses ke jejaring social online, tapi juga akses ke
jaringan listrik serta air minum yang bersih. Demokratisasi dan kebebasan
bersuara tidak menjadi agenda utama mereka.
Mayoritas rakyat Mesir yang tidak bersuara (the
silent majority) juga mengidentifikasi diri mereka dengan otentisitas yang
diwakili berbagai kelompok Islam, sedangkan prinsip demokrasi dan hak sipil
bagi mereka merupakan abstraksi yang diimpor dari Barat. Maka kemenangan besar Al-Ikhwanul al-Muslimun dan Partai Al-Nour di Mesir-–serta kemenangan Ennahda di Tunisia–-tidak mengejutkan.
Skenario serupa bisa terwujud di Suriah, sedangkan baik Libya pasca-Qadhafi
maupun Yaman pasca-Saleh menunjukkan tanda-tanda kesulitan yang bakal dihadapi
negeri ini dalam membentuk suatu rezim demokratis yang koheren.
Melihat prospek Mesir secara realistis, kita
jangan menyingkirkan kemungkinan kedua kekuatan paling besar di negeri
itu-–militer dan Al-Ikhwanul al-Muslimun-–pada
akhirnya bakal menemukan jalan berbagi kekuasaan. Visi Al-Ikhwanul al-Muslimun mengenai demokrasi adalah murni demokrasi
mayoritas, bukan liberal: memenangi pemilihan, menurut juru bicaranya, memberi
hak kepada pemenang memerintah menurut pandangan yang dianutnya. Hak-hak
minoritas, kendali kelembagaan atas kekuasaan pemerintah, dan hak asasi
manusia-–aspek-aspek liberal demokrasi-–tidak ada sama sekali.
Dimensi lainnya yang lebih mendasar akan masa
depan dan perubahan di kawasan ini mungkin akan menampakkan diri juga. Batas
wilayah antara satu negara dan negara lainnya di Timur Tengah dan Afrika Utara
ditetapkan oleh negara-negara penjajah--Inggris, Prancis, dan Italia-–baik
setelah Perang Dunia I maupun setelah runtuhnya Khilafah Usmaniyah (perjanjian Sykes-Picot), atau, seperti di Libya dan
Sudan, sebelumnya. Tapi tidak ada satu pun batas negara ini yang sesuai dengan
kemauan rakyat setempat atau dengan batas-batas etnis atau historis.
Dengan kata lain, tidak ada satu pun dari
negara ini, kecuali Mesir, yang merupakan suatu entitas politik yang jelas.
Sampai akhir-akhir ini, para pemimpin di negeri itu punya kepentingan bersama
untuk mengunci rapat Kotak Pandora
batas-batas negara ini. Itu semua telah berubah, dan kita menyaksikan
batas-batas yang dipaksakan negara penjajah itu sekarang dipertanyakan. Di
Irak, munculnya wilayah yang de facto otonom di bagian utara negeri itu
telah mengakhiri negara tersentralisasi yang dikuasai Arab di bawah Saddam
Hussein. Dengan merdekanya Sudan Selatan, bagian-bagian lainnya dari Sudan yang
didominasi Arab bisa menghadapi perpecahan selanjutnya, dan Darfur bakal
menjadi wilayah berikutnya yang akan memisahkan diri.
Di Libya, otoritas transisi yang sekarang
memerintah negeri itu menghadapi tantangan yang berat untuk menciptakan
struktur politik yang koheren, yang bisa menyatukan dua provinsi yang sangat
berbeda, Cyrenaica dan Tripolitania, yang bisa diikat bersama hanya dengan
kebrutalan rezim Qadhafi. Di Benghazi, sudah timbul tuntutan diberikannya
otonomi, jika bukan kemerdekaan sepenuhnya.
Begitu juga kesatuan Yaman jauh dari
terjamin. Perpecahan antara selatan dan utara, yang sudah merupakan dua negara
yang berbeda--dengan sejarah yang sama sekali berbeda sampai naiknya diktator
Saleh ke puncak kekuasaan--sekarang muncul kembali. Di Suriah pasca-Assad,
perpecahan etnik dan agama antara Sunni, Alawit, Druz, Kristen, dan Kurdi
mungkin sama kuatnya mengancam kesatuan negeri itu. Dengan caranya yang brutal,
Assad mungkin benar bahwa hanya genggaman tangan besi yang bisa mempertahankan
kesatuan negeri itu. Dan perkembangan yang terjadi di Suriah pasti bakal
membawa dampak bagi negara tetangganya, Libanon.
Berakhirnya otokrasi komunis di Uni Soviet,
Yugoslavia, dan bahkan Cekoslovakia menimbulkan gelombang terciptanya negara
baru. Begitu pula, tidak mengherankan jika demokratisasi di dunia Arab,
bagaimanapun sulitnya, bakal membawa gelombang ditetapkannya kembali batas
antar negara di kawasan ini. Seberapa keras atau damainya proses demokratisasi
ini masih harus dilihat bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar