Muslim,
HAM, dan Negara
Zainal Abidin Bagir ; Ketua Prodi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Gadjah Mada
SUMBER : REPUBLIKA,
09 Juni 2012
Beberapa
hari terakhir ini muncul banyak tanggapan atas apa yang disebut sebagai tuduhan
intoleransi agama di Indonesia oleh Dewan HAM PBB. KH Hasyim Muzadi
menyebutkan, Indonesia sebetulnya adalah negara Muslim paling toleran di
seluruh dunia dan lebih toleran dari negara-negara Barat yang mendiskriminasi
Muslim. Justru ketika Muslim menjadi korban intoleransi, tidak ada yang
berbicara HAM.
Prof
Yunahar Ilyas membuat pernyataan senada dan memberikan bukti toleransi Indonesia,
mulai dari adanya perayaan hari besar agama-agama sampai akomodasi
menteri-menteri non-Muslim. Ia juga mengatakan bahwa tudingan intoleransi itu
mungkin disampaikan ‘LSM-LSM yang tidak suka dengan Islam’.
Sayangnya,
sebagian tanggapan itu tampak tidak tepat sasaran, yang terjadi di Dewan HAM
PBB di Jenewa pada 23 dan 25 Mei 2012 yang lalu adalah bagian dari Sesi ke-13
dari Universal Periodic Review (UPR)
di mana negara-negara anggota PBB diwajibkan mengirim laporan tentang situasi
HAM di negaranya. Dewan HAM tidak membuat suatu resolusi, tidak menilai suatu
masyarakat atau negara toleran atau tidak, namun masing-masing negara secara
terpisah mengajukan tanggapan atas laporan pemerintah itu dan memberikan rekomendasi.
Yang
dinilai adalah apakah negara telah melaksanakan kewajibannya menyangkut HAM
secara keseluruhan. Dan, ini bukan hanya terkait kebebasan beragama, namun juga
hak-hak asasi lain, termasuk hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya, hak
perempuan dan anak, dan sebagainya.
Kata
“intoleransi” pertama kali muncul bukan dalam sidang akhir Mei itu, ketika
giliran Indonesia dan beberapa negara lain dinilai. Namun, telah disebut dalam
laporan pemerintah yang diserahkan pada Maret 2012. Di antara sekitar 80 poin
dalam laporan Pemerintah RI, enam di antaranya menyangkut kebebasan beragama.
Lebih jauh, pemerintah sendiri menyebut kasus Ahmadiyah dan GKI Taman Yasmin
secara khusus sebagai bagian dari tantangan pelaksanaan HAM.
Maka,
tidak tepat jika dikatakan bahwa kabar intoleransi Indonesia di Dewan HAM itu
diajukan LSM atau negara-negara Barat. Dalam Dewan HAM, negara Barat mendapat
ruang yang sama seperti negara-negara lain, termasuk negara-negara Muslim. LSM
mendapat tempat, namun sangat terbatas.
Jika
ada yang bisa disalahkan karena kasus-kasus intoleransi Indonesia dibicarakan
di Jenewa maka itu adalah Pemerintah RI yang mengakuinya. Namun, pemerintah
tentu tak dapat berbuat lain kecuali mengakui bahwa masih banyak yang harus
diperbaiki untuk mengatasi kasus-kasus yang tidak bisa dipungkiri telah
menyebabkan terlanggarnya hak-hak sebagian warga negara.
Membandingkan
dengan negara-negara Barat pun menjadi tidak relevan. Dalam UPR, dugaan
pelanggaran HAM di sana tidak dibiarkan namun juga dikritik. Sebagai contoh,
Belanda, Inggris, dan Finlandia yang dinilai dalam Sesi ke-13 juga mendapat
banyak kritik.
Di
antara pengkritiknya adalah Iran yang secara spesifik menyebutkan adanya
diskriminasi terhadap minoritas Muslim di Inggris. Indonesia mengkritik Belanda
terkait diskriminasi dan ujaran anti-Muslim yang meningkat di negara itu. Jika
ada keluhan mengenai pelanggaran HAM Muslim di Barat seperti di atas maka itu
seharusnya disampaikan kepada Pemerintah Indonesia yang memiliki hak suara yang
sama persis dengan negara lain di Dewan HAM.
Pencitraan atau Penyelesaian?
Beberapa
tahun terakhir ini, sebagai salah satu buah demokratisasi, memang makin banyak
laporan yang berani mengkritik kondisi keberagamaan di Indonesia. Satu tuduhan
yang sering dilontarkan untuk laporan-laporan itu adalah “menyudutkan umat
Islam“.
Kegerahan
itu muncul dari kekhawatiran adanya gambaran intoleransi, bertentangan dengan
pencitraan selama ini mengenai Muslim Indonesia yang demokratis dan toleran.
Laporan-laporan tersebut sesungguhnya tak pernah membuat klaim yang sweeping tentang “Muslim Indonesia yang
intoleran“, namun cukup akurat dengan menunjukkan kelompok-kelompok mana yang
membuat masalah dalam kehidupan beragama kita, di mana dan kapan. Ini juga
tidak terbatas pada Muslim meskipun mayoritas orang Indonesia adalah Muslim,
tak mengejutkan jika banyak masalah muncul dari sebagian Muslim.
Sulit
dipungkiri bahwa dalam setiap masyarakat, tanpa kecuali, selalu ada kelompok
yang intoleran. Kenyataan ini jugalah yang diakui Pemerintah RI yang sebetulnya
juga amat berkepentingan dengan pencitraan. Pemimpin-pemimpin Muslim pun
mengeluhkan adanya sebagian Muslim yang bersikap ekstrem bahkan menyerang
sesama Muslim.
Memperbaiki
citra memang penting, tapi tak cukup dilakukan dengan mengatakan bahwa orang
lain (negara Barat atau mayoritas non-Muslim di Indonesia) juga sama-sama
bersikap intoleran. Yang lebih penting tentu adalah mencoba menyelesaikan
masalah yang menyebabkan munculnya citra tak baik itu.
Dalam
upaya itu, ide HAM dan pemonitorannya seperti yang dilakukan di Dewan HAM PBB
sebaiknya tak dilihat sebagai sumber tapi justru penyelesaian masalah. HAM
adalah senjata Muslim untuk membantu Muslim lain yang terdiskriminasi di
Indonesia atau di negara lain. Tentu, hal itu harus berlaku pula dalam arah
lain: melindungi non-Muslim. Forum internasional seperti Dewan HAM PBB adalah
tempat negara mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya menjamin HAM.
Dalam
UPR di Dewan HAM Mei lalu, dari 179 rekomendasi untuk Indonesia yang diajukan
negara-negara, yang diterima pemerintah adalah 143, dan 17 di antaranya terkait
kebebasan beragama. Tugas masyarakat saat ini adalah memastikan bahwa negara
memenuhi komitmen perbaikan itu, termasuk menekan kelompok-kelompok yang
menggunakan kekerasan. Selain untuk alasan prinsip penegakan keadilan, keberhasilan
ini tentu juga akan memperbaiki citra toleransi Muslim. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar