Sabtu, 09 Juni 2012

Negara Kelautan Nusantara


Negara Kelautan Nusantara
Soen’an Hadi P ; Dosen pada Sekolah Tinggi Perikanan (STP), Jakarta
dan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta;
Sekretaris Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 08 Juni 2012


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyepakati tanggal 8 Juni sebagai Hari Kelautan Sedunia atau World Ocean Day. Pada 2000, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 telah diamendemen dengan menambahi Pasal 25A, yang berbunyi “NKRI adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara”.

Menurut Yudi Latif, Direktur Reform Institute, negeri ini lebih sesuai apabila disebut sebagai “negara kelautan”, karena archipelago mengandung “arti kekuasaan laut” (arch/archi= kekuasaan; pelago/pelagos=lautan). Bung Karno pernah menyebut Indonesia sebagai “negara lautan yang ditaburi pulau-pulau”.

Di antara 13.446 pulau besar dan kecil, laut dan selat merekat dan membentuk Nusantara yang memiliki berbagai keunikan. Topografi yang demikian tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, untung dan rugi, potensi dan masalah, peluang serta ancaman.

Dalam hal melihat negara yang memiliki laut merupakan dua pertiga dari total wilayah ini, sering kali orang lupa mengenai permasalahan, hambatan dan ancaman. Yang diimpikan dan dituntut senantiasa hanya potensi yang dijanjikan dan peluang yang ditawarkan.

Peluang Ekonomi

Memang dari panjang pantai 95.181 km (bahkan menurut Bakosurtanal sekitar 104.000 km) tentu menjanjikan peluang usaha budi daya perikanan yang sangat besar. Kegiatan akuakultur ini dapat menjadi mata pencaharian yang menjanjikan kesejahteraan bagi bangsa. Potensi budi daya laut seluas 12.545.072 hektare, baru dimanfaatkan 117.649,30 hektare. Begitu juga budi daya perikanan di air payau yang berpotensi 2.963.717 hektare, baru dimanfaatkan sekitar 682.857 hektare.

Selain keunggulan area yang luas, budi daya perikanan Indonesia juga diuntungkan oleh posisinya yang berada di wilayah katulistiwa. Iklim tropis menyebabkannya hangat sepanjang tahun dan mempunyai pula berbagai jenis komoditas yang tidak ada di negeri sub-tropis atau bermusim dingin. Misalnya South Sea Pearl merupakan jenis mutiara yang terindah dan termahal di dunia, jauh di atas harga jenis Black Pearl dari Tahiti, dan Akoya dari Jepang.

Hasil budi daya ikan demersal atau jenis ikan yang hidup di dasar laut, seperti kerapu (groupers), sangat mahal dalam pasar ikan hidup di China. Rumput laut yang dibudidayakan dengan perkembangan pesat, tahun lalu berhasil diproduksi 4.305.027 ton. Suatu pertumbuhan yang menjanjikan, karena apabila diiringi dengan industri olahan yang tepat, di samping sebagai bahan pangan juga dapat dimanfaatkan untuk bahan kosmetik, obat-obatan, kertas, bahkan biofuel, atau bahan bakar nabati.

Pesisir Jawa bagian utara, Sulawesi dan Aceh, telah berpuluh tahun menjadi penghasil bandeng sebagai hidangan sosial. Di era industrialisasi, budi daya udang telah menjadi produk penghasil devisa utama karena harganya tinggi. Pada 2011, udang berhasil diproduksi 414.014 ton, di antaranya 152.053 ton diekspor dengan nilai US$ 1.211.547.000.

Keunikan negara kelautan di kawasan tropis adalah hidupnya beraneka ragam jenis ikan, kekerangan, terumbu karang dan berbagai jenis biota lainnya. Kondisi tersebut seharusnya memberi peluang Indonesia untuk menjadi produsen ikan hias terbesar di dunia. Namun kenyataannya Singapura-lah yang justru menjadi eksportir unggulan.

Potensi keanekaragaman sumber daya hayati di laut tropis tentu memberikan peluang besar juga di sektor pariwisata, terutama wisata bahari. Di samping keindahan aneka ragam biota di dalam laut, yang tentu menjadi daya tarik bagi penyelam, tebaran pulau, teluk, tanjung, dan selat, yang menyediakan tujuan wisata terindah serta hangat sepanjang tahun, menawarkan pula ombak besarnya samudera, sampai keheningan pulau terpencil yang biru menghijau.

Tantangan dan Permasalahan

Meski lautan kita sangat potensial, namun pada sisi lain, laut tropis sebetulnya memberikan kondisi yang kurang menguntungkan untuk manajemen industri penangkapan ikan. Di kawasan subtropis yang mengalami empat musim, termasuk musim dingin, jenis biota yang tidak tahan dingin tereliminasi musnah secara alami. Ikan yang tertangkap di subtropis berupa gerombolan ikan sejenis dengan ukuran seragam, sehingga langsung bisa masuk dalam sistem industri pengolahan.

Di negeri kita, ikan yang tertangkap merupakan campuran berbagai jenis, ada kembung, manyung, petek, layang, ekor kuning, sehingga untuk diolah memerlukan seleksi jenis, sortir ukuran, dengan jumlah yang belum tentu memenuhi target volume pada setiap jenisnya. Hal ini mengurangi efisiensi dan produktivitas.

Sistem penangkapan ikan juga menghadapi masalah terkonsentrasinya nelayan tradisional pada kawasan tertentu, yakni wilayah perairan utara Pulau Jawa dan timur Sumatera. Sulitnya pengaturan alokasi wilayah ini menyebabkan keadaan laut menjadi melebihi daya dukung optimumnya atau mengalami lebih tangkap (over fishing).

Kepulauan, laut dan selatnya, menyebabkan tata transportasi dan distribusi menjadi sulit dan mahal. Biaya operasional kapal atau perahu tentu lebih mahal dibanding mobil dan kereta api. Apalagi bila diperhitungkan dengan jumlah orang atau barang yang terangkut, jatuhnya ongkos untuk hitungan setiap orang atau barang, menjadi sangat tinggi.

Pengumpul rumput laut tidak akan mau mengambil produk dari wilayah yang jauh terpencil, bila ongkos angkutannya mahal, tidak sesuai dengan harga jualnya yang murah. Ikan yang nun jauh ditangkap di Morotai atau Mentawai, akan tekor apabila harus diangkut ke Jawa Timur untuk dikalengkan. Begitu juga ikan-ikan kecil hasil tangkap sampingan pukat udang di Laut Arafura, belum pernah ada hitungan yang menguntungkan untuk dimanfaatkan bagi bahan mentah tepung ikan.

Keterpencilan juga menyebabkan terhalangnya suplai logistik, terutama saat musim badai dan ombak besar. Selama beberapa hari, bahkan bulan, ada pulau yang kehabisan beras, minyak goreng, atau bahkan bahan bakar untuk penerangan dan memasak, karena tidak ada kapal yang singgah. Akses pendidikan, kesehatan dan prasarana sosial atau ekonomi lainnya sering kali minim.

Sikap Lima Dimensi

Realitas itu semua harus dipahami secara bijak dan disikapi secara utuh baik pada dimensi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Affirmatif action atau keberpihakan politis pro-pulau kecil harus diwujudkan, tidak dihitung untung-rugi dan ekonomis tidaknya. Memang mahal harganya, tapi itulah konsekuensi kenyataan sebagai negara kelautan.

Kewajiban negara kelautan berdasarkan Pancasila bertujuan untuk menyejahterakan segenap warganya, dengan penyediaan prasarana pendidikan, kesehatan, logistik, bisnis dan pemasaran. Dengan demikian, kita melihat negara kelautan tidak pada manisnya saja, atau impian dan harapan saja. Akan tetapi, melihat pula permasalahan yang disandangnya.

Dalam dimensi ekonomi, tidak boleh terlupakan potensi ekonomi yang belum tergali. Mungkin juga diperlukan modal atau langkah awal yang tidak sederhana, namun realitas negara bahari harus dimanfaatkan dengan cerdas dan berkelanjutan. Sebagai negara yang berbentuk kepulauan dan vulkanis, tentu berimplikasi terbentuknya berbagai ragam suku bangsa, agama, dan kepercayaan.

Dalam dimensi sosial dan budaya ini, para pendiri negara telah mengambil langkah yang sangat tepat; yakni menyadari permasalahan yang utama dan solusi prioritas bangsa ini adalah kebhinnekaan yang harus di-tunggal ika-kan. Sikap hati nurani harus sarat dengan kebersamaan sebagai keluarga sebangsa.

Pengamanan negara kelautan harus dicermati secara unik. Dimensi keamanan ini bisa saja menganggap sistem pertahanan keamanan rakyat semesta sudah tidak memadai lagi. Mungkin yang tepat adalah penguatan keamanan di wilayah perbatasan, dengan penguatan armada laut dan dirgantara.

Semua ini tentu tidak sederhana dan perlu kesadaran serta komitmen. If the going gets easy, you maybe going down hill. If you want your dream to come true, don’t oversleep. Negara kelautan, ada manisnya, tapi juga banyak pahitnya, yang harus kita hadapi bersama.

Amendemen Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 Pasal 25A yang berbunyi: NKRI adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara, harus secara nyata diimplementasikan, tidak hanya didiamkan, atau berhenti dalam olah wacana. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar