Rabu, 20 Juni 2012

Neneng dan Efek Dramatik Kejahatan


Neneng dan Efek Dramatik Kejahatan
Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB 
Sumber :  KOMPAS, 20 Juni 2012


Di negeri ini korupsi adalah narasi, sebuah rangkaian peristiwa (Gennete, 1980). Sebagai narasi, tindak kejahatan tersebut melekat pada alur. Lazimnya alur, di dalamnya terdapat tahap pengenalan, konflik, gawatan, klimaks, leraian, dan akhiran.

Dalam pengelolaan alur dikenal dramatisasi; sebuah teknik bagaimana peristiwa pada cerita diolah hingga tercipta efek dramatik. Efek ini tidak jarang menjadi fungsi utama cerita, sedangkan substansi kisahnya sendiri hanya katalisator. Saat membaca novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijk karangan Hamka, misalnya, bukankah yang lebih berjejak dalam memori adalah dramatisasi nasib Zaenudin dan Hayati yang penuh air mata ketimbang hakikat hubungan cinta kasih di baliknya.

Demikianlah Neneng tiba-tiba hadir menjadi semacam efek kejut dramatik. Kita tahu, perempuan tersangka korupsi itu sudah lama menjadi buron. Pastilah kita berharap ia segera dapat ditangkap. Namun, manakala tertangkap, ternyata kita pun terkejut seraya menyusun berbagai dugaan: pulang, menyerahkan diri, ditangkap, dan seterusnya. Kehadiran Neneng menjadi semacam enigma, teka-teki yang seksi untuk dikisahkan.

Sadar sebagai tokoh utama dalam kisah, Neneng tampak tidak datang tanpa rencana. Beranalogi pada Roland Barthes (1984) tentang pengarang yang tidak pernah menulis dalam keadaan kosong, Neneng tidaklah bodoh. Periksalah, pada berita utama harian ini (14/6/2012), misalnya, Neneng tampak menggunakan turban yang menutupi kepala dan wajah. Ia juga menggunakan gaun panjang yang longgar. Seluruh tubuhnya nyaris terbungkus.

Efek Dramatik

Bagi saya, visualisasi tersebut tidak berhenti pada pesan bahwa Neneng hendak bersembunyi dari kamera media massa. Justru sebaliknya, ia sedang ingin menampakkan diri secara utuh dalam fungsi dramatik narasi. Dalam perspektif imagologi, Neneng mungkin hendak mencipta image, semacam citra perempuan saleh, setidaknya telah bertobat.

Namun, terlalu permukaan jika tafsir selesai di situ. Efek dramatik adalah target yang jauh lebih strategis. Dan, Neneng merangkainya dengan lihai. Ia tak berkomentar saat diborgol seusai shalat ashar. Maka, dengan hal itu, paling tidak konsentrasi kita pada substansi kejahatannya menjadi buyar. Hemat ungkap, cara Neneng menghadirkan dirinya dapat disebut sebagai mekanisme pengaburan.

Dari pengaburan demikianlah kisah selanjutnya akan mengalur. Hampir dapat dipastikan bahwa dramatisasi tersebut akan bergulir terus dalam tempo tertentu. Inilah fase konflik narasi. Di sini, ketegangan demi ketegangan akan dibangun. Tokoh figuran, antara lain para pengacara, akan tampil menyubstitusi kehadiran tokoh utama.

Kini bisa kita lihat bahwa fungsi pengacara bukan hanya membela pesakitan di ruang sidang, melainkan juga justru lebih banyak bermain di ruang narasi. Agaknya mereka juga sadar bahwa pada kasus yang sebenarnya sudah jelas duduk soalnya secara hukum itu kehadirannya tidak pada posisi untuk menunjukkan secara hukum bahwa kliennya tidak bersalah, tetapi justru untuk mengaburkannya.

Pada titik ini, targetnya bukan lagi membela untuk membebaskan, melainkan untuk mengurangi kekuatan hukum. Klien pasti akan dinyatakan bersalah, tetapi hukuman singkat adalah prestasi tertinggi sang penasihat.

Polarisasi Kejahatan

Kalaulah kita mau mengingat, apa yang coba dikonsepsikan di atas sebenarnya merupakan sebuah pola yang terus berulang dalam sejarah kejahatan kerah putih di negeri ini. Ingatlah bagaimana pelarian dan penangkapan Nazaruddin dilakukan. Narasi tokoh yang kini telah definitif sebagai koruptor tersebut bukankah jauh lebih dramatik.

Penciptaan drama tentang Nazaruddin bukan hanya menyedot perhatian masyarakat, melainkan juga meminta dana yang besar. Satu pesawat mewah disewa dari Kolumbia. Akan tetapi, apa yang dihasilkan dari perburuan tersebut? Meskipun suami tersangka perempuan koruptor itu masih berada dalam belitan ”narasi perampokan” lain, untuk kasus wisma atlet ia hanya dihukum empat tahun. Walhasil, efek dramatik telah berhasil membawa kisah pada klimaks, tetapi di balik itu substansinya justru melorot ke antiklimaks.

Pertanyaannya, apakah dengan polarisasi sedemikian korupsi dapat diberantas? Hemat saya, alih-alih dapat dimusnahkan, para perampok kekayaan negara itu kian hari justru akan kian merebak. Mereka justru akan menikmati tindak kejahatannya sebagai sebuah permainan, khususnya permainan politik.

Penjara adalah sebuah risiko politik yang harus disiapkan secara mental sejak awal. Seperti seorang pencopet yang tertangkap basah dan digebuki massa, ia harus menerimanya sebagai harga yang harus dibayar dalam mencari nafkah. Bukankah nelayan juga harus menghadapi risiko badai, pedagang kaki lima mesti berhadapan dengan petugas ketertiban umum, sopir angkutan umum harus pasrah di hadapan polisi nakal, dan seterusnya.

Di samping itu, dalam narasi politik yang busuk, kejahatan bukan diukur pada tindakan yang terdefinisikan sebagai melanggar hukum dan moral, melainkan pada kuantitasnya. Ini setidaknya tecermin pada pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di hadapan para pendiri Partai Demokrat. Banyak partai politik yang kejahatan korupsinya jauh lebih besar daripada Demokrat, demikian lebih-kurang SBY.

Pernyataan ini seperti tengah membocorkan biografi kejahatan di lingkungan partai politik. Untuk membersihkan partai dari tindak kejahatan, SBY tidak membandingkannya dengan pihak lain yang lebih baik sebagai teladan, tetapi justru dengan yang sebaliknya. Ini jelas fatal. Namun, itulah kiranya karakter partai politik dan kepemimpinan kita selama ini.

Terakhir, di manakah posisi KPK? Kita tahu independensi dan prestasi kerja komisi ini. Namun, kita juga tahu, KPK tidak memiliki wewenang mengetuk palu hukum. Batas tertinggi kekuasaan KPK adalah melempar pesakitan ke hadapan meja hijau. Ia adalah pemburu yang tidak berhak memotong leher buruannya. Walhasil, KPK hanya salah satu unsur dalam struktur narasi. Pada posisi ini, di hadapan tokoh utama macam Neneng, KPK bahkan bisa jadi bagian dari plot yang dimainkan pengarang.

Lantas, siapakah pengarangnya? Pengarang mati saat pembaca hadir, kata Barthes.
Dalam narasi korupsi, pengarang, yakni sang ”Godfather”, juga tidak pernah terlacak. Kita yakin ia tidak mati. Hanya karena ketidakberdayaan para penegak hukum, kita cuma bisa menatap bayang-bayang. Dan, karena itu, kejahatan terus-menerus menciptakan efek dramatik mengingat kejahatan di negeri ini adalah mengenang dramatisasi sedemikian, bukan sanksi-sanksi, bukan penegakan hukum! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar