Nilai
Strategis UU Varietas Tanaman
Budi Marwoto ; Ahli Peneliti Utama di Badan Litbang Pertanian
Kementerian Pertanian; Anggota Komisi Banding PPVTPP Kementerian Pertanian
SUMBER : KOMPAS, 8
Juni 2012
Harian Kompas tanggal 27 April 2012 memuat artikel
opini tentang perlindungan varietas tanaman. Sayangnya artikel tersebut
mengandung kerancuan pemahaman sehingga berpotensi mendistorsi nilai-nilai
strategis Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
Tanaman.
Distorsi pemahaman terhadap perlindungan
varietas tanaman (PVT) dapat menghambat tercapainya tujuan pemberlakuan UU PVT,
yaitu mewujudkan sektor pertanian yang tangguh dan berdaya saing untuk
kemakmuran rakyat.
Artikel tersebut ditulis oleh Saudara F
Rahardi yang keliru memahami tentang kata perlindungan dalam konteks PVT dan
sumber daya genetik nasional. Dalam UU No 29/2000 disebutkan, PVT adalah
perlindungan khusus yang diberikan negara terhadap varietas tanaman yang
dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman (Pasal 1
Ayat 1).
Kepastian Hukum
Menurut definisi tersebut, UU PVT memberikan
kepastian hukum terhadap obyek dan subyek hukum atas penggunaan hasil kekayaan
intelektual dalam bentuk varietas tanaman oleh pihak lain. Jaminan hukum
merupakan insentif bagi penemu varietas tanaman yang diharapkan dapat mendorong
tumbuhnya investasi di bidang pemuliaan pada perspektif yang lebih luas.
Kata perlindungan dalam konteks sumber daya
genetis (SDG) mengacu pada pelestarian dan tindakan pemberian izin akses
pemanfaatan SDG atas permohonan pihak lain serta pembagian insentif atas
pemanfaatannya kepada pemilik sumber daya genetis sesuai ketentuan konvensi
internasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam negeri.
UU No 29/2000 tentang PVT telah mengadopsi
beberapa ketentuan International
Convention for the Protection of New Varieties of Plants (selanjutnya
disebut Konvensi UPOV) meskipun hingga kini Indonesia belum juga masuk menjadi
anggota.
Konsekuensi menjadi anggota UPOV adalah (a) kesiapan
masyarakat menghargai karya cipta varietas unggul dengan memberikan kompensasi
atas pemanfaatannya untuk tujuan komersial, (b) perlindungan pasar domestik
dari serbuan varietas impor yang berpotensi mematikan industri benih di dalam
negeri, (c) penegakan hukum atas pelanggaran pemanfaatan ekonomi dari varietas
tanaman yang dilindungi, dan (d) konsistensi mengelola kekayaan sumber daya
genetis untuk kemakmuran bangsa dan negara.
Saudara F Rahardi mempermasalahkan penetapan
UU No 5/1994 tentang pengesahan United Nation Convention on Biological
Diversity (Konvensi PBB tentang Keanekaan Hayati) sebagai konsideran dalam
penyusunan UU No 29/2000. Konvensi Keanekaan Hayati menegaskan bahwa negara
berdaulat atas sumber daya genetis. Negara bertanggung jawab terhadap
konservasi, pemanfaatan, dan perlindungan sumber daya genetis dari kepunahan
yang mengakibatkan terhambatnya kegiatan pemuliaan di dalam negeri.
PVT hakikatnya merupakan pelaksanaan dari
berbagai kewajiban internasional, khususnya Organisasi Perdagangan Dunia/Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights yang antara lain mewajibkan kepada setiap negara anggota
untuk mempunyai dan melaksanakan peraturan perundangan di bidang hak atas
kekayaan intelektual (HKI), termasuk perlindungan varietas tanaman.
Alinea keempat, ratifikasi UU No 7/1994
tentang Pengesahan Agreement Establishing
WTO menyatakan bahwa negara anggota perlu menetapkan sistem perlindungan
terhadap HKI dan merumuskan aturan serta melaksanakannya. Pemberlakuan UU PVT
adalah tindak lanjut dari ratifikasi konvensi WTO.
Pendaftaran Varietas
Selanjutnya mengenai pendaftaran varietas
tanaman, termasuk varietas lokal, dimaksudkan untuk kepentingan pengumpulan
data mengenai varietas lokal, varietas yang dilepas, dan varietas hasil pemuliaan
yang tidak dilepas, serta data mengenai hubungan hukum antara varietas yang
bersangkutan dan pemilik dan/atau penggunanya.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun
2004 tentang Penamaan, Pendaftaran, dan Penggunaan Varietas Asal untuk
Pembuatan Varietas Turunan Esensial, pendaftaran varietas untuk melindungi
varietas yang tidak mendapatkan hak PVT, termasuk varietas lokal, sebagai
varietas asal dalam pembuatan varietas turunan esensial.
Menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 13
Tahun 2004, bupati/wali kota atau gubernur mewakili kepentingan masyarakat di
wilayahnya sebagai pemilik varietas lokal untuk memberikan izin atas
pemanfaatan varietas lokal sebagai varietas asal dalam membuat varietas turunan
esensial. Oleh karena itu, bupati/wali kota dan gubernur berkepentingan
mendorong pendaftaran varietas lokal di wilayahnya.
Sumber daya genetis yang masih berada di
habitat alam tidak dapat didaftarkan karena tidak termasuk dalam kategori
varietas tanaman. Sumber daya genetis dapat menjadi varietas lokal bilamana
materi genetis tersebut telah dibudidayakan secara turun temurun oleh petani
dan menjadi milik masyarakat setempat.
Saudara F Rahardi keliru menafsirkan
pemberian nama varietas tanaman untuk tujuan permohonan hak PVT ataupun
pendaftaran varietas. Pemberian nama menurut UU No 29/2000 tentang PVT tidak
boleh rancu terhadap sifat-sifat varietas. Pemberian nama varietas juga tidak
boleh menggunakan nama varietas lain.
Pemberian nama varietas tanaman dilakukan
oleh pemilik varietas dan didaftarkan kepada pusat PVT dan perizinan pertanian.
Sementara pemberian nama botani untuk keperluan klasifikasi taksonomi tetap
mengikuti ketentuan yang diakui oleh komunitas internasional.
Akses sumber daya genetis pada periode
setelah konvensi keanekaan hayati tidak mudah dilakukan karena setiap negara
pemilik melindungi kekayaan sumber daya genetisnya.
Khusus untuk tanaman pangan dan pertanian,
FAO telah memfasilitasi terbentuknya International Treaty on Plant Genetic
Resources for Food and Agriculture di mana akses SDG dapat dilakukan secara
multilateral. Ini yang difasilitasi dengan Standard
Material Transfer Agreement (Perjanjian Pengalihan Materi/PPM).
Tahun 2010 di Nagoya, Jepang, telah
disepakati aturan tentang akses sumber daya genetis dan pembagian keuntungan
yang adil dan sebanding atas pemanfaatan hasil perakitan varietas tanaman.
Kesepakatan tersebut dikenal dengan nama Protokol Nagoya yang mengatur
kepemilikan bersama atas perlindungan HKI varietas yang dirakit dari SDG.
Keberadaan UU PVT bersifat strategis sebagai
titik ungkit terwujudnya sektor pertanian yang berdaya saing dan memberi
kemakmuran bagi bangsa dan negara. Pasal dan ayat di dalam UU PVT masing-masing
tidak saling bertabrakan dengan konsideran konvensi keanekaan hayati dan WTO,
tetapi saling mendukung sesuai dengan ruang lingkup pengaturan PVT secara
komprehensif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar