Sabtu, 16 Juni 2012

Novel Islami Dibilang Novel Porno


Novel Islami Dibilang Novel Porno
Intan Savitri ; Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) 2009-2013
Sumber :  REPUBLIKA, 15 Juni 2012


Media massa sedang merayakan sebuah ‘pesta’ atas temuan buku-buku remaja yang berada di rak-rak perpustakaan sekolah dasar (SD) melalui proyek Dana Alokasi Khusus (DAK) 2010. Label buku porno melalui judul beritanya dialamatkan pada sejumlah judul buku, bertebaran di mana-mana.

‘Pesta’ dimulai dari harian Suara Merdeka, yang menyatakan bahwa buku Ada Duka di Wibeng karya Jazimah AlMuhyi dan Tidak Hilang Sebuah Nama karya Galang Lufityanto serta Tambelo karya Redhita dari penerbit Era Intermedia yang ditemukan di perpustakaan SD di Kebumen, adalah novel porno.

‘Pesta’ tetap dirayakan hingga terakhir pada Selasa (12/6), Republika Jabar menulis judul berita “Novel ‘Porno’ di SD Bertambah”, serta Pikiran Rakyat menulis “Lagi, Ditemukan Novel tak Senonoh” isi beritanya memberikan label porno pula pada novel perjuangan seperti Syahid Samurai karya Afifah Afra, Festival Syahadah karya Izzatul Jannah, dan Sabuk Kiai karya Dandang A Dahlan, yang kesemuanya dari penerbit Era Intermedia.

Judul-judul berita tendensius itu membingkai cara berpikir pembaca tentang isi buku, pertanyaannya sudahkah media yang menulis ini melihat persoalan ini dengan lebih adil? Sudahkah membaca bukunya dan mengonfirmasi pada penulis serta penerbitnya? Sudahkah mengonfirmasi pada pakar tentang definisi teknis pornografi? Sudahkah melihat dari sisi bagaimana buku-buku itu bisa masuk ke perpustakaan SD? 

Bagaimanapun buku itu masuk ke perpustakaan SD melalui anggaran DAK yang notabene melalui proses tidak sederhana serta melibatkan institusi pemerintah bernama Pusat Kurikulum Perbukuan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang memberikan Surat Keputusan (SK) bahwa buku-buku ini layak dibaca untuk masyarakat.

Baiklah, saya akan mencoba menuliskannya untuk Anda, mudah-mudahan ini menjadi sebuah akhir manis untuk sebuah `pesta'.

Pornografi

Dalam UU Anti Pornografi No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Bab I, Ketentuan Umum disebutkan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Apakah arti kecabulan, eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat? Cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan).

Mari kita lihat. Novel Ada Duka di Wibeng karya Jazimah Al-Muhyi bercerita tentang remaja ABG yang tidak lepas dari persoalan cinta. Cerita mengalir dari fenomena-fenomena pergaulan di kalangan anak remaja. Di antaranya adalah fenomena pacaran dan pada bab-bab akhir disimpulkan bahwa pacaran tidak dianjurkan dalam Islam.

Media kemudian menulis bahwa ada kalimat “asal mau sama mau gak masalah kok“ atau “pakai kondom agar tidak hamil“ kemudian memberi judul berita dengan subjek novel porno. Jika demikian, mari kita lihat kalimat seterusnya yang merupakan komentar tokoh utama yang berperan protagonis dalam bab ini. “Seks, kalau berkaitan dengan diskusi tentang kesehatan reproduksi sih bagus, malah mendalamkan ilmu biologi.“

Seks yang diobrolin hanya berorientasi pada `how to make a baby'. Kalimat ini diucapkan oleh Akta, tokoh utama dalam novel ini. Lalu kalimat lain dalam novel ini yang berbeda secara diametral dengan kalimat yang dituduh bermakna lucah atau cabul atau porno, yaitu kalimat, “Semua aturan Allah untuk kebaikan manusia. Allah tidak mempunyai kepentingan apa-apa. Bagi-Nya, taat atau ingkarnya makhluk tidak mengurangi sedikit pun kebesaran dan kemuliaan-Nya.“ (Halaman 28).

Apakah logis label porno diberikan pada sebuah novel yang menuliskan kalimat-kalimat ini? Membaca secara keseluruhan novel ini, dan tidak sepotong-sepotong, maka akan membawa kita sampai pada kesimpulan bahwa hubungan antarlawan jenis pada masa-masa remaja perlu kehati-hatian agar tidak terjebak pada pergaulan bebas.

Lalu dalam novel Tidak Hilang Sebuah Nama karya Galang Lufityanto, persoalan yang ditulis di media adalah pada halaman 56. Saya tak menemukan kalimat-kalimat yang dituduhkan, bahwa isinya bermuatan pornografi karena berisi tentang necrophilia dan paedo philia. Dialog tentang necrophilia dan paedophilia ada di halaman 58.

Saya katakan dialog, karena di halaman tersebut tidak ada kalimat yang menuliskan tentang bagaimana melakukan persetubuhan dengan mayat, yang sering disebut sebagai necrophilia. Terlebih lagi, dalam dialog antara Nielsen dan Olive dalam buku Tidak Hilang Sebuah Nama, disebutkan bahwa Olive merasa jijik dengan perilaku necrophilia yang sedang didefinisikan oleh Nielsen.

Olive terpekik. Ia buru-buru menutup mulutnya, beristighfar berulang kali, apakah ini mungkin terjadi?” Lalu disambut dengan reaksinya yang lain, “Tapi ini menjijikkan!” Apakah jika kita membahas tentang definisi necrophilia (seperti yang sekarang sedang saya lakukan juga dalam tulisan ini) lantas isi buku itu disebut porno? Bukankah kalimat-kalimat ini menunjukkan bahwa sang penulis memiliki posisi yang jelas tentang penyimpangan seksual bernama necrophilia? Ia tidak mendukung perilaku menyimpang ini. Jika muncul argumentasi bahwa novel ini tidak cocok untuk tingkat sekolah dasar (SD), apakah lantas novel ini dengan mudah dikategorikan sebagai novel porno? Jika demikian, apakah pantas sebuah kesimpulan tergesa, tergopoh-gopoh, dan asal tuduh ini terus-menerus dilekatkan? Mungkin kita perlu melihatnya secara utuh dan menempatkan persoalan ini pada tempatnya. Jika tidak ingin terjebak pada fitnah dan pembunuhan karakter. Mari berbenah menuju dunia literasi yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar