Minggu, 10 Juni 2012

Omong Kosong Penataan Daerah


Omong Kosong Penataan Daerah
Moh Ilham Mahmudy ; Peneliti di BPP Kementerian Dalam Negeri
SUMBER :  REPUBLIKA, 08 Juni 2012


Sejak keluar dari rezim Orde Baru yang otoriter dan sen tralistik, negeri ini sudah menambah 205 daerah otonom baru (DOB) yang ter diri dari tujuh provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Namun, evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap 205 DOB itu menunjukkan fakta yang ironis, hanya segelintir yang berhasil. Malahan, kata Presiden, 80 persen di antaranya gagal total.

Kinerja DOB dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mempercepat pelayanan publik tetap saja payah. Fakta lain dari evaluasi Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal juga menunjukkan ada 34 daerah menjadi miskin setelah dimekarkan.
Meski sudah tahu bahwa banyak DOB berkinerja payah, celakanya, tahun ini DPR masih tetap saja ngotot mengajukan 19 RUU DOB. Proposal tentang belasan embrio pemerintah daerah ini meliputi pembentukan Provinsi Kalimantan Utara, Kota Raha di Sulawesi Tenggara, dan 17 kabupaten lainnya yang sebagian besar tersebar di kawasan Indonesia bagian timur.

Alasan ironis ditunjukkan oleh salah satu anggota DPR dari partai penguasa.
Politikus itu menyampaikan bahwa DPR sangat mengharapkan 19 RUU DOB ini segera disahkan agar produk legislasi DPR bisa bertambah di tahun ini. Sedapat mungkin mencapai target prolegnas.

Jadi, alih-alih DPR memprioritaskan RUU yang berkait dengan hajat hidup bangsa, justru sekadar mengejar target prolegnas. Sementara, RUU DOB itu jelas hanya dalih politis parpol tertentu menjelang pemilu 2014 guna memperbanyak kursi legislatif dan menempatkan orang-orangnya sebagai pejabat dalam struktur pemerintahan di DOB.

Instrumen Penataan

Pemerintah pun tidak berdaya membendung derasnya arus politik di DPR yang berupaya menambah DOB. Moratorium pembentukan DOB yang sudah dikumandangkan dan ancaman melikuidasi DOB yang dianggap gagal men jadi tidak bermakna lagi. Kalau memang serius menata DOB, harusnya pemerintah, didukung DPR, menyiapkan secara komprehensif pelbagai instrumen yang dibutuhkan.

Sejauh ini, instrumen penataan DOB hanya merujuk pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 4 ayat 3 yang mengatakan “Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.“ Sedangkan, instrumen lainnya terdapat dalam PP No 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Kendati demikian, kedua instrumen itu hanya menitikberatkan penataan DOB dalam hal pembentukan daerah. Penghapusan dan penggabungan daerah tidak dijabarkan secara detail. Pasal 22 dan 23 PP No 78 Tahun 2007 hanya memuat penjelasan yang teramat umum. Sangat berbeda dengan Pasal 2 sampai Pasal 21 yang betul-betul memerinci proses dan tata cara pembentukan daerah.

Desain Besar Penataan Daerah (Desartada) 2010-2025 yang dibuat pemerintah dan menjadi kebijakan nasional yang berperan sebagai road map penataan daerah otonom di Indonesia pun hanya memberikan pijakan yang lebih komprehensif bagi perumusan prosedur dan tata cara baru pembentukan daerah otonom. Bukan penggabungan ataupun penghapusan daerah otonom.

Malahan, Desartada memberi peluang bagi pertambahan jumlah DOB sampai 2025 nanti sebanyak 11 DOB provinsi dan 54 DOB kabupaten/kota.
Agaknya, estimasi batasan jumlah DOB inilah yang juga dijadikan dalih oleh DPR untuk mengegolkan 19 RUU DOB yang diajukan DPR tahun ini.

Tidak Berani

Kalau diibaratkan pengelolaan keluarga, penataan DOB oleh pemerintah sejatinya tidak adil dan pilih kasih. Sebagai orang tua kandung, pemerintah punya tiga orang anak kembar, yaitu masing-masing: pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah. Tetapi, anak yang diurus cuma pembentukan daerah. Anak yang lain, penghapusan dan penggabungan daerah tidak diurus, malah ditelantarkan.

Padahal, dalam UU dan PP, pemerintah sudah berjanji, apabila daerah yang telah dibentuk tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah maka daerah yang bersangkutan bisa saja digabung dengan daerah induknya atau dengan daerah tetangganya yang berdekatan ataupun dihapuskan. Tetapi, hal itu tidak pernah dilakukan sama sekali!

Pemerintah hanya mengatakan, terhadap DOB yang kurang berhasil atau gagal akan dilakukan pembinaan selama satu sampai tiga tahun. Nanti, ketika ternyata kapasitas DOB tidak berkembang, baru proses penggabungan dilakukan. Pertanyaannya, kalau DOB itu baru terbentuk di bawah lima tahun, masuk akal untuk dibina. Tetapi, terhadap DOB gagal yang sudah terbentuk di atas lima ataupun 10 tahun, masihkah harus dipertahankan?

Sebagai contoh, Kota Bau Bau di Sulawesi Tenggara yang sudah berdiri sejak Juni 2001, berdasarkan evaluasi Kemendagri 2011 menggunakan empat indikator penilaian: kesejahteraan masyarakat, good governance, pelayanan publik, dan daya saing daerah, hanya mendapatkan skor 24,78 (peringkat 31 dari 34 kota yang dinilai). Atau, Kabupaten Aceh Jaya, misalnya, sudah terbentuk sejak April 2002, tetapi cuma meraih skor rendah 28,81 (peringkat 118 dari 164 kabupaten yang dinilai).

Kemendagri, dibantu para pakar, tentu saja bisa membuat instrumen yang komprehensif mengenai penataan daerah, khususnya berkaitan dengan penggabungan ataupun penghapusan daerah. Tetapi, menjadi percuma jika tidak didorong dan dikawal oleh presiden. Sebab, realitanya, presiden adalah pemegang kendali terhadap koalisi parpol di DPR. Sudah pasti, resistensi parpol di DPR terhadap wacana ini akan sangat besar. Banyak kepentingan parpol yang tergerus jika penggabungan daerah dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar