Sabtu, 02 Juni 2012

Pancasila dan Bahaya Laten Korupsi


Pancasila dan Bahaya Laten Korupsi
Augustinus Simanjuntak ; Dosen Program Manajemen Bisnis FE
Universitas Kristen Petra Surabaya
SUMBER :  JAWA POS, 2 Juni 2012


TANGGAL 1 Juni, 67 tahun lalu, Soekarno pertama kali mencetuskan istilah Pancasila sebagai cikal bakal dasar negara RI. Setelah melalui proses politik yang ketat di sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), akhirnya Pancasila resmi menjadi dasar negara RI seiring dengan disahkannya UUD 1945 sebagai konstitusi RI. Pancasila terdapat pada bagian Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea ke-4. Usia 67 tahun bagi sebuah ideologi tergolong matang. Sebab, tidak semua ideologi bisa bertahan lama. Komunis, misalnya, sudah runtuh dan bertahan dengan bentuk yang ganjil di Tiongkok atau di Kuba.

Salah satu tantangan berat Pancasila di era postmodern ini bukan lagi isu komunis-sosialis, melainkan isu korupsi. Spirit relativisme moral justru menjadi katalisator kian maraknya korupsi di negara Pancasila ini. Akibatnya, Pancasila secara simbolik masih tetap ada, tetapi nilai-nilainya sudah semakin direlatifkan oleh pola hidup yang korup dan individualistik di berbagai bidang kehidupan warga. Pancasila seolah semakin sulit dijadikan sebagai gaya hidup warga.

Semua agama di negeri ini pasti menilai bahwa mencuri uang negara itu mutlak salah. Namun, penilaian itu kini sudah terdekonstruksi menjadi sangat relatif oleh para aparatur yang korup. Perelatifan tersebut diperburuk oleh konsep korupsi yang relatif pula. Misalnya, seorang pejabat di negeri ini pernah mengutarakan usul supaya koruptor miskin tidak perlu mengembalikan uang hasil kejahatannya. Lalu, ada pejabat negara yang mengusulkan supaya koruptor diampuni sekaligus diminta mengembalikan uang hasil korupsinya.

Pertanyaannya, apa kriteria koruptor miskin? Dan, apakah ada koruptor yang mau mengaku jujur sebagai koruptor sekaligus bersedia mengembalikan uang hasil kejahatannya? Ini sebuah utopia dalam pemberantasan korupsi.

Korupsi Birokrat

Bahaya laten di negara kita saat ini ialah perilaku yang tidak jujur dan korup. Alangkah berbahayanya bila struktur lembaga-lembaga negara kita, mulai dari pusat sampai ke daerah, diisi oleh orang-orang yang korup. Lebih berbahaya lagi bila koruptor menjadikan isu ideologi sebagai alat mengalihkan perhatian terhadap pemberantasan korupsi. Bila lembaga legislatif diisi oleh oknum-oknum yang sekadar mencari uang dan kekuasaan, mereka tidak akan berniat untuk membuat suatu sistem penegakan hukum yang dapat menjaring koruptor.

Bahkan, pertimbangan politik sering menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari sebelum hukum diterapkan pada seseorang tersangka pidana korupsi. Faktor ini membuat hukum menjadi pandang bulu dalam mengusut para pelaku korupsi. Seseorang yang terancam dengan proses hukum atas kasus korupsi akan terlindungi oleh kekuatan politik. Dengan begitu, banyak koruptor yang bebas atau tak terusik karena di-back up oleh partai atau oknum pejabat. Intervensi dari kekuatan politik tertentu terhadap proses peradilan dapat terjadi secara tidak langsung melalui kader-kader partai yang menjadi hakim, jaksa, dan bahkan pengacara.

Korupsi bukan saja merusak moral sistem penegakan hukum dan pemerintahan, tetapi juga merusak moral ekonomi dan bisnis, serta menghambat kemajuan ekonomi. Monopoli pengusaha yang dekat dengan sumbu kekuasaan (terhadap proyek-proyek pemerintah) telah ikut merusak kualitas proyek dan sendi-sendi perekonomian nasional. Bahkan, hal itu diakui secara normatif oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang konsiderannya mengatakan: akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini (Orde Baru), selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Ketika banyak pengusaha hitam yang membangun kerajaan bisnisnya di atas dasar suap dan persekongkolan dengan oknum birokrat, sebenarnya banyak pelaku usaha yang berintegritas tinggi (yang membangun bisnis dari hasil kerja keras) merasakan ketidakadilan atas sokongan birokrat terhadap oknum-oknum pengusaha hitam itu. Bahkan, pengusaha putih kadang kala harus berurusan dengan birokrasi yang rumit sehingga menghambat kelancaran bisnisnya. Kerumitan birokrasi seolah "ekspresi" birokrat yang ingin disuap oleh pengusaha.

Padahal, menurut Bonnie J. Palifka (2006), kegiatan dunia usaha sangat esensial bagi pertumbuhan ekonomi yang sehat. Korupsi yang berlangsung terus-menerus secara parsial maupun sistematis selalu membawa dampak buruk terhadap dunia usaha. Kreativitas dan sumber daya sebagian pengusaha terpaksa diarahkan untuk bersekongkol dengan birokrat, baik di pusat maupun di daerah. Mereka terpaksa merekrut orang-orang yang canggih melobi sekaligus menyuap penguasa untuk mendapatkan proyek-proyek besar atau lahan-lahan yang secara pragmatis dapat membawa untung besar, seperti perkebunan sawit.

Sekelompok birokrat memang bisa saja bekerja sama dengan korporasi swasta dalam mengemplang uang negara. Misalnya, dalam isu darurat sosial atau ekonomi, para oknum birokrat itu menggelontorkan dana dari kas negara ke korporasi dengan format bantuan atau pinjaman. Lalu, pemilik atau pengelola korporasi dengan bebas menggunakan dana itu untuk kepentingannya atau untuk kepentingan kelompok oknum birokrat. Ini disebut korupsi elite atau upper power class.

Korupsi tataran elite memang sulit terdeteksi. Sebab, para pelakunya tidak lagi korupsi secara konvensional, melainkan korupsi secara sistemik melalui konspirasi politik dan hukum dalam membuat kebijakan yang membawa keuntungan bagi si pembuat kebijakan dan kelompoknya. Para pelakunya pun berusaha mengkreasi suatu sistem pertanggungjawaban kebijakan yang kabur dan menyiapkan celah untuk meloloskan diri dari jerat hukum. Sungguh mengerikan jika pola-pola korupsi seperti ini terjadi di sebuah negara ber-Pancasila. Dirgahayu Pancasila. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar