Jumat, 15 Juni 2012

Pancasila dan Kerukunan Berbangsa


Pancasila dan Kerukunan Berbangsa
Syahrul Kirom ; Alumnus Program Master Filsafat,
Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta
Sumber :  SUARA KARYA, 14 Juni 2012


Pancasila merupakan pilar kehidupan bangsa Indonesia. Keberadaan Pancasila sudah seharusnya mampu kita refleksikan secara kritis akan arti penting Pancasila sebagai pedoman hidup dan falsafah kehidupan bangsa Indonesia dalam upaya proses merajut kerukunan berbangsa dan bernegara.

Merebaknya tawuran antarpemuda, antarsiswa, perampokan, geng motor dan kekerasan antarumat beragama, harus dijadikan sebagai sebuah pelajaran berharga, untuk menarik segala tindakan dan perbuatan ke dalam nilai-nilai Pancasila. Pancasila lahir sebagai upaya membimbing umat manusia Indonesia ke arah kebajikan dan kebenaran dalam bertindak.

Pancasila merupakan pandangan dunia (way of life), pandangan hidup (weltanschauung), petunjuk hidup (wereld en levens beschouwing). Sebagai petunjuk hidup sehari-hari, Pancasila harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua kegiatan dan aktivitas hidup dan kehidupan di dalam segala bidang, politik, pendidikan, agama, budaya, sosial dan ekonomi. Ini berarti semua tingkah laku dan tindak tanduk perbuatan manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari Pancasila.

Dalam sila ke tiga, yang berbunyi 'Persatuan Indonesia', hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia harus menciptakan dan melahirkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia di atas perbedaan agama, ras, suku dan golongan. Bangsa adalah orang-orang yang memiliki kesamaan asal keturunan adat, bahasa dan sejarah serta berpemerintahan sendiri. Bangsa adalah kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan wilayah tertentu di muka bumi. Oleh karena itu, di dalam sila ketiga Pancasila sesungguhnya tersirat arti pentingnya menjaga kerukunan berbangsa antar-sesama umat manusia Indonesia.

Dengan demikian, sebagai upaya untuk merajut kerukunan berbangsa dalam semangat nilai-nilai Pancasila.

Menurut Kaelan, negara harus dapat mengatasi segala paham golongan, etnis, suku, ras, individu maupun agama. 'Mengatasi' dalam arti memberikan wahana tercapainya harkat dan martabat seluruh warganya. Negara memberikan kebebasan invidividu, golongan, suku, ras maupun golongan agamanya dalam merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat integral sehingga terlahir rasa toleransi dan kerukunan antar-warga masyarakat di Indonesia.

Pada dasarnya, rukun juga bisa berarti berusaha untuk menghindari pecahnya konflik-konflik dan kekerasan antar-suku, ras, dan agama. Hildred Geertz menyebut keadaan rukun sebagai upaya harmonious social appearance. Harmonisasi sosial itu adalah perwujudan dan watak yang dimiliki budaya Nusantara.

Sikap rukun, sejatinya juga telah tertera dalam Pancasila, khususnya pada sila ketiga, yakni 'Persatuan Indonesia'. Pancasila juga memberikan petunjuk kepada bangsa Indoesia untuk selalu mengedepankan sikap rukun dan damai. Sikap rukun itu selalu mengutamakan sikap-sikap etika yang baik dalam berkomunikasi terhadap sesamaya. Mereka tidak ingin membuat konflik dan perpecahan di antara sesamanya.

Prinsip kerukunan merupakan cerminan dan kultur bangsa Indonesia yang semakin menegaskan bahwa bangsa Indonesia adalah masyarakat yang beretika dan mengedepankan nilai-nilai moral dan kerukunan antarumat manusia. Karena itu, dengan selalu mengedepankan prinsip kerukunan antarsesama manusia ini, masyarakat Indonesia diajak menggunakan rasio dan logikanya, yang memiliki kehalusan dan hati nurani baik dalam menjalin hubungan dengan umat manusia, yang berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.

Driyarkara menjelaskan, untuk mencapai prinsip kerukunan berbangsa, maka paradigma yang digunakan adalah selalu mengedepankan cinta kasih dalam pemersatu sila-sila. Karena, titik tolaknya adalah manusia. Aku manusia mengakui bahwa keberadaanku itu merupakan 'ada-bersama-dengan-cinta-kasih. Jadi, keberadaanku harus dijalankan sebagai perwujudan cinta kasih pula. Cinta kasih dalam kesatuanku dan kerukunan dengan sesama manusia. Jika hal itu dipandang dari sisi perikemanusiaan.

Gerardius Hadian Panamokta, dengan mengutip Driyarkara, mengatakan, perikemanusiaan harus dilaksanakan dalam hubunganya dengan kesatuan, kebudayaan, dan peradaban bersama. Kesatuan itu ikut serta menentukan dan membentuk diri kita sebagai manusia yang konkret dengan perasaan semangat dan pikirannya. Ada bersama pada konkretnya berupa hidup dalam kesatuan itu. Jadi, hidup kita sebagai manusia Indonesia itu harus merupakan bagian dari pelaksanaan nilai-nilai perikemanusiaan dan kerukunan. Kesatuan yang besar itu, tempat manusia pertama harus melaksanakan perikemanusiaan yang disebut kebangsaan.

Kerukunan pada dasarnya mempunyai dua dimensi. Pertama, kerukunan yang berdimensi sosial, kerukunan harus dipaksakan dalam masyarakat sebagai wujud menjaga rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kedua, kerukunan yang berdimensi personal. Kerukunan ini menekankan pada sikap seseorang dalam upaya menyesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Kerukunan berbangsa merupakan sikap yang harus dilestarikan dalam batin diri manusia.

Oleh karena itu, prinsip kerukunan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam masyarakat di Indonesia. Dengan begitu, keselarasan sosial dan kedamaiaan akan selalu terjaga di dalam bangsa Indonesia. Karena itu, masyarakat Indonesia sesungguhnya memiliki ajaran-ajaran moral dan etika yang baik, yang bersumber pada nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.

Nilai-nilai etika filosofis tampaknya melekat pada empat pilar bangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi keselarasan dan keharmonisaian sosial dan kerukunan berbangsa. Semoga.

1 komentar: