Panggilan
untuk Menebar Keteladanan
Alfons Taryadi ; Mantan Ketua Pembina Yayasan Bhumiksara
SUMBER : KOMPAS, 09
Juni 2012
Belakangan ini media massa banyak menampilkan
keluhan tentang kurangnya para pemimpin bangsa yang patut jadi panutan.
Pendapat seperti itu sebaiknya mendorong kita untuk memeriksa apakah diri kita
juga sudah memancarkan contoh baik.
Dalam hal ini patut direnungkan tuturan
Albert Schweitzer pada 4 September 1985, beberapa jam menjelang akhir hidupnya.
”Contoh bukan perkara utama dalam
hidup—itu satu-satunya.”
Russell W Gough, seorang profesor etika dan
filsafat di Universitas Pepperdin, Amerika Serikat, menempatkan ucapan
Schweitzer sebagai judul Bab 10 dari bukunya, Character is Destiny: The Value of Personal Ethics in Everyday Life
(Forum, Prima Publishing, Rocklin, CA,
1998).
Bagi mereka yang mengenal baik Schweitzer,
seturut Gough, prestasi tunggalnya yang terbesar ialah keteladanannya. Di mata
Norman Cousins, sobat dekatnya, kebesaran Schweitzer ialah dirinya sebagai
simbol. Lebih penting dari apa yang dilakukannya bagi orang lain (seperti
antara lain mendirikan rumah sakit di tengah rimba Lambarene, suatu desa di
tepi Sungai Ogowe) adalah apa yang dibuat oleh orang-orang lain karena dirinya
dan berkat daya contoh yang terpancar darinya.
Dari pengakuan Gough tentang Schweitzer,
ternyata bukan semata-mata untuk menarik minat pada keteladanannya yang
istimewa, tetapi untuk menggarisbawahi bahwa contoh-contoh pribadi kita
sendiri—kesohor atau tidak—benar-benar ”bukan
perkara utama dalam hidup-itu satu-satunya”.
Tak usah kita menjadi seorang tokoh besar,
seperti Socrates, Bunda Teresa, Billy Graham, Martin Luther King Jr, Mahatma
Gandhi, atau Albert Schweitzer, untuk secara serius mencapai tingkat di mana
tindakan yang mengalir dari karakter kita sendiri—dengan efek baik atau
buruk—dapat benar-benar berdampak pada orang-orang di sekitar kita. Kita
berpengaruh pada mereka yang hidup, bekerja, bermain dengan kita, memandang,
mendengarkan kita, duduk di samping kita. Ya, ia menegaskan, pengaruh kita
mengalir kepada orang yang tak pernah kita mimpi untuk memengaruhinya.
Pencerahan Gough ini kiranya bisa melecut
kita untuk berperan positif dalam menghadapi situasi sosial masyarakat kita
yang tengah terpuruk. Jika setiap warga negara Indonesia menghayati panggilan
untuk menebarkan keteladanan kepada lingkungannya, keadaan masyarakat kita
pasti akan berangsur mengalami perbaikan di segala bidang.
Menuding Diri Sendiri
Saat membaca bab terakhir (14) buku Gough
tersebut, pertama-tama saya terpukau oleh judulnya, yaitu I have found who is responsible for our ethical poverty, and it is I RG
(Saya telah menemukan siapa bertanggung jawab atas kemiskinan etis kita, yaitu
aku, RG). Bukan main!
Adalah Russell W Gough pribadi, yang mengaku
menjadi penyebab terjadinya kemiskinan etis masyarakatnya. Di sini dengan tegas
Gough memberi contoh agar setiap individu dalam masyarakat berani memikul
tanggung jawab atas keadaan sosial bangsanya yang tidak sehat dari segi etis.
Pengakuan RG itu merupakan reaksi atas sebuah
artikel dalam US News & Report,
16 Desember 1996, yang berjudul ”I am OK,
you are not: Why Americans think their lives are good but the nation is in
peril” (Aku OK, kamu tidak: Mengapa
orang-orang Amerika berpikir hidup mereka baik, tetapi bangsanya berada dalam
bahaya). Tulisan itu menggambarkan hasil sebuah survei komprehensif yang
menunjukkan: sementara sebagian sangat besar penduduk Amerika meyakini keadaan
masyarakatnya berada dalam kesulitan serius (terutama dari aspek etis), pada
waktu yang sama mereka tak percaya bahwa penyebab problem itu ialah sikap dan
perilaku mereka.
Contoh Gough untuk menuding diri sendiri itu
mengingatkan saya akan suatu curah pendapat tentang ”The Role of Ethical Leadership in the Anticorruption Movement”
dengan pembicara Dr Ronnie Amorado dari Filipina, di depan para anggota Yayasan
Bhumiksara dan para undangan pada 2 April 2011 di Jakarta. Di situ, Direktur Ehem Campaign against Corruption in the
Philippines itu, antara lain, menegaskan peran para pendidik sebagai model,
yang mengajarkan apa yang mereka lakukan. Pendidik harus jadi teladan dalam hal
integritas dan keterpercayaan.
Sementara itu, hal yang membuat hati saya
tersentuh ialah artikel ”Corruption and
Communion” (Korupsi dan Perjamuan Komuni) tulisan Fr Albert Alejo,
inspirator dan pendiri Ehem Campaign
against Corruption in the Philippines.
Dalam artikel yang dibagikan bersama dengan
teks agihan Dr Amorado, dikemukakan pernyataan resmi Gereja Filipina yang
mengutuk korupsi sebagai problem di negeri itu, sekaligus mengakui
langkah-langkahnya yang menyimpang dari jalan kebenaran dan ketulusan.
Mengharukan bahwa gereja di sana berani menuding diri sendiri dengan mengakui
telah menjadi bagian problem dan sekaligus ingin menjadi bagian solusi atas
problem tersebut.
Pendidikan Karakter
Persoalan korupsi pernah pula diseminarkan
oleh harian Kompas dengan judul ”Korupsi,
Pembusukan Masif Kolektif”, yang hasilnya dilaporkan pada 10 Maret 2011. Di
situ, antara lain, diangkat pendapat yang menyatakan bahwa dalam banyak kasus,
moral apa pun tak mampu mengontrol hasrat akan kekuasaan, malah bisa
dijungkirbalikkan olehnya. Berhadapan dengan nafsu berkorupsi, ”etika dan moral tinggal sebagai khotbah yang
gemanya sayup dari atas bukit ditelan deru angin”. Begitu pun muncul saran
tentang perlunya sistem pendidikan yang mendorong gerakan moral untuk
merestorasi cara berpikir dan bertindak serta bertarung keras untuk merawat
Indonesia demi bonum commune.
Selain itu, untuk pencegahan korupsi
diserukan perlunya penguatan basis keluarga, disertai dengan pendidikan
karakter antikorupsi. Hal ini bisa dimulai dengan perilaku membiasakan diri
untuk tidak melakukan kecurangan. Sebutlah seperti mencontek dan tak
mengembalikan barang pinjaman dari orang lain.
Usulan tentang pendidikan karakter itu perlu
disambut baik dan ditindaklanjuti dengan rencana tindakan yang konkret,
termasuk pemikiran tentang institusi yang melaksanakannya. Dalam hal ini,
orangtualah yang seharusnya memegang peran utama sesuai dengan fitrahnya
sendiri sebagaimana diatur oleh alam. Di sini kiranya buku Russell W Gough
tersebut akan sangat membantu.
Akhirnya, sebagai bahan renungan, baik jika
dicatat ucapan penulis abad ke-19, Oscar Wilde, yang dikutip di akhir bab 14
buku Gough tersebut sebagai berikut: ”Setiap
tindakan kecil di harimu yang biasa membentuk atau menihilkan karakter
pribadimu.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar