Kamis, 21 Juni 2012

Pangkal Korupsi


Pangkal Korupsi
Saharuddin Daming ;  Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Sumber :  KORAN TEMPO, 21 Juni 2012


Salah satu faktor penyebab meluasnya perilaku korup di Indonesia adalah mengguritanya perilaku kleptokrasi yang sudah membudaya. Kalangan eksekutif, legislatif, hingga yudikatif secara tidak terbatas, kini terkontaminasi pola pengabdian kleptokrasi (kesenangan mengambil/menerima penghasilan tambahan dengan cara yang tidak terhormat), misalnya upeti, uang lelah, biaya tambahan, suap, dan markup.

Meluasnya perilaku kleptokrasi yang dimaksud sebetulnya merupakan buah dari kuatnya pengaruh hedonisme. Ketinggian derajat seseorang dewasa ini tidak lagi diukur berdasarkan prestasi yang mengabdi pada keluhuran, melainkan semata-mata bertumpu pada keunggulan yang bersifat materi. Akibatnya, citra kehormatan yang melekat dalam diri seorang pejabat atau elite selalu diaktualisasi dengan ekspresi kemewahan. 

Jangankan pranata agama yang hanya mengemban seruan moral, pranata hukum yang memiliki ikatan formal dengan sanksi tegas sekalipun ternyata kini juga semakin tak berdaya menghadapi amukan tsunami korupsi yang luar biasa dahsyatnya.

Parahnya lagi, kebanyakan pejabat publik, pejabat struktural, hingga staf birokrasi kita saat ini merasa hidup dalam keadaan miskin, paling tidak menurut persepsi kelayakan hidup masyarakat menengah. Sementara itu, tingkat kebutuhan yang dibombastiskan oleh kekuatan konsumerisme justru semakin tinggi, Maka terbangunlah logika untuk menaikkan penghasilan dalam bentuk remunerasi demi mencegah korupsi.

Program remunerasi dipercaya oleh sebagian orang sebagai strategi ampuh untuk meningkatkan kesejahteraan sekaligus menjadi outcome peningkatan kinerja. Kebijakan tersebut bertumpu pada doktrin klasik bahwa aparat akan mengoptimalkan kapasitasnya jika kesejahteraan sebagai instrumen penunjangnya terpenuhi secara proporsional.

Jika ditelaah lebih jauh, kebijakan tersebut dapat menciptakan ketidakadilan, sekaligus inflasi. Hal ini secara kasatmata bisa kita jumpai dalam struktur anggaran pemerintah, khususnya pada pos "belanja aparatur", yang mengalami pembengkakan sangat besar. Akibatnya, pos anggaran "belanja publik" yang terarah langsung pada program pelayanan dan pemberdayaan masyarakat hampir dapat dipastikan akan semakin kurus dan kerdil.

Hal ini tecermin dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor15 Tahun 2012. Disitu dicantumkan gaji pokok para pegawai negeri sipil, serta anggota Kepolisian RI dan TNI. Semakin lama bertugas, take-home pay PNS, polisi, dan tentara semakin meningkat. Skema tambahan uang bisa berupa tunjangan jabatan, tunjangan fungsional, tunjangan prestasi, tunjangan keluarga, dan sebagainya, semua dalam kerangka reformasi birokrasi. Tragisnya lagi, atas nama reformasi birokrasi, setiap pejabat eselon I, khususnya di Kementerian Keuangan, memperoleh remunerasi Rp 46,9 juta per bulan.

Hal yang cukup fantastis adalah tunjangan prestasi juga menular ke Mahkamah Agung melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2008. Hebatnya, Perpres Remunerasi di MA berlaku surut, per September 2007. Dengan kebijakan ini, Ketua MA mendapat tunjangan kinerja hingga Rp 50 juta per bulan. Remunerasi juga didapat Badan Pemeriksa Keuangan. Padahal tambahan remunerasi birokrasi berakibat pada kenaikan belanja pegawai pada 2008 di tiga lembaga ini dan menyedot anggaran hingga Rp 9,5 triliun.

Dengan program remunerasi, kenaikan belanja pegawai di Kementerian Keuangan mencapai 270 persen, MA 230 persen, dan BPK 163 persen. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2010, pemerintah mengalokasikan Rp 13,9 triliun untuk remunerasi reformasi birokrasi di beberapa kementerian/lembaga, dengan perincian Rp 10,6 triliun pada APBN 2010 dan ditambahkan Rp 3,3 triliun pada APBN-P.

Belakangan, terbongkar skandal keuangan akut di seluruh lini birokrasi di Indonesia. Menurut temuan BPK, terjadi penyelewengan 30-40 persen dari biaya perjalanan dinas Rp 18 triliun selama setahun. Banyak perjalanan dinas dilakukan secara fiktif. Dalam periode 2010-2011, terjadi lonjakan anggaran dinas dan daerah. Pada 2010, anggaran perjalanan dinas pusat dan daerah mencapai Rp 12,5 triliun. Pada 2011, anggaran melonjak Rp 18 triliun. Adapun pada 2012, anggaran perjalanan dinas PNS telah mencapai Rp 23,9 triliun untuk pusat dan daerah. Jumlah itu setara dengan 1,6 persen dari nilai total APBN 2012.

Ironisnya, segala inisiatif negara, yang susah-payah mengumpulkan uang rakyat melalui pajak dan cara lain, ternyata sebagian besar habis untuk membiayai aparatur pemerintahan. Sementara itu, rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini, terutama dari kalangan masyarakat miskin sebesar 47 persen penduduk Indonesia, hanya tinggal gigit jari dan geram menyaksikan fenomena diskriminasi dan ketidakadilan dalam pembagian kue APBN dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Bukan hanya itu, masyarakat miskin tersebut siap-siap menghadapi beratnya tekanan hidup pasca-pemberlakuan remunerasi yang menimbulkan inflasi. Dalam fase ini, terjadi peningkatan harga secara umum dan serentak yang dibarengi dengan penghasilan yang justru semakin kecil dan tidak menentu.

Program remunerasi dalam tubuh Polri sendiri dapat menciptakan jarak penghasilan yang begitu lebar antara perwira tinggi (pati) dan anggota Polri lainnya. Sebab, dalam Perpres Nomor 73 Tahun 2010 disebutkan bahwa penghasilan pati = Rp 46-30 juta, sedangkan non-pati = Rp 2-5 juta. Program tersebut juga dapat menjadi pemantik tumbuhnya konsumerisme yang berpuncak pada lahirnya perilaku korup.

Dalam hukum ekonomi dipahami bahwa income yang meningkat akan dibarengi dengan konsumsi yang meningkat pula. Bahkan sangat boleh jadi income yang tinggi merupakan instrumen paling subur menuju lembah hedonisme. Sebab, penghasilan yang melimpah tanpa dibarengi pembinaan mental ataupun pengetahuan manajemen keuangan rumah tangga secara baik akan menjadi lahan yang sangat subur bagi tumbuhnya syahwat untuk mencari kepuasan setinggi-tingginya.

Jangan-jangan maraknya penyalahgunaan narkoba hingga perilaku seks bebas ataupun praktek perjudian yang sering melibatkan aparat selama ini sebagian besar disebabkan oleh pengaruh hedonisme yang dipicu oleh kultur konsumerisme akibat tersedianya daya beli yang relatif tinggi. Sesuai dengan hukum Gossen, pemuasan kebutuhan tingkat pertama akan menjadi pemicu dilakukannya pemuasan kebutuhan tingkat kedua dan seterusnya tanpa batas.

Seorang pejabat atau siapa pun yang sudah terperangkap dalam syahwat konsumerisme dan hedonisme pasti akan terus berupaya meningkatkan income sebagai alat pemuas kebutuhan. Apabila tidak tercapai secara normal dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, yang bersangkutan sudah mulai berpikir dan bertindak menghalalkan segala cara demi memperoleh alat pemuas kebutuhan secara cepat dan sebesar-besarnya. Di sinilah entry point terpicunya perbuatan kriminal di kalangan aparat untuk melakukan suap, pungli, pemerasan, penipuan, pencurian perampokan, hingga korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar