Sabtu, 16 Juni 2012

Papua dan Neobarbarianisme


Papua dan Neobarbarianisme
Misranto ; Rektor Universitas Merdeka Pasuruan
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 15 Juni 2012


WAJAH bangsa ini dari waktu ke waktu bukannya mendamaikan dan mencerahkan, namun kian merekahkan dan menakutkan. Lihat kondisi Papua, sebuah wilayah strategis yang sumber daya bumi dan tambangnya telah memberi banyak pada negeri ini, justru kerap berbalut darah. SBY menyebut ada kekuatan asing yang ikut membuat Papua mudah bergolak.

Wajah retak Papua itu tak ubahnya merupakan cermin wajah Indonesia (negara), yang membenarkan stigma Herbet Marcuse sebagai cermin bangsa atau negara berkemasan neobarbarianisme, suatu konstruksi bangsa yang sering mendeklarasikan sebagai pembangun demokrasi modern dan beradab. Namun dalam realitasnya elemen negara ini gagal membaca atau mengendalikan berbagai bentuk penyakit yang mengacaukan dan merekahkannya.

Yang seolah dikedepankan dan ‘dilukis’ oleh negara ialah gaya hidup berkeadaban dan kebersamaan, serta berkeadilan. Padahal faktanya negara terbaca memproduksi langkahlangkah membingungkan dan merugikan rakyat.

Elemen negara tidak saling memenangkan nalar sehat dan kepekaan humanitasnya demi memprioritaskan kepentingan makro sesama dan lintas etnik Papua. Namun sebaliknya terseret dalam pusaran gesekan, pertarungan, dan konfl ik yang bercorak saling menghajar, menendang, menerkam, menyakiti, dan menghabisi, yang memang bukan tidak mungkin kesemua ini diikuti dan diarsiteki oleh tangantangan jahat asing atau oknum predator dari elemen negara.

Meski ada dugaan asing ikut bermain, kesalahan tetaplah pada diri kita, khususnya elemen negara. Pihak asing tidak akan suka atau ingin mempermainkan hingga mendestruksi ketahanan NKRI (Papua) kalau sikap dan mental kita tak melonggarkan untuk dipermainkan, dikoyak, atau dirusak. Di sisi lain, mental kita sendiri yang gampang meledakkan dan mengeksplorasi amarah lewat pendekatan represif.

Mereka yang jadi elite kekuasaan gagal mendidik dan memediasi kewenangannya menjadi kepemimpinan yang toleran dan empatik. Sementara mereka yang berasal dari kalangan alit yang terancam eksistensi dan makin kehilangan keberdayaan terseret dalam perlawanan secara radikalistik atas nama hak.

Investasi Moral

Ada investasi moral yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW ketika beliau didatangi seorang pria. Sambil berdiri di depan beliau, pria itu bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah agama itu?“ Beliau menjawab, “Agama adalah akhlak yang baik.

Pria itu bergerak menghadap beliau dari arah kanan dan bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang disebut agama itu?“ Beliau menjawab, “Agama itu adalah akhlak yang baik.“ Rupanya masih belum puas, pria itu bertanya lagi dari sebelah kiri dengan pertanyaan yang sama. Jawaban Baginda Rasul pun tetap sama.

Kemudian pria itu beralih ke belakang beliau dan melancarkan pertanyaan serupa. Beliau lantas menoleh kepada pria itu dan bersabda, “Apakah engkau belum mengerti? Agama itu adalah engkau tidak boleh marah.” Dalam hadis lain beliau pun bersabda, “Surga itu menjadi tempat kalian yang sebenarnya bisa marah, tetapi kalian mampu mengendalikannya (tidak membiarkan kemarahan ditunjukkan).” Surga yang diingatkan beliau ini bisa diibaratkan kebahagiaan di dunia. Konstruksi relasional antarsesama manusia akan terjaga keharmonisannya kalau setiap elemen bisa kalahkan sifat pemarahnya.

Di awal dialog dengan pria itu, beliau jelas-jelas menunjukkan bahwa inti agama atau hidup bernegara itu terletak pada etika yang baik. Seseorang akan menjadi pemeluk agama yang taat, baik, dan sempurna jika dalam setiap perilakunya benar-benar berlandaskan pada akhlak yang baik. Akhlak bagi seseorang, masyarakat, dan bangsa adalah kekuatan fundamental yang menentukan kekukuhan integrasi bangunan kehidupannya.

Selama etika masih digunakan atau diberdayakan untuk membangun dan membingkai aktivitas manusia baik secara individual, bermasyarakat, maupun bernegara, maka keselamatan, kebahagiaan, dan kejayaan akan tetap bisa diraih. Kata kunci kejayaan hidupnya terletak pada kejayaan etisnya, sedangkan kata kunci kehancuran hidupnya terletak pada kehancuran etikanya.

Selama manusia masih berpegang teguh pada etika, manusia tidak perlu takut menghadapi dan menjawab ragam tantangan yang mengujinya, termasuk ujian di Papua. Salah satu etika ini ialah bila seseorang atau sekelompok orang, khususnya aparat keamanan, mampu mengendalikan atau mencegah emosi dari kemungkinan dilampiaskan (diagregasikan) secara destruktif dan masif.

Dalam ranah lain, nyawa agama itu ditentukan oleh kapabilitas moral pemeluknya dalam memenangkan etika. Larangan keras memenangkan kemarahan sejatinya sebagai perintah supaya pemeluk agama tidak gampang obral kekerasan, tak asal memproduksi praktik dehumanisasi, atau tidak menjadikan sesama sebagai sasaran tangan-tangan jahatnya. Thomas Hobbes pun pernah menyebut, bellum omnium contra omnes atau sekelompok orang akan terus berkonflik dengan kelompok lain manakala masing-masing kehilangan etika sosial dan kebernegaraannya.

Tangan jahat dan keji yang diberikan tempat berdaulat di masyarakat dapat mengakibatkan atmosfer kehidupan bermasyarakat dan bernegara menjadi sekarat. Pemilik tangan jahat dan keji ini dapat terbaca di Papua ketika tangan-tangan ini terus saja menabur dan menyuburkan radikalisme dan ekstremisme.

Berhak Marah

Secara psikologis, saat seseorang atau sekelompok orang merasa dirinya tidak bersalah, tidak berbuat jahat, dan tidak melanggar hak asasi manusia, atau tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, sementara dia terus-menerus diserang oleh berbagai intrik, fitnah, dan praktik-praktik kekejian seperti pembunuhan karakter, sebenarnya seseorang ini berhak melampiaskan kemarahannya.

Tetapi, karena kemampuannya untuk memenangkan nalar dan sikap sabar di atas sifat amarah, kemungkinan terjadi dan berlanjutnya tragedi berdarah bisa dicegah.

Ketika Nabi Muhammad SAW menuju Thaif untuk melakukan dakwah, beliau diserang masyarakat Thaif dengan cara dilempari batu hingga berdarah. Menyaksikan kenyataan itu, Malaikat Jibril menawarkan kepada Nabi untuk menghukum masyarakat Thaif dengan cara dihujani batu gunung yang lebih besar dan mematikan.

Tawaran Jibril itu ditolak oleh Nabi dengan jawaban, “Kita lebih baik sabar dan mendoakan masyarakat Thaif yang belum tahu kebenaran ini. Siapa tahu kelak, mereka justru menjadi manusia-manusia yang berdiri di barisan depan untuk membela dan memperjuangkan agama.“

Belajar dari kearifan dan kesabaran sebagai pemimpin, jelas sekali bahwa kemampuan beliau meninggikan makna esoteris sabar dan mengalahkan sifat marah merupakan pintu gerbang yang menentukan keharmonisan hidup dalam beragama, dalam berbangsa, dan menggapai kejayaan di masa depan. Sekurang-kurangnya dari sifat marah yang bisa ditepis dan dikalahkan, banjir darah bisa dicegah.

Masyarakat Thaif bisa dicegah oleh watak Nabi yang penyabar dari banjir darah akibat batu-batu gunung yang hendak diterbangkan Jibril. Watak beliau inilah yang mampu mencegah kehancuran dan sebaliknya berhasil mendatangkan kesatuan dan kejayaan negeri. Kesabaran keluar sebagai pemenangnya karena Nabi kukuh mewujudkannya sebagai perisai kepribadiannya di tengah keberagaman.

Kalau setiap orang atau elite struktural negeri ini mau mengikuti jejak pemimpin seperti itu, alangkah nikmat dan damainya kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara ini, khususnya di Papua. Kita tentu tidak akan sampai menyaksikan tayangan yang berkali-kali mengekspos aksi kekerasan dan darah tumpah di Papua, jika saja setiap pihak mampu berperang maksimal mengalahkan amarah atau kecenderungan menahbiskan ego menang, benar, dan berkuasa sendiri.

Di tengah masyarakat yang sudah demikian sering diwarnai oleh aksi-aksi banjir darah akibat kekerasan kelompok ini sudah seharusnya prinsip etik sosial dikembalikan.
Pasalnya, dengan etika sosial ini masyarakat dan bangsa bisa menuai dan menyuburkan hidup damai dan harmoni. Ingat apa yang dilontarkan oleh Napoleon Banoparte, “Di tengah kekerasan yang marak terjadi, hanya kaum bajinganlah yang mendapatkan keuntungan besar.” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar