Sabtu, 02 Juni 2012

Paradoks BBM di Indonesia


Paradoks BBM di Indonesia
Joko Tri Haryanto ; Pegawai Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
SUMBER :  REPUBLIKA, 1 Juni 2012


Berdasarkan laporan Pertamina disebutkan bahwa Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu pro vinsi pengguna terboros di dalam konsumsi BBM bersubsidi. Hingga Mei 2012, konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta sudah melampaui 36 persen dari kuota 1,5 juta kiloliter yang ditetapkan.

Borosnya konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta disinyalir akibat melambungnya jumlah kepemilikan kendaraan bermotor, khususnya kendaraan roda dua. Secara nasional konsumsi BBM bersubsidi hingga April 2012 diperkirakan mencapai 7,1 persen di atas kuota 40 juta kiloliter yang ditetapkan dalam APBN-P 2012. Berkaca dari fakta tersebut, banyak hal yang dapat disimpulkan.

Pertama, borosnya konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta merupakan dam pak dari buruknya manajemen transpor tasi umum. Problem tersebut menyebabkan transportasi di Jakarta belum dapat menjamin efisiensi, keadilan, tingkat ke selamatan pengguna jalan, serta memperburuk kondisi lingkungan.

Tidak efisien karena, menurut data Menko Perekonomian, waktu bergerak di jalan hanya 40 persen, sementara 60 persen adalah waktu hambatan dengan ke cepatan rata-rata lalu lintas 20,21 km/jam. Tidak adil karena lalu lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan pribadi, dengan perincian sepeda motor 8.244.346 unit dan mobil pribadi sebesar 3.118.050 unit.

Kepemilikan motor menduduki peringkat pertama, baik di Jakarta Selatan (9,90 persen), Jakarta Timur (6,78 per sen), Jakarta Utara (5,20 persen), Jakarta Barat (10,92 persen), maupun Jakarta Pu sat (8,21 persen). Jumlah panjang ja lan di Jakarta hanya 7.650 km, luas ja lan 40.1 km atau sekitar 0.26 persen da ri luas wilayah Jakarta, dengan pertumbuhan panjang jalan setiap tahunnya sekitar 0,01 persen.

Pengguna kendaraan umum terdiri dari 52,27 persen pengguna bus dan dua persen menggunakan kereta api. Pengguna kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki adalah pihak yang paling dirugikan karena tidak ada fasilitas yang memadai. Jika pun ada, harus berebut dengan motor dan pedagang kaki lima.

Memperburuk kondisi lingkungan sebab 25 dari 33 stasiun pengamatan kualitas udara di Jakarta menunjukkan kadar PM10 yang sudah diambang batas. Penurunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta tata kota yang tidak terencana makin memperburuk kualitas udara di Jakarta. Tidak menjamin keselamatan pengguna jalan sebab masih tingginya angka kecelakaan, baik transportasi jalan maupun kereta api, akibat minimnya fasilitas infrastruktur yang tersedia.

Kedua, borosnya konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta juga menggambarkan adanya ketidakadilan antardaerah. Besarnya konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta tentu saja akan menimbulkan masalah di dalam pengalokasian BBM ber subsidi antardaerah secara nasional.

Secara logika lonjakan konsumsi BBM bersubsidi di Jakarta harus dikompensasi dengan penurunan alokasi BBM subsidi untuk daerah lainnya jika memang kuota BBM bersubsidi sebesar 40 juta kiloliter tidak dapat diubah.

Hal ini dirasakan cukup sulit meng ingat secara nasional sebetulnya sudah dihitung besaran kebutuhan BBM ber subsidi antardaerah. Transfer alokasi subsidi antardaerah juga cukup riskan ka rena dapat menimbulkan gejolak dalam pasokan subsidi BBM bersubsidi.

Satu-satunya cara yang mungkin di tempuh oleh pemerintah adalah mengajukan penambahan kuota BBM ber subsidi kepada DPR.

Pengajuan penambahan kuota juga bukan perkara gampang, khususnya terkait dengan mekanisme di dalam pe nyusunan APBN serta fluktuasi harga minyak internasional. Ketika Pemerintah mengajukan APBN-P 2012, total belanja subsidi di dalam postur APBN sudah mengalami koreksi dari Rp 123,599 tri liun menjadi Rp 137,379 triliun, dengan asumsi koreksi harga minyak Indonesia dari 90 dolar menjadi 105 dolar AS.

Pilihan kedua ini pun dirasakan bukan pilihan yang bijaksana mengingat penambahan total belanja subsidi tentu akan menambah Belanja Pemerintah Pusat dan berpotensi menambah defisit APBN. Penambahan defisit APBN memiliki konsekuensi penambahan kebutuhan sumber-sumber pembiayaan, baik dari domestik maupun internasional.

Terlepas dari apa pun kebijakan yang nantinya akan diambil oleh pemerintah, berkaca dari kondisi di Jakarta, sudah selayaknya kita berpikir secara lebih komprehensif. Ketika kemudian muncul wacana gerakan penghematan energi nasional, selama masih bersifat parsial tanpa terkoordinasi dengan kebijakan lainnya, kebijakan tersebut hanya dianggap basa-basi dan bersifat populis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar