Sabtu, 02 Juni 2012

Pencitraan: Memangnya Mengapa?


Pencitraan: Memangnya Mengapa?
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi   
SUMBER :  SINDO, 2 Juni 2012



Akhir pekan lalu istilah pencitraan kembali menjadi semacam tertuduh, dianggap sebagai biang kegagalan berbagai program perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berita pers tentang ini mencuat setelah Adnan Buyung Nasution (Buyung) pada Jumat, 25 Mei 2012, meluncurkan buku memoarnya sebagai (mantan) anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Saat memberi pengantar pada peluncuran bukunya yang berjudul Nasihat untuk SBY itu Buyung mengatakan bahwa salah satu masalah serius dalam penyelesaian berbagai problem nasional kita adalah upaya pencitraan diri yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Banyak masalah penting yang oleh SBY tidak diselesaikan, diambangkan,dan diserahkan pada hiruk-pikuk di tengah-tengah masyarakat sampai akhirnya menguap tanpa jelas penyelesaiannya. Bahkan, kata Buyung, banyak nasihatnya yang disampaikan secara resmi olehnya sebagai anggota Wantimpres, tetapi tidak dilaksanakan SBY.

Buyung pun mengatakan, tidaklah mudah untuk bisa bertemu SBY meskipun dirinya anggota Wantimpres yang resmi diminta dan diangkat SBY. Menurut Buyung, semua itu terjadi karena SBY mengutamakan pencitraan diri sehingga tidak mau membuat keputusan atau penyelesaian yang menyebabkan citra dirinya turun di mata (sebagian) masyarakat.

Padahal setiap keputusan pasti ada yang setuju sekaligus pasti ada yang tak setuju. Ada yang memuji Buyung atas keberaniannya mengungkap masalah-masalah sensitif tentang Presiden itu meskipun dia tahu hal itu melanggar undang-undang. Apalagi Buyung menantang untuk diperkarakan ke pengadilan karena kenekatannya melanggar undang-undang itu.

Seperti diketahui, menurut Pasal 6 ayat (1) UU No 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden,anggota Wantimpres dilarang membuka kepada publik atau membocorkan nasihat atau saran yang disampaikan kepada Presiden. Buyung, dalam kenyataannya, bukan hanya membocorkan saran dan nasihat yang sudah disampaikan kepada Presiden seperti ditulis dalam bukunya tersebut.

Seperti dikemukakan kepada pers oleh Mensesneg Sudi Silalahi,lebih jauh dari itu saat menjadi anggota Wantimpres pun Buyung membocorkan nasihat atau sarannya yang belum (dan masih akan) disampaikan Presiden sehingga masyarakat menjadi ribut menanggapi bocoran dari Buyung itu. Itulah sebabnya, selain ada yang memuji,banyak juga yang menganggap tindakan Buyung itu berlebihan dan tidak etis.

Advokat Mohammad Assegaf bahkan menyayangkan dan mengkritik keras sikap Buyung yang bukan hanya melanggar undang-undang, melainkan melanggar etika itu. “Dulu Bang Buyung mengajari kami agar menjaga etika, tetapi sekarang ternyata dia sendiri melanggar apa yang pernah diajarkannya,”kata Assegaf. Nah, silakan Anda menilai sendiri-sendiri, apakah sikap Buyung yang membocorkan nasihatnya itu patut dipuji karena berani mengungkap masalah yang sensitif ataukah harus dikecam karena telah melanggar undang-undang dan etika jabatan atau profesi.

Saya tak hendak mencampuri penilaian Anda. Saya hanya akan sedikit membela istilah “pencitraan” yang tampaknya selalu dianggap jelek.Melakukan pencitraan, hampir selalu dengan begitu saja,dianggap jelek dan dianggap sebagai penyakit yang menyebabkan pemerintah atau pejabat tidak dapat bekerja dengan baik dan efektif.

Padahal setiap orang, utamanya setiap aktivis atau pemimpin di berbagai profesi dan jabatan, memang harus membangun pencitraan atas dirinya, yakni membangun citra bahwa dirinya adalah pejabat atau pemimpin yang baik, profesional, dan bertanggung jawab.Mana ada tokoh atau pemimpin yang tak berusaha membangun citra diri yang baik? Mana ada tokoh atau pemimpin yang mau citranya jelek? Tak ada, kecuali orang yang tak waras.

Dengan menulis buku tersebut, disertai dengan langkah- langkahnya selama ini, tak dapat dipungkiri oleh siapa pun bahwa Buyung pun sedang dan selalu melakukan pencitraan diri.Yakni, selalu membangun citra bahwa dirinya adalah orang yang berani menghadapi siapa pun dan melakukan apa pun yang diyakini benar. Ketika saya menyatakan atau melakukan sesuatu yang menjadi perhatian publik ada saja orang yang mengatakan bahwa saya sedang membangun pencitraan.

“ Anda melakukan pencitraan, ya; bla bla bla...,”bunyi sebuah pesan pendek (SMS) yang pernah masuk ke ponsel saya saat Mahkamah Konstitusi memutus satu perkara yang kemudian dielu-elukan publik. Maka itu, saya pun jawab SMS itu dengan kalimat panjang, “Ya, saya memang akan membangun citra bahwa saya tak takut memutus perkara dengan benar meskipun yang saya hadapi kingkong.

Saya ingin punya citra sebagai pejabat yang selalu berusaha lurus dan berani, bukan citra sebagai pejabat korup dan pengecut. Saya ingin meninggalkan tugas dengan citra khusnul khatimah. Apa salahnya?” Jadi pencitraan diri itu bukan sesuatu yang jelek dan harus dihindari, melainkan sesuatu yang justru harus dibangun oleh setiap tokoh atau pemimpin.

Yang penting citra yang dibangun itu adalah citra yang memang baik bagi masyarakat, bukan citra yang hanya menguntungkan diri sendiri, termasuk menguntungkan posisi politik bagi diri sendiri. Maka itu, boleh juga kita mengatakan, “Saya ingin punya citra bahwa saya tak peduli dengan citra asalkan saya benar-benar bisa berbuat baik. Terserah Anda saja mau mencitrakan saya seperti apa. Saya tak peduli dengan citra-citraan.” Pernyataan tak peduli pada citra itu pun sebenarnya merupakan pencitraan juga, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar