Senin, 25 Juni 2012

Perbaiki Manajemen Energi


Perbaiki Manajemen Energi
Kurtubi ;  Pengajar Pascasarjana FE UI
Sumber :  SUARA KARYA, 25 Juni 2012


Salah satu fakta betapa manajemen energi nasional selama ini sangat "buruk", di mana pemerintah terkesan mengabaikan dan membiarkan kekeliruan terus terjadi, adalah terkait dengan pengelolaan gas nasional. Selama bertahun-tahun kalangan industri pemakai gas, termasuk Perusahaan Listrik Negara (PLN), kekurangan gas, namun nyaris tidak pernah ada solusi yang memadai.

Padahal jumlah cadangan dan produksi gas dalam negeri relatif "melimpah". Yang sebenarnya terjadi adalah pemerintah salah kelola. Pemerintah terkesan abai tidak mengambil langkah-langkah konkret yang tepat, guna memenuhi kebutuhan gas dalam negeri. Semestinya infrastruktur gas sudah lama dipersiapkan oleh pemerintah sehingga gas yang relatif melimpah di sisi hulu dapat dialirkan ke konsumen yang sangat membutuhkan, termasuk untuk sektor transportasi, guna mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Faktanya, pada saat konsumen dan sektor transportasi dalam negeri kekurangan gas, gas (LNG) dari Tangguh, Papua, terus dikapalkan ke China dengan harga sangat murah, hanya 3,35 dolar AS/mmbtu, jauh di bawah harga jual gas untuk dalam negeri sekitar 6 dolar AS/mmbtu. Bahkan, PGN telah menaikkan harga gas dari 6,7 dolar AS/mmbtu menjadi 10,2 dolar AS/mmbtu, meski belakangan oleh pemerintah sedikit dikoreksi, namun tetap sekitar 300 persen dari harga jual ke China. Fakta lain adalah masalah kuota BBM bersubsidi yang setiap tahun selalu terlampaui dan setiap tahun pula kuota BBM pada akhirnya ditambah. Ini menunjukkan bahwa mekanisme kuota BBM sebenarnya merupakan kebijakan yang tidak realistis dan sangat kontraproduktif. Di satu pihak kita ingin adanya percepatan pertumbuhan ekonomi (GDP), di mana untuk tahun 2012 ditargetkan 6,5 persen, guna dapat lebih banyak menyerap tenaga kerja, tetapi BBM-nya dibatasi. Mustahil ada pertumbuhan ekonomi tanpa tersedianya energi (BBM) dalam jumlah yang cukup. Subsidi BBM itu sebaiknya dipecahkan dengan kebijakan diversifikasi, tidak dengan pembatasan! Sedangkan masalah makin tingginya ketergantungan pada minyak impor yang telah menyedot devisa dalam jumlah yang sangat besar, sebaiknya dipecahkan dengan berusaha menaikkan produksi, baik minyak mentah dengan menyederhanakan sistem maupun produksi BBM dengan membangun kilang baru.

Agar produksi minyak mentah ke depan bisa ditingkatkan, maka sebaiknya segera mengganti atau mencabut UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang menurut survei dari Fraser Institute, Kanada, merupakan penyebab utama mengapa kondisi investasi dan industri migas di Indonesia sangat buruk, menempati peringkat 114 dari 145 negara yang disurvei. Lebih buruk dari semua negara tetangga termasuk Timor Leste, PNG, Vietnam, Filipina, dan sebagainya. Sejak UU Migas, nyaris tidak ada penemuan cadangan yang signifikan sehingga produksi terus anjlok, padahal potensi sumber daya migas nasional masih relatif sangat besar, sekitar 50 miliar BBLS minyak dan sekitar 350 TEF gas. Blok Cepu yang menjadi satu-satunya harapan terdongkraknya produksi minyak, ditemukan sebelum UU Migas.

Kalau sistem pengelolaan migas nasional tidak dikoreksi, peluang Indonesia menjadi negara gagal seperti yang dimuat dalam failed states index yang menempatkan Indonesia berada pada peringkat 63 dari 178 negara, menjadi makin besar. Hindarilah menjadi negara gagal antara lain dengan segera memperbaiki manajemen energi/migas nasional!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar