Minggu, 24 Juni 2012

Perilaku Politik Warga Jakarta


Perilaku Politik Warga Jakarta
Bagus Takwin dan Niniek L Karim ;  Pengajar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Sumber :  KOMPAS, 23 Juni 2012


Pengantar Redaksi:

Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta 11 Juli 2012 merupakan momentum penting untuk perbaikan Ibu Kota lima tahun ke depan. Untuk itu, ”Kompas” bekerja sama dengan tim pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melakukan sejumlah penelitian dan peliputan. Hasilnya dipublikasikan secara berturut-turut mulai Sabtu (23/6) ini hingga Sabtu pekan depan.

Keberhasilan dan kemajuan masyarakat banyak bergantung pada perilaku warganya. Pemimpin tentu punya pengaruh besar, tetapi tanpa relasi memadai antara pemimpin dan pengikutnya, masyarakat tak dapat berkembang menjadi lebih baik.

Untuk memahami kepemimpinan yang sebaiknya dijalankan di Jakarta, perlu pemahaman perilaku politik warga Jakarta. Kami memaparkan tergolong jenis pengikut macam apa warga Jakarta dan bagaimana perilaku politik mereka.

Robert Kelley (1992) menjelaskan, followership (kepengikutan) menggunakan dua dimensi kualitas pengikut: independen dan berpikir kritis versus dependen dan berpikir tidak kritis; tingkah laku aktif versus pasif. Orang independen dan pemikir kritis berpikir lebih tajam, dalam, dan luas. Mereka tak terpaku pada panduan dan prosedur, menyadari dampak tindakan, berkehendak kreatif dan inovatif, serta menawarkan kritik konstruktif.

Orang dependen dan pemikir tidak kritis tidak menyadari kemungkinan lain, tak berkontribusi terhadap pengembangan kreatif masyarakat. Mereka menerima ide pemimpin tanpa berpikir, terpaku prosedur atau instruksi.

Orang aktif terlibat penuh dalam masyarakat, berinisiatif memecahkan masalah, berinteraksi dengan orang dari berbagai level, dan mau mengerjakan lebih dari tugas yang diwajibkan. Sebaliknya, orang pasif selalu memerlukan pengawasan dan dorongan dari pemimpin. Keterlibatan dan interaksi mereka terbatas pada apa yang diinstruksikan dan menghindari tanggung jawab lebih dari tugas yang diwajibkan.

Interaksi dua hal itu menghasilkan lima jenis pengikut, yaitu pengikut terasing: independensi tinggi dan keterlibatan rendah; pengikut konformis: independensi rendah dan keterlibatan tinggi; pengikut efektif atau teladan: independensi dan keterlibatan tinggi; pengikut pasif: independensi dan keterlibatan rendah; serta pengikut pragmatis: independensi dan keterlibatan sedang.

Survei terhadap 808 warga Jakarta dilengkapi data kualitatif dari focus group discussion dan wawancara, menunjukkan kebanyakan warga Jakarta tergolong pengikut pragmatis (59,03 persen) (lihat Grafis).

Kebanyakan warga Jakarta tergolong pengikut pragmatis. Sebetulnya, pengikut pragmatis memiliki kualitas dari keempat jenis yang lain, tetapi jenis yang ia tampilkan tergantung situasi. Orang tipe ini sedikit mirip ”politikus”, tergantung angin dan menggunakan gaya kerja apa pun demi memuluskan agenda sendiri dengan risiko minimal.

Sisi positifnya, saat masyarakat mengalami masa sulit, pengikut pragmatis dapat berkontribusi karena tahu cara mempekerjakan sistem untuk menyelesaikan persoalan. Sisi negatifnya, mereka memainkan politik, aturan, dan regulasi serta melakukan penyesuaian demi keuntungan pribadi. Mereka dinilai tak mau pasang badan, mencari kemudahan, bekerja setengah-setengah, tidak antusias, dan medioker. Mereka mengikuti aturan pemerintah sejauh bermanfaat bagi mereka.

Sebagai pengikut pragmatis, kebanyakan warga Jakarta memilih berada di ”tengah jalan”. Sesekali mengkritik pemerintah dengan tidak terlalu terbuka. Mereka menampilkan tugas yang diwajibkan, tetapi jarang lebih dari yang diharapkan; hidup dengan slogan, ”lebih baik selamat daripada menyesal”.

Tipologi Budaya Politik

Daniel J Elazar (1984) menjelaskan perilaku politik individu berdasarkan pengaruh budaya. Budaya politik adalah sikap, nilai, keyakinan, orientasi, dan opini terhadap pemerintah dan tanggung jawab sosial yang berfungsi dalam masyarakat. Ada tiga kategori budaya politik dominan: moralis, individualis, dan tradisionalis.

Tipe moralis mengukur pemerintahan dengan komitmen untuk kepentingan publik dan kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat. Tipe individualis fokus pada kepentingan pribadi, membatasi keterlibatan dalam politik. Tipe tradisionalis, didasari budaya politik tradisional, cenderung mempertahankan aturan dan praktik politik yang sudah berlangsung. Ada juga tipe campuran yang menganut tiga budaya itu.

Kebanyakan warga Jakarta (53,1 persen) adalah tipe campuran. Mereka menganut ketiga budaya itu sekaligus, tetapi kapan perilaku yang didasari budaya tertentu ditampilkan tergantung lingkungan sosial mereka. Situasi ini cukup umum di sejumlah negara. Malah, jarang ditemukan sebuah negara dengan satu budaya politik saja yang dominan (Elazar, 1984).

Tipe dominan lain di Jakarta adalah moralis (26,2 persen). Subkultur moralis kuat pengaruhnya di Jakarta. Mereka memandang kekuatan komunal akan mempromosikan perubahan positif dan memberikan kewajiban moral kepada pejabat publik.

Orang dengan tipe individualis pun cukup banyak (14,1 persen). Budaya individualistis mewarnai pemerintahan. Pemerintah (gubernur dan DPRD) mengatur distribusi bantuan yang dikontrol partai politik. Sementara warga berusaha sendiri menjadikan diri lebih baik secara sosial dan ekonomi. Pemerintah dan banyak warga meyakini individu merupakan pemegang kendali dan inisiatif.

Sementara orang yang mendukung budaya tradisionalis ada 6,6 persen. Mereka ingin mempertahankan aturan dan praktik politik yang berlangsung, berusaha mempertahankan tatanan sosial dengan hierarki mapan yang ada, menjaga agar mereka yang di atas tetap mendominasi politik dan pemerintahan; mengecilkan partisipasi publik yang dinilai dapat merusak masyarakat.

Budaya politik Jakarta secara keseluruhan campuran tiga budaya itu sehingga kompleksitasnya tinggi dan menuntut pengelolaan khusus. Pluralitas, stabilitas politik, dan pilihan kebijakan yang memuaskan warga perlu penanganan khusus.

Untuk mengubah pengikut pragmatis menjadi pengikut teladan, pemimpin Jakarta perlu merancang dan mengembangkan program yang memotivasi mereka terlibat lebih aktif dan mau berpikir kritis.

Pemimpin Jakarta juga perlu membangun kepercayaan dan dapat menunjukkan adanya kesempatan, menggugah dan menginspirasi mereka dengan visi masa depan. Agar lebih efektif, pemimpin Jakarta juga perlu melibatkan pengikut teladan yang persentasenya 15,7 persen agar warga pragmatis menjadi lebih terlibat serta menyumbangkan pikiran kritis dan inovatif.

Jakarta yang memiliki warga dengan beragam budaya politik membutuhkan pemimpin yang mampu menampilkan respek terhadap berbagai perbedaan (ras, jender, etnis, disabilitas, orientasi seksual, usia, karier, gaya, dan opini).

Pemimpin Jakarta harus menghindar dari perilaku dan bahasa diskriminatif atau menyerang. Ia perlu meminta opini sebanyak mungkin pihak dengan perspektif berbeda, menghargai perbedaan saat membuat keputusan, serta berpegang pada kebijakan yang menentang pelecehan dan kekerasan. Gubernur DKI Jakarta harus dapat mempromosikan kerja sama di antara warga dan membuat mereka bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar