Selasa, 19 Juni 2012

Peringkat Gobal untuk Siapa?

Konstitusi dan Negara Kesejahteraan :
Peringkat Gobal untuk Siapa?
Laporan Diskusi Panel oleh KOMPAS - Lingkar Muda Indonesia
Sumber :  KOMPAS, 19 Juni 2012
 

Jika yang dimaksud dengan ”negara kesejahteraan” adalah tata kenegaraan, di mana tugas pemerintah menyediakan atau menyelenggarakan/mengelola seluruh atau sebagian pelaksanaan kesejahteraan semua atau sebagian warganya, sudah jelas bahwa tugas sentral tata kenegaraan Indonesia, menurut Pasal 34 UUD 1945, adalah negara kesejahteraan.

Jelasnya Pasal 34 itu menyatakan (1) Fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara; (2) Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; dan (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Tak Menggerakkan

Namun, menagih perwujudan negara kesejahteraan dengan bersenjatakan konstitusi tidak akan menggerakkan pemerintah yang sekarang. Selain karena Pemerintah Indonesia yang sekarang doyan mengibarkan pencitraan setinggi langit, tata kenegaraan modern tidak lagi didikte konstitusi belaka. Liberalisme telah menyuntikkan kriteria baru ke dalam jantung negara: kebenaran menurut ekonomi pasar.

Jadi, kriteria keabsahan suatu negara dan pemerintah kini bukan lagi semata-mata soal mandat konstitusi, melainkan manfaat dan sukses fiskal. Itulah gejala yang sungguh tersembunyi di balik kontroversi BBM beberapa waktu lalu dan sekarang sedang meledak di Eropa Barat dengan pemberontakan Yunani, Perancis, dan akan segera diikuti sejumlah negara lain.

Zaman dulu para sultan memerintah atas nama Tuhan. Dalam demokrasi itu dihapus dan diganti oleh konstitusi. Namun, liberalisme masuk sejarah dan menyuntikkan kriteria lain di luar konstitusi: logika pasar.

Itu sebabnya, sah-tidaknya sebuah pemerintahan tidak lagi hanya bergantung pada konstitusi, tetapi pada masalah-masalah fiskal. Itulah yang membuat kita serba dalam kesulitan sekarang ini. Sahnya tuntutan atas nama konstitusi masih menghadapi pengadilan fiskal dan ini berimplikasi besar sekali pada seluruh fiskalitas dari negara kesejahteraan.

Ketegangan antara memenuhi tuntutan konstitusi dan tuntutan menghadapi pengadilan fiskal di negara ini menemukan aktualitasnya pada menjauhnya kinerja pemerintah dari aspirasi rakyat. Ini riil dan amat sangat menggelisahkan. Ambil contoh, betapa pemerintahan SBY sangat biasa mengukur keberhasilannya dengan menjadi nomor berapa di peringkat global. Dengan ini, kita bertanya, pertanggungjawaban pemerintah kepada siapa? Kepada peringkat global atau kepada rakyat?

Kita tentu bangga dengan peringkat global, tetapi peringkat global yang ada kaitannya dengan rakyat. Namun, pada kenyataannya, yang berkaitan dengan peringkat global sejauh ini, sebagian besar tidak berkaitan dengan rakyat.

Kutuk Globalisasi

Globalisasi membawa berkah, tetapi salah satu kutuknya adalah obsesi pada peringkat global. Seolah-olah pertanggungjawaban pemerintah pada peringkat global belaka.
Menjadi sangat-sangat fatal manakala urusan ini memasuki wilayah pendidikan dan Indonesia di bawah pemerintahan SBY sedang menggenapinya dalam seluruh tahap pendidikan di Indonesia, mulai dari sekolah hingga perguruan tinggi.

Seluruh obsesi tentang pendidikan kini dicantolkan kepada sekolah bertaraf internasional. Mengapa ini sangat-sangat fatal? Sebab, dalam praktiknya, sekolah bertaraf internasional akan mencerabut anak-anak Indonesia dari idiom-idiom kultural mereka, dari suka dan duka bangsa mereka sendiri.

Yang ini sungguh-sungguh telah terjadi di Jakarta: para orangtua di beberapa sekolah internasional berdemonstrasi protes ke sekolah anak-anak mereka menuntut agar sekolah menghentikan pelajaran bahasa Indonesia. Terbayangkankah ini sebelumnya oleh pemerintah? Atau, pemerintah tak mau tahu dengan gejala patologis ini?

Di Yunani dan Perancis sekarang sedang terjadi pemberontakan terhadap pengadilan fiskal. Kira-kira begini mereka katakan, ”Kami ingin negara kesejahteraan bukan hanya sebagai mandat konstitusi, melainkan juga sebagai evolusi dari cita-cita etis dan moral kami. Sekarang kamu semua para kapitalis atau teknokrat ingin mengetatkan ini-itu, tetapi sebenarnya ingin memangkas banyak sekali dari aspek negara kesejahteraan. Itu sebabnya kami tak mau itu. Sukses fiskal harus minggir dan yang sah adalah konstitusi.”

Di Indonesia? Yang menggelisahkan di sini: partai-partai politik sedang mengalami virtualisasi politik. Virtualisasi itu begini: memakai ponsel dulu dengan memencet-mencet tombol, tetapi kini dengan menyentuh layar belaka; otot tidak lagi dibutuhkan, hanya butuh berpikir sedikit saja, sudah terjadi sesuatu.

Virtualisasi politik adalah sebuah gejala yang sangat kuat bahwa partai-partai politik telah mulai meninggalkan rakyat biasa. Lalu, apa kini urusan politik? Citra di televisi. Itu sebabnya berbagai macam konsultan politik sedang menjamur—tentu dengan beberapa kekecualian—dan mereka sedang membantu kepolitikan dan partai politik kita menjadi virtual. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar