Jumat, 22 Juni 2012

Perjuangan Indonesia di Los Cabos


Perjuangan Indonesia di Los Cabos
Zaenal A Budiyono ;  Asisten Staf Khusus Presiden RI   
Sumber :  SINDO, 22 Juni 2012


Dua puluh negara maju dan berkembang beberapa hari lalu mengadakan leader meeting KTT Ke-7 G-20 di Los Cabos, Meksiko. Pertemuan puncak dimaksudkan untuk mencari solusi dari sejumlah permasalahan ekonomi dunia.

Indonesia merupakan satu-satunya negara dari kawasan ASEAN yang masuk forum tersebut. Kapasitas ekonomi Indonesia (GDP) menjadi ukuran keberadaan kita di antara negara-negara maju tersebut. Los Cabos Meeting menjadi titik balik guna mengatasi sejumlah isu hangat yang mengemuka saat ini. Di antaranya krisis ekonomi Eropa (Yunani), keseimbangan perdagangan antar negara, penguatan pertanian, pembukaan lapangan kerja baru, green economy, dan perbaikan gizi anak.

Pertama, dalam upaya mencari solusi krisis Yunani, G-20 selain menawarkan solusi,juga dapat menciptakan strategi pertahanan (anti-crisis) sehingga gejala buruk Eropa tak merembet ke kawasan lain. Indonesia sejak tahun lalu cukup sigap mengantisipasi krisis Eropa sehingga relatif tidak terpengaruh. Kedua, keseimbangan perdagangan antara negara maju dan berkembang mutlak harus dilakukan.

Jika sebelumnya negara berkembang lebih sering menjadi ”pasar” produk negara maju, ke depan hubungan keduanya harus lebih adil. Indonesia, sebagaimana disampaikan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, memiliki kesamaan pandangan dengan Meksiko untuk mendorong perkembangan ekonomi dunia. Namun, kita mengusulkan penajaman tema tersebut pada mendesaknya upaya penciptaan lapangan kerja baru, yang itu harus didorong melalui peningkatan pertanian.

Saat ini upaya meningkatkan kapasitas pertanian dalam membuka lapangan kerja baru menghadapi kendala, di antaranya kurangnya fasilitas pembiayaan ke sektor pertanian, keterbatasan infrastruktur, tingginya produk impor, serta tarif tinggi di negaranegara maju. Akibatnya sektor pertanian kita sulit mengimbangi percepatan pertumbuhan ekonomi yang kini mencapai 6,5%.

Untuk itu, G-20 yang mencakup dua pertiga dari total GDP dunia diharapkan mampu memengaruhi ekonomi dunia menuju tatanan yang lebih adil. Agar kesepakatan dalam G-20 lebih aplikatif, tak ada jalan lain kecuali mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang sebab kelompok inilah yang mengetahui permasalahan secara nyata. Ketiga, pentingnya penerapan green economy.

Semua tahu bumi kita saat ini terus mengalami penurunan kualitas akibat pembangunan yang tak terkontrol. Munculnya gejala pemanasan global dan perubahan iklim merupakan bukti betapa dunia harus bersatu menyelamatkan satusatunya tempat tinggal umat manusia ini. Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden SBY sejak 2007 telah menunjukkan komitmen pada upaya penyelamatan lingkungan.

Kita mengambil peran di depan kala Bali menjadi tuan rumah konferensi PBB tentang perubahan iklim, UNFCCC, November 2007. Bukan hanya itu, dalam visi pembangunannya, Presiden juga secara eksplisit memasukkan pentingnya pembangunan lingkungan (pro-environment). Ini melengkapi tiga visi sebelumnya yaitu pro-job, pro-poor, dan pro-growth.

Keempat, terkait pentingnya peningkatan gizi anak-anak. Ini gejala di banyak negara berkembang, di mana angka kematian anak masih relatif tinggi. Salah satu penyebab gejala ini disinyalir tak adanya food security sehingga hak anak untuk hidup dan tumbuh secara normal tercerabut. Isu pangan ini juga sama pentingnya dengan isu pemberantasan terorisme. Keduanya berpotensi mengganggu kestabilan global bila tidak ditangani secara serius.

Subsidi Rakyat Miskin

Bukti keseriusan kelompok G-20 dalam memastikan target-target ekonominya dilakukan melalui pembentukan badan evaluasi yang menilai kinerja masing-masing negara. Jika ternyata ada kebijakan yang tidak dilaksanakan, badan tersebut akan memberikan catatan, masukan, hingga evaluasi. Pada kasus Indonesia, sebagaimana disampaikan Presiden SBY, G-20 beberapa kali memberikan peringatan atas perkembangan yang terjadi di Indonesia.

Tiga, peringatan dimaksud antara lain: Pertama, masalah subsidi. G-20 menekan Indonesia untuk secara bertahap mengurangi subsidi karena akan memberatkan perekonomian secara keseluruhan. Menyikapi tekanan ini, Presiden berbeda pendapat.Ia menyatakan siap bertanggung jawab atas kebijakan subsidi Indonesia. Namun, Presiden setuju bahwa subsidi yang tidak tepat sasaran seperti BBM memang harus terus dikurangi secara bertahap.

Tetapi, pendidikan, kesehatan,d an bantuan modal rakyat miskin harus dipertahankan. ”Kita tidak menganut Washington Concencus dan neolib. Kita memiliki garis ekonomi sendiri yang prorakyat sekaligus menjaga keterbukaan,” kata Presiden. Kedua, iklim investasi Indonesia juga mendapat catatan dari G-20 pasalnya masih berlikunya perizinan membuat kita sulit bersaing di antara negara-negara lain. Mengenai hal ini Presiden mengakui dan segera memerintahkan jajaran terkait untuk melakukan perubahan yang diperlukan agar bisa mengejar negara-negara lain.

Ketiga, infrastruktur juga mendapat catatan, di mana diperlukan lebih banyak pembangunan sarana publik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kita. Untuk mempercepat realisasi infrastruktur, pemerintah mendorong masuknya swasta ke sejumlah proyek, terutama yang memiliki nilai ekonomis. Dengan public private partnership ini pembangunan infrastruktur akan lebih cepat direalisasikan. Dari sikap Indonesia yang digariskan Presiden di atas, jelas bahwa Indonesia memiliki independensi penuh dalam G-20.

Tidak semua rekomendasi forum tersebut kita jalankan. Semua kita lakukan semata-mata atas pertimbangan kepentingan nasional dan membela hak-hak rakyat. Kendati begitu,kita juga tidak boleh menutup diri dari pergaulan internasional karena justru akan membuat kita terkucil dan tak mengetahui perkembangan yang terjadi. Justru dari forum-forum multilateral di atas, kita kerap mendapatkan alarm dini untuk menyikapi keadaan yang akan muncul di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar